Madyopuro, Kedungkandang, Malang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
HsfBot (bicara | kontrib)
k jaman --> zaman
Baris 40:
Jika benar demikian, berarti pada jelang akhir Masa Hindu-Buddha tempat yang kini bernama ‘Madyopuro’ pernah menyandang status perdikan (sima). Suatu status yang menggambarkan bahwa tempat ini konon adalah desa maju, yang dipandang cukup layak untuk bisa mengelola rumah tangga atau pungutan pajak dari warga di desanya secara mandiri (swatantra). Berarti pula, sebagai suatu desa, Pamintihan (kini ‘Madyopuro’) telah ada jauh sebelum akhir abad XV, yang tumbuh dan berkembang sebagai desa maju pada jamannya. Jejak kekunoannya itu antara lain tergambar pada adanya delapan buah punden di wilayah Madyopuro, dan di salah sebuah diantaranya dijumpai artefak yang bentuknya menyerupai Lingga, atau jika dicermati lebih menyerupai ‘lingga patok’ atau disebut juga ‘batu sima’, yaitu benda yang berbentuk silindris di bagian atas dan persegi empat di bagian bawahnya, yang konon digunakan sebagai petanda suatu desa/derah perdikan, yang ditancapkan di tanah dalam prosesi ‘manusuk sima’.
 
Dapat difahami jika Pamintihan mampu tumbuh-berkembang sebagai desa maju pada jamanzaman-nya berkat keberhasilannya untuk mengembangkan ekonomi agrarisnya, yang menjadi basis perekonomiannya. Keberadaan Kali Amprong yang mengalir pada sisi timur Pamintihan dan beberapa sumber air serta adanya endapan tanah aluvial di lembah sisi barat Gunung Malang menjadikan bentang lahan di Pamintihan yang kondusif untuk dibudidayakan sebagai areal pertanian yang luas dan subur. Jejak ekonomi agraris di Madyopuro itu sendiri terbilang masih belum terlalu lama menghilang. Pada dua hingga tiga dasawarsa lalu, sebelum areal perumahan yang luas di sub-area timur Kota Malang dikembangkan, Madyopuro dan desa-desa lain di sekitarnya masih tampil dalam wajah rural (pedesaan)nya yang agraris.
 
Faktor lain yang juga merupakan unsur internal bagi perkembangannya menjadi desa maju pada jamannya adalah posisi Pamintihan yang berada pada jalur tansportasi darat purba, yang menghubungan sub-area utara dan selatan di Malangraya. Jalur darat yang menghubungkan kawasan di lembah dan lereng barat Gunung Malang ke arah selatan, tergambar pada kitab Pararaton, yang menceritakan tentang perjalanan Pu Palot dari sentra undahagi logam di Kabalon (kini ‘Kebalon’ di Cemorokandang) ke Turyantapada (kini ‘Turen’), yang tentu melintasi wilayah Pamintihan. Sub-area timur Kota Malang, yang meski terletak di seberang timur aliran dua sungai (Bantas dan Bango), namun pada masa lalu tidaklah terpencil, sebab jalur poros purba justru melintasi sub-area ini.