Peranan seks dan gender dalam Gereja Katolik: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
k bentuk baku
Baris 3:
</ref>]]
 
'''Peranan seks dan gender dalam Gereja Katolik''' telah menjadi subjek intrik maupun kontroversi sepanjang sejarah Gereja. Pengaruh kultural [[Gereja Katolik]] telah menyebar luas, terutama pada masyarakat Barat.<ref name="Orlandis">Orlandis, preface</ref> Konsep-konsep Kristiani, yang diperkenalkan oleh Gereja ke dalam masyarat-masyarakat di seluruh dunia yang menerima penginjilan, memiliki suatu dampak yang signifikan pada pandangan-pandangan kultural yang terbentuk dalam hal [[Gender dan agama|peranan seks dan gender]]. Pengurbanan manusia, perbudakan, infantisida, dan poligami yang dipraktikkan oleh budaya-budaya seperti yang dimiliki Kekaisaran Romawi, Eropa, Amerika Latin, dan sebagian Afrika<ref name="Bokenkotter56">Bokenkotter, p. 56.</ref><ref name="Noble230"/><ref name="Noble445">Noble, p. 445.</ref><ref name="Stearns65">Stearns, p. 65-66.</ref><ref name="Hastings309">Hastings, p. 309.</ref> berakhir melalui upaya-upaya penginjilan Gereja. Para sejarawan mencatat bahwa misionaris-misionaris Katolik, para paus dan [[ordo keagamaan Katolik|kaum religius]] termasuk di antara para pemimpin dalam kampanye-kampanye menentang perbudakan, suatu kelembagaan yang telah ada di hampir semua kebudayaan<ref name="Chadwick242">Chadwick, Owen p. 242.</ref><ref name="Noll137">Noll, p. 137–140.</ref><ref name="Duffy221">Duffy, p. 221</ref> dan seringkalisering kali meliputi perbudakan seksual kaum wanita. Kekristenan mempengaruhi status kaum wanita dalam budaya-budaya yang menerima penginjilan seperti Kekaisaran Romawi dengan cara mengutuk [[infantisida]] (infantisida perempuan lebih umum), [[perceraian]], [[inses]], [[poligami]], dan [[ketidaksetiaan dalam perkawinan]] yang dilakukan kaum pria maupun kaum wanita.<ref name="Bokenkotter56"/><ref name="Noble230">Noble, p. 230.</ref><ref name="Stark104">Stark, p. 104.</ref> Beberapa kritikus mengatakan kalau Gereja dan ajaran-ajaran dari [[Paulus dari Tarsus|St. Paulus]], para [[Bapa Gereja]] dan teolog [[skolastisisme|skolastik]] memelihara suatu gagasan bahwa inferioritas perempuan ditetapkan secara ilahiah,<ref name="Bokenkotter465">Bokenkotter, p. 465</ref> kendati ajaran resmi Gereja<ref name="Kreeft61">Kreeft, p. 61.</ref> memandang kaum wanita dan kaum pria setara, berbeda, dan saling melengkapi.
 
Praktik-praktik seksual dalam budaya-budaya tersebut dipengaruhi oleh konsep Kristiani tentang kaum pria, kesetaraan kaum wanita. Menurut Gereja, tindakan seksual adalah suci di dalam konteks relasi suami-istri yang mencerminkan suatu anugerah timbal-balik seumur hidup dan lengkap antara seorang pria dan seorang wanita,<ref name="Kreeft245">Kreeft, p. 245</ref> satu hal yang merintangi poligami dan pergundikan sehingga menjadi umum dalam budaya-budaya sebelum hadirnya Kekristenan. Kesetaraan kaum pria dan kaum wanita yang tercermin dalam ajaran Gereja bahwa kedua jenis kelamin itu dimaksudkan oleh rancangan ilahiah untuk berbeda dan saling melengkapi, masing-masing memiliki martabat yang sama dan diciptakan berdasarkan citra Allah,<ref name="Kreeft, p. 244">Kreeft, p. 244</ref> juga merupakan suatu konsep budaya-tandingan.
 
== Ajaran resmi Gereja tentang kasih suami-istri dan isu-isu seksual ==
Menurut Gereja, manusia adalah makhluk seksual yang identitas seksualnya harus diterima dalam kesatuan tubuh dan jiwanya.<ref>{{KGK|pp name=2331|end=2400|long=yes}}<"Cat2331"/ref> Perbedaan jenis kelamin dimaksudkan seturut rancangan ilahi untuk berbeda dan saling melengkapi, masing-masing memiliki martabat yang sama dan diciptakan sesuai citra Allah.<ref name="Kreeft, p. 244"/> Tindakan seksual (persetubuhan) adalah suci di dalam konteks hubungan suami istri yang mencerminkan suatu anugerah timbal-balik seumur hidup dan lengkap antara seorang pria dan seorang wanita.<ref name="Kreeft245"/> Karenanya [[Dosa (Kristen)|dosa-dosa]] seksual bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap tubuh tetapi terhadap seluruh keberadaan pribadinya.<ref name="Kreeft245"/> Dalam buku ''[[Crossing the Threshold of Hope|Melintasi Ambang Pengharapan]]'' yang ditulisnya pada tahun 1994, [[Paus Yohanes Paulus II]] merefleksikan konsep tersebut dengan menyatakan:
<blockquote>Bagaimanapun, orang-orang muda selalu mencari keindahan dalam cinta. Mereka menginginkan cinta mereka menjadi indah. Jika mereka menyerah pada kelemahan, dengan mengikuti model perilaku yang secara tepat dapat dianggap sebagai suatu 'skandal dalam dunia masa kini' (dan sayangnya model ini menyebar luas), dalam kedalaman hatinya mereka masih mendambakan suatu cinta yang murni dan indah. Hal ini berlaku pada anak laki-laki sebagaimana juga anak perempuan. Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa hanya Allah yang dapat memberikan mereka cinta semacam ini. Alhasil mereka bersedia untuk mengikuti Kristus, tanpa mempedulikan pengorbanan-pengorbanan yang mungkin menuntutnya.<ref>John Paul II, p. 123</ref></blockquote>