Perjanjian (politik): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 2A03:2880:FF:15:0:0:FACE:B00C (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Veracious
Tag: Pengembalian
k bentuk baku
Baris 61:
Pasal 12 Konvensi Wina 1969 memungkinkan penggunaan prosedur penandatanganan asalkan hal tersebut diatur oleh traktat yang bersangkutan atau disepakati oleh negara-negara yang terlibat dalam perundingan.{{sfn|Aust|2007|p=96}}{{sfn|Pratomo|2016|p=110}} Sebagai contoh, pada tahun 1990, [[Irak]] mencoba mengklaim bahwa mereka masih belum mengesahkan perjanjian perbatasan dengan [[Kuwait]] pada tahun 1963 dan hanya sekadar menandatanganinya, sehingga perjanjian tersebut tidak berlaku. Namun, [[Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa|Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa]] tidak menerima argumen ini karena perjanjian tersebut tidak mengharuskan ratifikasi dan telah terdaftar di [[Perserikatan Bangsa-Bangsa|Perserikatan Bangsa-bangsa]].{{sfn|Aust|2007|p=96}} Pada praktiknya, banyak perjanjian yang masih memerlukan ratifikasi meskipun perjanjian tersebut sudah ditandatangani.{{sfn|Aust|2007|p=104}}
 
Pertukaran dokumen diatur dalam Pasal 13 Konvensi Wina 1969. Prosedur ini biasanya dilakukan melalui pertukaran nota diplomat. Pada praktiknya, nota yang bersangkutan seringkalisering kali menyatakan bahwa pertukaran dokumen yang menjadi traktat ini baru akan berlaku apabila masing-masing pihak telah memberitahukan pihak yang lain bahwa prosedur konstitusionalnya telah diselesaikan. Hal ini mirip dengan ratifikasi.{{sfn|Aust|2007|p=102}}
 
Ratifikasi sendiri didefinisikan dalam Pasal 2(1)(b) Konvensi Wina 1969 sebagai tindakan suatu negara dalam taraf internasional yang menetapkan persetujuannya untuk terikat kepada suatu traktat. Ratifikasi dapat dilakukan melalui pertukaran piagam ratifikasi (yang dibuat oleh eksekutif) dengan piagam ratifikasi negara lain (untuk perjanjian bilateral), atau penyerahan piagam ratifikasi tersebut kepada lembaga penyimpan yang berwenang (untuk perjanjian multilateral). Prosedur ratifikasi diperlukan karena negara yang telah menandatangani atau mengadopsi perjanjian tersebut mungkin butuh waktu agar bisa menyatakan terikat dengannya.{{sfn|Aust|2007|p=103}} Hal ini mungkin karena dalam [[hukum tata negara|hukum ketatanegaraan]] sebuah negara, traktat tersebut perlu dijadikan undang-undang agar bisa menjadi hukum,{{sfn|Aust|2007|p=103}} atau mungkin juga karena ratifikasi tersebut memerlukan persetujuan dari parlemen di tingkat nasional.{{sfn|Aust|2007|p=104}} Seusai proses ratifikasi, traktat yang bersangkutan tidak serta merta langsung mengikat negara yang mengikuti prosedur tersebut, karena seringkalisering kali perjanjian internasional membutuhkan jumlah minimal negara yang meratifikasi sebelum perjanjian tersebut mulai berlaku.{{sfn|Aust|2007|p=105, 162-168}}
 
Sementara itu, menurut Pasal 14(2) Konvensi Wina 1969, "penerimaan" dan "penyetujuan" memiliki syarat yang serupa dengan ratifikasi. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang berarti antara penandatanganan yang masih membutuhkan ratifikasi, penerimaan, ataupun penyetujuan. Biasanya perjanjian-perjanjian multilateral saat ini memiliki pasal yang menyatakan "bergantung pada ratifikasi, penerimaan, atau penyetujuan" (''subject to ratification, acceptance or approval''). Pada dasarnya Konvensi Wina 1969 memungkinkan prosedur penerimaan dan penyetujuan karena ratifikasi seringkalisering kali memerlukan persetujuan dari parlemen. Ada pula perjanjian yang hanya memungkinkan penerimaan. Contohnya adalah perjanjian yang ditetapkan di bawah naungan [[Organisasi Pangan dan Pertanian]].{{sfn|Aust|2007|p=109-110}}
 
Berbagai perjanjian multilateral juga memungkinkan prosedur aksesi, terutama perjanjian yang sudah tidak dapat lagi ditandatangani (misalnya karena tenggat waktunya sudah lewat).{{sfn|Aust|2007|p=110-111}} Akan tetapi, Pasal 15 Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa aksesi hanya diperbolehkan jika prosedur tersebut dimungkinkan oleh perjanjiannya atau apabila negara-negara pihak pada perjanjian tersebut memperbolehkannya.{{sfn|Aust|2010|p=61}} Pada dasarnya, melalui prosedur aksesi, suatu negara dapat bergabung dengan suatu perjanjian dengan menyerahkan dokumen aksesi kepada negara penyimpan.{{sfn|Aust|2007|p=111}} Sementara itu, untuk "cara lain yang disepakati", contohnya adalah "[[Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir|Teks yang mendirikan Komisi Persiapan Perjanjian Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir]]" tahun 1996 yang ditetapkan melalui sebuah resolusi yang dikeluarkan oleh negara-negara yang telah menandatangani [[Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir|Perjanjian Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir]] dan langsung berlaku untuk negara-negara tersebut.{{sfn|Aust|2007|p=113}}
Baris 87:
Pasal 31 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa "Suatu perjanjian ditafsirkan dengan iktikad baik sesuai dengan pengertian yang lazim diberikan terhadap istilah-istilah dari perjanjian sesuai konteksnya dan berdasarkan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut."{{sfn|Aust|2007|p=233}}{{sfn|Dörr|2012b|p=559}} Pasal ini disebut "aturan umum penafsiran" (''general rule of interpretation'', dalam bentuk tunggal, yang berarti hanya ada satu aturan).{{sfn|Aust|2007|p=233}}{{sfn|Dörr|2012b|p=561}} Pada dasarnya ada tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu teks, konteks, serta maksud dan tujuan.{{sfn|Aust|2007|p=234}} Kendati demikian, aturan ini pada dasarnya berfokus pada pendekatan tekstual.{{sfn|Dörr|2012b|p=579-580}} Pasal ini juga merupakan penggabungan tiga asas menjadi satu, yaitu asas iktikad baik (yang berasal dari aturan ''pacta sunt servanda'' dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969), asas bahwa penafsiran harus mengacu kepada makna teks yang lazim diberikan dan bukan makna khusus, serta asas bahwa makna yang lazim diberikan juga harus mempertimbangkan konteks serta maksud dan tujuan dari suatu perjanjian.{{sfn|Dörr|2012b|p=580}} "Makna yang lazim diberikan" sendiri bukan berarti bahwa makna tersebut harus sesuai dengan pemahaman awam, tetapi pemahaman yang lazim di antara orang yang cukup tahu soal istilah yang bersangkutan.{{sfn|Dörr|2012b|p=542}}
 
Penafsiran yang didasarkan pada Pasal 31 Konvensi Wina 1969 dimulai dengan mencari makna yang lazim dari suatu teks. Biasanya pengadilan-pengadilan internasional menggunakan kamus untuk mencari makna ini, walaupun kamus seringkalisering kali mencatat semua makna yang ada dan bukan hanya makna yang lazim.{{sfn|Dörr|2012b|p=581}} Setelah itu, penafsir harus melihat konteksnya, dan hal ini diatur dalam Pasal 31(2) Konvensi Wina 1969.{{sfn|Dörr|2012b|p=588}} Seluruh isi dari perjanjian dapat dianggap sebagai konteks, termasuk mukadimah, lampiran, protokol, dan judulnya. Keberadaan koma bahkan bisa menentukan makna suatu pasal.{{sfn|Dörr|2012b|p=582}} Selain itu, terdapat dua dokumen di luar traktat yang dapat dianggap sebagai konteks, yaitu perjanjian dan instrumen yang berhubungan dengan proses penyimpulan suatu perjanjian.{{sfn|Dörr|2012b|p=588-590}} Pasal 31(3) juga menyebutkan dokumen lain yang dapat dipertimbangkan bersamaan dengan konteks, yaitu: 1) perjanjian yang dibuat sesudahnya terkait dengan penafsiran traktat atau penerapannya, 2) praktik setelahnya yang menghasilkan kesepakatan dalam menafsirkan traktatnya, dan 3) aturan-aturan hukum internasional lain yang mungkin dapat diberlakukan.{{sfn|Dörr|2012b|p=592-612}} Sementara itu, "maksud dan tujuan" dari suatu perjanjian bisa dinyatakan secara gamblang dalam mukadimah atau pasalnya (misalnya Pasal 1 Piagam PBB).{{sfn|Dörr|2012b|p=585}} Namun, "maksud dan tujuan" tidak bisa dipakai untuk mengubah makna yang lazim diberikan kepada suatu istilah.{{sfn|Dörr|2012b|p=586-587}}
 
Apabila penafsiran yang dilakukan menghasilkan makna yang "rancu atau kabur" (''ambiguous or obscure'') atau "mustahil atau tidak masuk akal" (''manifestly absurd or unreasonable''), Pasal 32 Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa penafsir dapat menggunakan cara penafsiran tambahan, salah satunya dengan melihat dokumen persiapan perjanjian atau ''[[travaux préparatoires]]''.{{sfn|Aust|2007|p=244-245}} Menurut pakar hukum [[Swedia]] Ulf Linderfalk, Pasal 32 lebih diutamakan daripada Pasal 31 apabila syarat-syarat dalam Pasal 32 telah terpenuhi.{{sfn|Linderfalk|2015|p=184}} Namun, tujuan utama dari cara penafsiran tambahan ini adalah untuk menerangkan makna yang didapat dari Pasal 31, dan Pasal 32 tidak boleh dijadikan sebagai titik awal.{{sfn|Aust|2007|p=244-245}} ''Travaux préparatoires'' sendiri adalah satu contoh yang disebutkan secara gamblang oleh Pasal 32.{{sfn|Aust|2007|p=248}} Terdapat beberapa cara penafsiran tambahan lain yang dapat dipakai untuk membantu proses penafsiran, contohnya adalah ''[[argumentum a contrario]]'' (penafsiran yang didasarkan pada penalaran bahwa penulis perjanjian akan membuat perumusan secara gamblang jika itu memang makna yang diinginkan oleh mereka).{{sfn|Aust|2007|p=248}}{{sfn|Yusuf|Peat|2017|p=13, 18}}
 
Sementara itu, perjanjian multilateral seringkalisering kali dirumuskan dalam beberapa bahasa. Pasal 33 Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa semua versi resmi dari suatu perjanjian dianggap berkedudukan sama, bahkan jika ada perbedaan makna di antara versi-versi tersebut, kecuali jika negara-negara pihak dalam perjanjian tersebut membuat ketentuan yang lain (misalnya menjadikan salah satu bahasa sebagai versi yang paling otoritatif).{{sfn|Aust|2007|p=253}}{{sfn|Dörr|2012b|p=581-582}} Aturan dalam pasal ini juga dianggap melambangkan kebiasaan internasional.{{sfn|Dörr|2012b|p=562-563}}
 
=== Metode lain ===
Baris 113:
== Suksesi perjanjian ==
{{main|Suksesi negara}}
Ketika suatu negara baru terbentuk setelah memisahkan diri dari negara lain atau sebagai pengganti dari suatu negara yang telah dibubarkan, muncul pertanyaan apakah perjanjian-perjanjian yang pernah diratifikasi oleh negara pendahulu juga mengikat negara yang baru terbentuk tersebut. Hal ini tidak diatur dalam Konvensi Wina 1969.{{sfn|Zimmermann|2006}}{{sfn|Aust|2007|p=367-368}} Konvensi yang berisi tentang pewarisan perjanjian adalah [[Konvensi Wina tentang Suksesi Negara dalam Hubungan dengan Perjanjian Internasional]] tahun 1978, tetapi perjanjian ini baru mulai berlaku pada tahun 1996 dan jumlah negara yang meratifikasinya tidaklah banyak; pada akhir tahun 2006, jumlah negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut hanya 21. Hal ini dikarenakan sebagian besar negara menganggap perjanjian ini tidak relevan untuk mereka, terutama karena era [[dekolonisasi]] sudah berakhir.{{sfn|Aust|2007|p=368}} Walaupun begitu, dalam sejarah, terdapat beberapa contoh suksesi perjanjian oleh negara pewaris, seperti pembubaran [[Uni Soviet]] dan pewarisan perjanjian-perjanjiannya oleh [[Federasi Rusia]]. Sementara itu, negara-negara yang memisahkan diri dari negara lain (terutama dalam konteks dekolonisasi) seringkalisering kali mengikuti asas ''[[tabula rasa]]'' yang berarti bahwa negara tersebut harus meratifikasi kembali perjanjian-perjanjian yang ingin diikutinya.{{sfn|Zimmermann|2006}}
 
Menurut pakar hukum internasional Anthony Aust, terdapat beberapa kebiasaan internasional yang terkait dengan suksesi perjanjian. Pada dasarnya negara baru tidak langsung mewarisi perjanjian yang subjeknya berkaitan dengan hubungan politik negara pendahulu dengan negara lain, contohnya adalah perjanjian persekutuan. Negara yang baru terbentuk akan mewarisi perjanjian yang berkaitan dengan status wilayah atau navigasi sungai, contohnya adalah negara-negara bekas Yugoslavia yang mewarisi keterlibatan Yugoslavia dalam [[Perjanjian Negara Austria]] tahun 1955. Jika suatu negara menjadi bagian dari negara lain (seperti [[Jerman Timur]] yang [[reunifikasi Jerman|bersatu dengan]] [[Jerman Barat]] pada tahun 1990), perjanjian yang sebelumnya diikuti oleh negara yang bergabung tidak akan diwarisi oleh negara yang menerima penggabungan tersebut, kecuali jika peristiwa yang terjadi adalah penyatuan yang sesungguhnya di antara dua negara (seperti [[penyatuan Yaman|penyatuan]] [[Republik Yaman]] dengan [[Republik Demokratik Rakyat Yaman]] pada tahun 1990). Negara baru biasanya tidak langsung mewarisi perjanjian multilateral dan mereka bebas untuk memilih apakah akan mewarisinya atau tidak.{{sfn|Aust|2007|p=369-371}}