Eyang Hasan Maolani: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 2:
{{Tone}}
[[Berkas:Sketsa Wajah Eyang Hasan Maolani.jpg|jmpl|Sketsa Wajah Eyang Hasan Maolani.]]
'''Eyang Hasan Maolani''' ({{lahirmati||21|5|1782||30|4|1874}})<Ref>https://republika.co.id/berita/pvewmc320/eyang-hasan-maolani-guru-tarekat-penyebar-islam-di-kuningan</ref> adalah seorang tokoh agama [[Indonesia]] pada masa penjajahan Kolonial Belanda pada sekitar abad ke-19. Pemerintah Kolonial Belanda sempat mengasingkannya ke Kampung Jawa Tondano di Sulawesi Utara, bergabung dengan para gerilyawan Perang Jawa.<ref name=":0">{{Cite booksfn|title=Gegap Gempita Perjalanan Sejarah dan Upaya Status Kepahlawanan Eyang Hasan Maolani Lengkong|last=Bahri|first=Idik Saeful|date=2020|publisher=Rasi Terbit|isbn=|location=Bandung|pages=|url-status=live}}</ref>
 
Hasan Maolani dikenal masyarakat lokal [[Lengkong, Garawangi, Kuningan|Desa Lengkong]], [[Kabupaten Kuningan]] sebagai Eyang Hasan Maolani. Penggunaan kata 'eyang' merujuk istilah dalam tata bahasa Sunda untuk menyebut orang yang dituakan dan menjadi sesepuh di sebuah lingkungan tertentu.<ref name=":1">{{Cite booksfn|title=Gegap Gempita Perjalanan Sejarah dan Upaya Status Kepahlawanan Eyang Hasan Maolani Lengkong|last=Bahri|first=Idik Saeful|date=2020|publisher=Rasi Terbit|isbn=|location=Bandung|pagespage=2|url-status=live}}</ref> Hasan Maolani juga dikenal sebagai Eyang Menado setelah ia diasingkan di Sulawesi Utara.<ref name{{sfn|Bahri|page=":1" />2}}
 
Makam Eyang Hasan Maolani dikenal juga sebagai 'Makam Rambut'. Hal ini disebabkan karena Hasan Maolani mengirimkan beberapa lembar rambutnya untuk dikubur di Desa Lengkong Kuningan, agar para generasi selanjutnya di Lengkong tidak memiliki beban berziarah jauh ke tempat pekuburannya di Sulawesi.{{sfn|Bahri|page=3}}
Baris 14:
 
=== Silsilah ===
Dari hasil penelusuran garis keturuan Eyang Hasan Maolani, diketahui bahwa ia merupakan keturunan kebangsawanan dari Kesultanan Cirebon.<ref name=":0" />{{sfn|Bahri}} Selain memiliki hubungan nasab kepada Sunan Gunung Djati yang merupakan pemuka besar Kesultanan Cirebon, Hasan Maolani juga memiliki hubungan darah kepada Prabu Siliwangi. Nasab dari jalur ibu ini mempertemukan Eyang Hasan Maolani hingga Prabu Siliwangi.<ref name=":0" />{{sfn|Bahri}}
 
{|class = "wikitable" width=100%;
Baris 55:
 
== Pendidikan ==
Primbon Eyang Abshori menuliskan bahwa Hasan Maolani pernah menjalani masa pendidikan di [[pesantren]] selama 7 tahun 6 bulan dari beberapa orang kiai, antara lain:<ref name=":0" />{{sfn|Bahri}}<ref>Abu Abdullah Hadziq, 2017, Sang Kyai Sedjati: Eyang Maolani, Kuningan: Panitia Haul Eyang Hasan Maolani, hlm. 12.</ref>
* Kiai Alimudin, dari Pangkalan
* Kiai Sholehudin, dari Kadugede
Baris 70:
 
== Pernikahan ==
Selesai belajar ilmu agama di banyak pesantren, Eyang Hasan Maolani kemudian menikah dengan seorang gadis bernama Murtasim binti Kiai Arifah yang berasal dari Desa Garawangi. Mustasim ini jika dirunut nasabnya, masih merupakan keturunan dari Lengkong, karena Kiai Arifah merupakan putra dari Kiai Khatib Syaribah yang merupakan menantu dari Kiai Bagus Arsyam/Nyai Buyut Jembar Lengkong.<ref name=":0" />{{sfn|Bahri}} Dari hasil pernikahan dengan Murtasim, Eyang Hasan Maolani dikaruniai 11 orang anak, yaitu:<ref name=":0" />{{sfn|Bahri}}
# Hasan Imrani (dimakamkan di Cikaso);
# Mu'minah (dimakamkan di Karangmangu);
Baris 85:
== Era pemerintahan Belanda ==
=== Tuduhan ===
Gerakan-gerakan tarekat yang dikembangkan oleh Eyang Hasan Maolani dituduh sebagai ajaran sesat oleh kolonial Belanda. Dalil paling mudah dan paling sering digunakan—sebagaimana merupakan masukan dari penghulu atau penasihat agama pada era pemerintah Kolonial Belanda, ajaran tarekat Eyang Hasan Maolani merupakan ajaran yang bertentangan dengan [[al-Qur'an]] dan [[Hadits]].<ref name=":0" />{{sfn|Bahri}}
 
Kemarahan Pemerintah Hindia Belanda bertambah seiring Eyang Hasan Maolani yang mendeklarasikan dirinya sebagai "Pembaharu Agama" di Karesidenan Cirebon dan sekitarnya. Deklarasi ini semakin mengukuhkan kedudukan sosial Eyang Hasan Maolani yang diketahui memiliki pergaulan yang luas hingga disegani oleh masyarakat sekitar dan memiliki banyak santri yang terkumpul di pesantren Lengkong.{{efn|Menurut Muhammad Nida' Fadlan, mengutip penjelasan Marhamah, Istilah Pesantren Lengkong ini disebut memiliki nama sebagai Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin.}} Popularitas Eyang Hasan Maolani ini tercatat dalam laporan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Eyang Hasan Maolani dilaporkan telah melakukan gerakan sosial yang dibuktikan dengan banyaknya orang yang berdatangan ke kediamannya di Desa Lengkong.{{fact}}
Baris 92:
Semasa era pemerintahan kolonial Belanda, residen Cirebon ditunjuk untuk mengawasi setiap gerak-gerik Eyang Hasan Maolani. Salah satu permintaan dari pihak kolonial kepada residen Cirebon adalah pengawasan atas ajaran yang dikembangkan oleh Eyang Hasan Maolani sehingga sering mendapatkan banyak tamu dan santri dari berbagai macam daerah. Michael Laffan menyebutkan bahwa santri Eyang Hasan Maolani tidak hanya dari kalangan rakyat jelata saja, namun juga dari kaum priayi, dan bahkan berasal dari Surabaya.<ref>Mumu Muhamad Hambali, 2019, "Hasan Maolani: Bersurat pada Keluarga dalam Pengasingan di Kampung Jawa Tondano 1842-1874", Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, hlm. 38.</ref>
 
Eyang Hasan Maolani resmi diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1843, dibuang ke Kampung Jawa [[Tondano]], [[Sulawesi Utara]]. Di sana ia bergabung bersama para gerilyawan perang Jawa yang dipimpin oleh [[Kiai Mojo]].<ref name=":0" />{{sfn|Bahri}}
 
== Meninggal dunia ==
Eyang Hasan Maolani wafat di tempat pengasingannya di kampung Jawa Tondano, pada tanggal 29 April 1874, dalam usia 91 tahun. Hal ini merujuk pada kutipan surat pemberitahuan kematian yang dikirimkan oleh pemerintah setempat di kampung Jawa Tondano kepada keluarga Eyang Hasan Maolani di Lengkong.<ref name=":0" />{{sfn|Bahri}}
 
== Gelar Pahlawan Nasional ==
[[Nina Herlina Lubis]] yang merupakan guru besar dari Program Studi Ilmu Sejarah [[Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran|Fakultas Ilmu Budaya]] [[Universitas Padjadjaran]] bersama Pemerintah Daerah [[Kabupaten Kuningan]] pernah mencoba memprakarsai pengajuan Eyang Hasan Maolani sebagai pahlawan nasional dalam rangka memberikan penghargaan atas semangat nasionalismenya.{{fact}} Namun perjuangan Nina bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan belum membuahkan hasil. Hal ini didasari pada kurangnya penelitian mengenai Eyang Hasan Maolani. Kajian mengenai Hasan Maolani terbatas pada latar belakang kehidupannya, kajian tarekat dan keagamaannya, hingga kajian terhadap surat-surat Eyang Hasan Maolani yang dikirim dari pengasingannya di kampung Jawa Tondano.<ref name=":0" />{{sfn|Bahri}}
 
== Keterangan ==
Baris 105:
== Referensi ==
{{Reflist}}
 
=== Daftar pusataka ===
* {{citation|last=Bahri|first=Idik Saeful|date=2020|title=Gegap Gempita Perjalanan Sejarah dan Upaya Status Kepahlawanan Eyang Hasan Maolani Lengkong|location=Bandung|publisher=Rasi Terbit|ref=harv}}
* {{citation|last=Fadlan|first=Muhammad Nida'|date=2015|title=Surat-Surat Eyang Hasan Maolani, Lengkong: Suntingan Teks dan Analisi Isi|type=Tesis|location=Depok|publisher=Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia|ref=harv}}