Masyarakat adat Ngata Toro: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-berterbangan +beterbangan) |
k clean up, replaced: atau pun → ataupun |
||
Baris 4:
Komunitas [[Masyarakat adat]] Ngata Toro diyakini telah terbentuk beberapa abad yang lalu bersamaan dengan terbentuknya [[desa]] (dalam Bahasa setempat disebut sebagai ngata) Toro. Tidak ditemukan sumber tertulis tertentu yang mampu menjelaskan hal itu, namun penuturan dari beberapa orang tua di sana menjelaskan bahwa pada masa pra-kolonial, masyarakat adat Ngata Toro mengalami tiga periode kepemimpinan, yaitu di bawah kepemimpinan ''Mpone'', ''Ntomatu'', dan ''Menanca'' (''Balawo''). Kisah lisan ini disertai penegasan tambahan bahwa periode masing-masing tokoh ini berlangsung cukup lama.
''Mpone'' disebut sebagai tokoh utama yang merintis cikal bakal terbentuknya komunitas masyarakat adat Ngata Toro. ''Mpone'' adalah kepala rombongan yang mengungsi dari Malino, perkampungan asal mereka yang lokasinya berada sekitar 40
Namun demikian, kegiatan pembukaan lahan hutan dan penataan pemukiman yang lebih sistematis baru berlangsung ketika masa kepemimpinan ''Menanca'' (''Balawo''). Pembukaan [[lahan]] hutan untuk pemukiman tersebut dilakukan karena jumlah penduduk yang ada di Desa Toro menjadi semakin meningkat. Peningkatan itu sendiri terjadi karena banyaknya pendatang yang berasal dari Rampi, sebuah daerah yang kini termasuk wilayah [[Kabupaten Luwu]], [[Sulawesi Selatan]]. Para pendatang tersebut oleh ''Balawo'' diberikan lahan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kemudian hidup menetap menjadi penduduk asli Toro melalui hubungan perkawinan<ref>{{Cite web|url=http://lorelindu.info/index.php/component/content/article/47-home/76-melestrikan-lore-lindu-bersama-masyarakat|title=Melestrikan Lore Lindu Bersama Masyarakat|last=Administrator|website=lorelindu.info|language=en-gb|access-date=2017-10-25}}</ref>.
Baris 32:
Masyarakat adat Ngata Taro juga mengembangkan konsep pengelolaan dan pemanfaatan [[sumber daya alam]] berbasis [[kearifan lokal]] di lingkungan mereka. Dalam hal kepemilikan tanah, mereka tidak serta merta memperolehnya melalui perampasan atau mengambil tanah orang lain tanpa izin, melainkan melalui suatu transaksi dan mempunyai keabsahan yang kuat menurut hukum adat mereka.<ref name=":2" /> Masyarakat adat Ngata Toro membagi hak kepemilikan atas [[Sumber daya alam]] dalam dua kategori, yakni hak kepemilikan bersama (''katumpuia hangkani'') dan hak pemilikan individu (''katumpuia hadua''). Kedua komponen hak kepemilikan tersebut adalah aturan adat yang sangat dipatuhi oleh masyarakat adat Ngata Toro. Selain itu, secara turun-temurun, [[masyarakat adat]] Ngata Toro sudah dibekali dengan aturan yang dinamakan ''Mopahilolonga Katuvua'' (mengurus alam secara arif). Menurut aturan tersebut, di bumi persada ada tiga unsur kehidupan yang mempunyai hubungan timbal balik, tumbuh dan berkembang biak serta saling menghidupi, yaitu [[manusia]] (''tauna''), [[hewan]] (''pinatuvua''), [[tumbuhan]] (''tinuda''). Pandangan tersebut juga memuat aturan-aturan yang harus diperhatikan dalam membuka lahan baru, diantaranya keadaan tempat yang direncanakan dibuka, apakah penjaga [[hutan]] itu memberikan lahan itu untuk dibuka atau tidak, saling menghimbau satu dengan yang lain agar senantiasa memperhatikan hulu [[sungai]] dan kemiringan yang terjal (''Taolo''), adat dan budaya tidak membenarkan menebang [[kayu]] sembarangan untuk dijadikan ramuan rumah utamanya di hulu air atau di kemiringan yang terjal, terlebih lagi kalau kayu yang di tebang diperjualbelikan di tempat lain.<ref name=":3">Rachman, Imran. “Model Pengelolaan Sumber Daya Hutan pada Pembangunan Kawasan Penyangga Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah”. (Disertasi S3 Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada: 2013)</ref>
Dalam mengatur dan memanfaatkan sumber daya alam, masyarakat adat Ngata Taro selalu berpegang pada [[tradisi]] [[leluhur]] dan [[kearifan lokal]] yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu ''toipetagi'' (larangan) dan ''toipopalia'' (pantangan). ''Toipetagi'' (larangan) meliputi: tidak diperkenankan membuka hutan atau mengolah [[hutan]] di mana ada mata air ''ue ntumu'', mata air ''ue bohe''; larangan memangkas dan menebang pohon yang tumbuh di palungan sungai atau kali-kali kecil yang ada dalam hutan
== Sanksi Adat ==
|