Penyatuan Jerman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak perubahan teks terakhir (oleh 116.206.13.169) dan mengembalikan revisi 15381824 oleh Mimihitam
k bentuk baku
Baris 4:
'''Penyatuan [[Jerman]]''' menjadi negara yang terintegrasi secara politik dan administratif secara resmi berlangsung pada 18 Januari 1871 di [[Balai Cermin (Istana Versailles)|Balai Cermin]] [[Istana Versailles]] di [[Prancis]]. Pangeran-pangeran negara-negara Jerman berkumpul untuk memproklamirkan [[Wilhelm I, Kaisar Jerman|Wilhelm]] dari [[Prusia]] sebagai Kaisar Wilhelm dari [[Kekaisaran Jerman]] setelah Prancis menyerah dalam [[Perang Prancis-Prusia]]. Transisi ''de facto'' sebagian besar penduduk berbahasa Jerman menjadi negara-negara yang tergabung dalam (kon)federasi telah berlangsung secara tidak resmi melalui aliansi resmi dan tidak resmi para penguasa — tetapi tanpa kemajuan yang berarti, karena kepentingan pribadi penguasa menghambat proses penyatuan selama hampir satu abad setelah pembubaran [[Kekaisaran Romawi Suci]] (1806) dan kebangkitan [[nasionalisme Jerman]] selama era [[peperangan era Napoleon|peperangan Napoleon]].
 
Penyatuan ini menimbulkan ketegangan akibat perbedaan religius, linguistik, sosial, dan budaya penduduk Kekaisaran Jerman, sehingga peristiwa tahun 1871 hanya merupakan satu momen dalam serangkaian proses penyatuan yang lebih besar. Sebelumnya, [[Kaisar Romawi Suci]] seringkalisering kali disebut "Kaisar seluruh Jerman ", dan di Kekaisaran, anggota bangsawan tinggi disebut "Pangeran-Pangeran Jerman", sebab wilayah-wilayah berbahasa Jerman yang sebelumnya disebut [[Francia Timur]] terorganisasi menjadi kerajaan-kerajaan kecil sebelum bangkitnya [[Karel yang Agung]] (800 M). Karena wilayah tersebut memiliki relief yang bergunung-gunung, muncul perbedaan budaya, pendidikan, bahasa, dan agama di antara warga yang saling terisolasi. Namun, Jerman pada abad ke-19 menikmati kemajuan transportasi dan komunikasi yang menghubungkan rakyatnya dalam budaya yang lebih besar.
 
Kekaisaran Romawi Suci, yang meliputi lebih 500 negara merdeka, secara resmi dibubarkan ketika Kaisar [[Franz II, Kaisar Romawi Suci|Franz II]] turun dari tahta (6 Agustus 1806) selama [[Perang Koalisi Ketiga]]. Walaupun pembubaran Kekaisaran mengakibatkan gangguan hukum, administratif, dan politik, penduduk wilayah berbahasa Jerman di Kekaisaran tersebut memiliki bahasa, budaya, dan tradisi hukum bersama yang semakin diperkuat oleh pengalaman bersama selama [[Perang Revolusi Prancis]] dan [[Peperangan era Napoleon|Peperangan Napoleon]]. Namun, masing-masing negara merdeka tersebut memiliki kelas penguasa, asosiasi feudal, tradisi, dan hukum tersendiri. Selain itu, terdapat kecenderungan untuk menolak perubahan karena para bangsawan ingin mempertahankan kekuasaan mereka. [[Liberalisme Eropa]] menjadi dasar intelektual penyatuan Jerman karena menentang model organisasi politik dan sosial yang [[absolutisme|absolutis]] dan [[dinasti]]k; liberalisme Jerman menekankan pentingnya kesatuan tradisi, pendidikan, dan bahasa. Sementara itu, dalam bidang ekonomi, pendirian ''[[Zollverein]]'' ([[serikat pabean]]) Prusia pada tahun 1818 yang meliputi negara-negara [[Konfederasi Jerman]] mengurangi kompetisi di dalam dan antar negara. Kemajuan transportasi memfasilitasi kunjungan bisnis dan wisata, sehingga mendorong kontak dan juga konflik antar penutur bahasa Jerman.
Baris 130:
 
=== 1848 dan Parlemen Frankfurt berdasarkan tinjauan sejarah ===
Ahli sejarah Jerman telah memperdebatkan bagaimana keberhasilan dan kegagalan Parlemen Frankfurt memengaruhi pembentukan bangsa Jerman. Menurut salah satu mazhab yang muncul setelah [[Perang Dunia I]] dan banyak diikuti setelah [[Perang Dunia II]], kegagalan kaum liberal Jerman di Parlemen Frankfurt menciptakan kompromi antara kelas [[borjuis]] dengan konservatif (terutama pemilik tanah [[Junker]] konservatif), yang kemudian mengarahkan Jerman pada ''[[Sonderweg]]'', atau jalan yang berbeda dari bangsa lain.<ref>Contoh-contoh argumen ini muncul dalam: Ralf Dahrendorf, ''German History'', (1968), hlm. 25–32; {{de icon}} Hans Ulrich Wehler, ''Das Deutsche Kaiserreich, 1871–1918'', Göttingen, 1973, hlm. 10–14; Leonard Krieger, ''The German Idea of Freedom'', Chicago, 1957; Raymond Grew, ''Crises of Political Development in Europe and the United States'', Princeton, 1978, hlm. 312–345; Jürgen Kocka and Allan Mitchell. ''Bourgeois society in nineteenth-century Europe.'' Oxford, 1993; Jürgen Kocka, "German History before Hitler: The Debate about the German Sonderweg." ''Journal of Contemporary History'', Vol. 23, No. 1 (January, 1988), hlm. 3–16; Volker Berghahn, ''Modern Germany. Society, Economy and Politics in the Twentieth Century.'' Cambridge, 1982.</ref> Menurut argumen ini, kegagalan penyatuan pada tahun 1848 mengakibatkan pembentukan negara-bangsa Jerman yang terlambat pada tahun 1871, sehingga memperlambat perkembangan nilai-nilai nasional positif. Hitler seringkalisering kali menyerukan kepada rakyat Jerman untuk mengorbankan semuanya demi negara mereka, tetapi rezimnya tidak menciptakan nasionalisme Jerman: rezim tersebut hanya memanfaatkan nilai budaya intrinsik masyarakat Jerman yang bahkan masih ada hingga kini.<ref>World Encyclopedia V.3 hlm. 542</ref> Selain itu, menurut argumen ini, "kegagalan" tahun 1848 menegaskan kembali keinginan aristokratik terpendam di antara kelas menengah Jerman; akibatnya, kelompok ini tidak pernah mengembangkan program modernisasi.<ref>Untuk melihat ringkasan argumen ini, lihat David Blackbourn, and Geoff Eley. ''The peculiarities of German history: bourgeois society and politics in nineteenth-century Germany.'' Oxford & New York, 1984, bagian 1.</ref>
 
Para ahli saat ini cenderung menolak gagasan tersebut, dan mengklaim bahwa Jerman tidak memiliki "jalan yang berbeda" dari bangsa lain.<ref>Blackbourn and Eley. ''Peculiarities'', Part I.</ref> Malahan, sejarawan modern mengklaim bahwa pada tahun 1848 politikus liberal telah berhasil mencapai beberapa hal. Banyak gagasan dan program mereka yang nantinya dimasukkan ke dalam program sosial Bismarck (seperti asuransi sosial, program pendidikan, dan definisi hak suara yang lebih luas). Selain itu, gagasan jalan yang berbeda bergantung pada asumsi bahwa jalan negara lain (dalam kasus ini, Britania Raya) adalah jalan yang patut diterima.<ref>Blackbourn and Eley, ''Peculiarities'', Chapter 2.</ref> Argumen ini juga menentang model perkembangan yang berpusat pada Britania: penelitian perkembangan nasional Britania dan negara "normal" lainnya (seperti Prancis dan Amerika Serikat) telah menunjukkan bahwa negara-bangsa modern tidak berkembang dengan cara yang sama. Mereka juga tidak berkembang awal sekali, tetapi merupakan fenomena pertengahan hingga akhir abad ke-19.<ref>Blackbourn and Eley, ''Peculiarities'', pp. 286–293.</ref> Semenjak tahun 1990-an, cara pandang ini banyak diterima, meskipun beberapa sejarawan masih menganggap analisis ''Sonderweg'' sebagai analisis yang tepat untuk memahami periode [[Nazisme]] di Jerman.<ref>Jürgen Kocka, "Comparison and Beyond.'" ''History and Theory'', Vol. 42, No. 1 (February, 2003), hlm. 39–44, and Jürgen Kocka, "Asymmetrical Historical Comparison: The Case of the German ''Sonderweg''", ''History and Theory'', Vol. 38, No. 1 (February, 1999), hlm. 40–50.</ref><ref>Untuk melihat analisis dari sudut pandang ini, lihat Richard J. Evans, ''Rethinking German history: nineteenth-century Germany and the origins of the Third Reich.'' London, 1987.</ref>
Baris 162:
[[Perang Krimea]] pada tahun 1854–55 dan [[Perang Kemerdekaan Italia Kedua|Perang Italia 1859]] mengacaukan hubungan antara Britania Raya, Prancis, Austria, dan Rusia. Setelah peristiwa tersebut, dampak dari perancangan ulang von Moltke, restrukturisasi angkatan bersenjata von Roon dan Wilhelm, serta diplomasi Bismarck memengaruhi penyusunan kembali keseimbangan kekuatan di Eropa. Agenda gabungan mereka menjadikan Prusia sebagai kekuatan Jerman utama melalui kemenangan diplomasi - yang didukung oleh kekuatan militer Prusia - dan konservatisme internal yang dibatasi oleh pragmatisme, yang dikenal dengan julukan ''[[Realpolitik]]''.<ref>Blackbourn, ''Long Century'', hlm. 175–179.</ref>
 
Bismarck menjelaskan inti dari ''Realpolitik'' dalam [[Darah dan Besi (pidato)|pidato "Darah dan Besi"nya]] pada 30 September 1862, segera setelah ia menjadi Presiden Menteri: "permasalahan-permasalahan besar saat ini tidak akan diselesaikan oleh pidato dan keputusan mayoritas-itu adalah kesalahan besar pada tahun 1848 dan 1849—tetapi oleh besi dan darah."<ref>Hollyday, 1970, hlm. 16–18.</ref> Kata-kata Bismarck, "besi dan darah" (atau "darah dan besi"), seringkalisering kali disalahartikan sebagai bukti bahwa Jerman haus akan darah dan kekuatan.<ref>Blackbourn, ''Peculiarities'', Bagian I.</ref> Frase dari pernyataan pertamanya "permasalahan-permasalahan besar saat ini tidak akan diselesaikan oleh pidato dan keputusan mayoritas" acapkali ditafsirkan sebagai penolakan akan proses politik - penolakan yang sebenarnya tidak didukung oleh Bismarck sendiri.<ref>Bismarck had "cut his teeth" on German politics, and German politicians, in Frankfurt: a quintessential politician, Bismarck had built his power-base by absorbing and co-opting measures from throughout the political spectrum. He was first and foremost a politician, and in this lied his strength. Furthermore, since he trusted neither Moltke nor Roon, he was reluctant to enter a military enterprise over which he would have no control. Mann, Chapter 6, pp. 316–395.</ref> Penekanannya pada darah dan besi bukan berarti kekuatan militer Prusia yang tak tertandingi, tetapi dua aspek penting: kemampuan negara-negara Jerman untuk menghasilkan besi dan bahan baku perang lainnya dan kemauan untuk menggunakan bahan baku tersebut apabila diperlukan.<ref>[[Isabel V. Hull]], ''Absolute Destruction: Military culture and the Practices of War in Imperial Germany'', Ithaca, New York, 2005, hlm. 90–108; 324–333.</ref>
 
== Mendirikan negara bersatu ==
Baris 187:
{{legend|#00FF00|Netral}}
{{legend|#FFFF00|Di bawah pemerintahan gabungan (Schleswig-Holstein)}}]]
Episode kedua dalam upaya penyatuan oleh Bismarck berlangsung pada tahun 1866. Bersamaandengan [[penyatuan Italia|Italia yang baru dibentuk]], Bismarck menciptakan keadaan diplomatik yang membuat Austria menyatakan perang pada Prusia. Sebelum perang meletus, di Frankfurt kedua negara mengklaim sebagai perwakilan semua negara-negara Jerman di parlemen. Pada April 1866, perwakilan Prusia di [[Firenze]] menandatangani perjanjian rahasia dengan pemerintah Italia. Mereka berjanji untuk membantu satu sama lain dalam perang melawan Austria. Pada hari berikutnya, perwakilan Prusia di dewan Frankfurt mempresentasikan rencana yang menyerukan pembuatan konstitusi nasional, dewan nasional yang dipilih secara langsung, dan [[hak pilih universal]]. Kaum liberal Jerman meragukan rencana ini karena telah menyaksikan hubungan Bismarck yang ambigu dan sulit dengan ''Landtag'' Prusia (Parlemen Negara): Bismarck seringkalisering kali membujuk dan memandang buruk para anggota perwakilan. Mereka yang ragu menganggap rencana tersebut sebagai upaya untuk memperkuat Prusia dan bukan agenda reformasi yang progresif.<ref>Sheehan, hlm. 900–906.</ref>
 
==== Mendukung Austria atau Prusia ====
Baris 256:
Apabila reli Wartburg dan Hambach tidak memiliki konstitusi dan aparatur administratif, masalah tersebut diselesaikan pada tahun 1867 dan 1871. Namun, pidato besar, bendera, penonton yang antusias, konstitusi, reorganisasi pollitik, superstruktur kekaisaran, dan perubahan pada uni pabean pada tahun 1867-68 masih belum menghasilkan suatu [[bangsa]].<ref>Blackbourn, ''Long Century'', hlm. 240–290.</ref>
 
Salah satu unsur penting dalam suatu negara-bangsa adalah budaya nasional, yang seringkalisering kali - walaupun tidak harus - dibuat melalui kebijakan nasional.<ref>Untuk mengetahui lebih banyak tentang gagasan ini, lihat Joseph R. Llobera, and Goldsmiths' College. ''The role of historical memory in (ethno)nation-building'', Goldsmiths sociology papers. London, 1996; {{de icon}} Alexandre Escudier, Brigitte Sauzay, and Rudolf von Thadden. ''Gedenken im Zwiespalt: Konfliktlinien europäischen Erinnerns'', Genshagener Gespräche; vol. 4. Göttingen: 2001; Alon Confino. ''The Nation as a Local Metaphor: Württemberg, Imperial Germany, and National Memory, 1871–1918.'' Chapel Hill, 1999.</ref> Dalam bangsa Jerman yang baru, kebijakan ''[[Kulturkampf]]'' (1872–78) dilancarkan untuk membereskan beberapa perbedaan dalam masyarakat Jerman, walaupun pada akhirnya tidak berhasil. Khususnya, kebijakan ini berusaha mengatur masalah bahasa, pendidikan, dan agama. Kebijakan [[Jermanisasi]] orang-orang non-Jerman (seperti [[Bangsa Polandia|orang Polandia]] dan [[bangsa Denmark|Denmark]]) dimulai dengan pengajaran [[bahasa Jerman]], wajib belajar, dan pembuatan kurikulum standar yang mempromosikan dan merayakan gagasan masa lalu bersama. Pada akhirnya, kebijakan tersebut juga mengatur urusan agama.<ref>Blackbourn, ''Long Century'', hlm. 243–282.</ref>
 
=== ''Kulturkampf'' ===
Baris 269:
[[Yahudi Ashkenazi]] merupakan salah satu minoritas yang rentan di Jerman. Semenjak tahun 1780, setelah diberlakukannya emansipasi oleh Kaisar Romawi Suci [[Joseph II, Kaisar Romawi Suci|Joseph II]], Yahudi di bekas wilayah Habsburg menikmati hak istimewa dalam bidang ekonomi dan hukum: misalnya, mereka boleh memiliki tanah, dan mereka tidak harus tinggal di daerah Yahudi (juga disebut ''[[Ghetto|Judengasse]]''). Mereka juga dapat masuk universitas dan berprofesi. Selama era Napoleon, pembatas antara orang-orang Yahudi dan Kristen mulai sirna. Napoleon memerintahkan [[emansipasi Yahudi]] di wilayah yang dikuasai oleh Prancis. Yahudi yang kaya, seperti orang-orang Prancis lainnya, mensponsori [[Salon (perkumpulan)|perkumpulan "salon"]]; beberapa ''salonnières'' Yahudi mengadakan pertemuan penting di Frankfurt dan Berlin, dan di tempat tersebut kaum intelektual Jerman mengembangkan intelektualisme republikannya tersendiri. Dalam dasawarsa-dasawarsa berikutnya, setelah kekalahan Prancis, tanggapan negatif terhadap percampuran orang Yahudi dan Kristen membatasi dampak intelektual salon-salon tersebut. Selain salon, Yahudi meneruskan proses [[Jermanisasi]] dengan menggunakan cara berpakaian dan berbicara Jerman, dan berusaha untuk masuk ke dalam ruang publik Jerman pada abad ke-19. Pergerakan reformasi religius di antara orang-orang Yahudi Jerman mencerminkan upaya ini.<ref>Marion Kaplan, ''The making of the Jewish middle class: women, family, and identity in Imperial Germany'', New York, 1991.</ref>
 
Pada saat penyatuan, Yahudi Jerman berperan penting dalam dasar intelektual Jerman. Pengusiran orang Yahudi dari Rusia pada tahun 1880-an dan 1890-an mempersulit integrasi ke ruang publik Jerman. Ribuan Yahudi Rusia tersebut tiba di kota-kota Jerman utara; mereka dianggap kurang berpendidikan dan kurang makmur, dan kemiskinan mereka seringkalisering kali mencemaskan Yahudi yang terjermanisasi. Banyak permasalahan yang terkait dengan kemiskinan (seperti penyakit, rumah yang terlalu padat, pengangguran, putus sekolah, penolakan belajar bahasa Jerman, dll) tidak hanya menekankan perbedaan mereka dengan orang Jerman yang Kristen, tetapi juga dengan penduduk Yahudi lokal.<ref>Kaplan, in particular, hlm. 4–7 and Conclusion.</ref>
 
=== Proses penulisan sejarah ===