'''Perjanjian Salatiga''' adalah perjanjian yang ditandatangani pada tanggal [[17 Maret]] [[1757]] di [[Salatiga]]. Perjanjian ini adalah penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan yang mengakhiri
Dengan berat hati, [[HamengkuHamengkubuwana BuwonoI|Sultan Hamengkubuwono I]] dan [[PakuPakubuwana BuwonoIII|Sunan Pakubuwono III]] melepaskan beberapa wilayahnya untuk [[Raden Mas Said]] (Pangeran Sambernyawa). [[Ngawen, Gunungkidul|Ngawen]] yang kini berada di wilayah[[Kabupaten Gunungkidul|Gunungkidul]], Yogyakarta dan sebagian Surakarta ([[Kabupaten Karanganyar|Karanganyar]] dan [[Kabupaten Wonogiri|Wonogiri]]) menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.
Perjanjian ini ditandatangani oleh [[Raden Mas Said]], Sunan [[Paku Buwono III|Pakubuwono III]], [[VOC]], dan Sultan [[HamengkuHamengkubuwana BuwonoI|Hamengkubuwono I]] di sebuah gedung bernama Gedung Pakuwon yang terletak di Jalan Brigjen Sudiarto No. 1, Kota Salatiga.<ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/rumah-tinggal-jl-brigjen-sudiarto-penanda-tempat-perjanjian-salatiga/|title=Rumah Tinggal Jalan Brigjen Sudiarto, Penanda Tempat Perjanjian Salatiga|last=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah|first=|date=5 April 2018|website=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia|access-date=17 Agustus 2019}}</ref>
== Menuju Perjanjian ==
Lokasi penandatanganan perjanjian ini sekarang digunakan sebagai kantor Wali kota [[Kota Salatiga]].
== SesudahSetelah Perjanjian Salatiga ==
Sunan Paku BuwonoPakubuwono III wafat pada tahun 1788 dan penggantinya adalah Sunan Paku BuwonoPakubuwono IV, yang cakap dalam politik dan piawai dalam intrik dan intimidasi. Dua tahun setelah wafatnya Paku BuwonoPakubuwono III, awal tahun 1790 Sunan [[PakuPakubuwana BuwonoIV|Pakubuwono IV]] melancarkan strategi politik yang agresif dengan memulai memberi nama untuk saudaranya, Arya mataramMataram. Oleh Sunan [[PakuPakubuwana BuwonoIV|Pakubuwono IV]], [[Arya Mataram]] dianugerahi nama [[Pangeran Mangkubumi]].
Pemberian nama "[[Mangkubumi]]" menimbulkan protes Sultan [[Hamengku Buwono I|Hamengkubuwono I]] yang merasa kebakaran jenggot karena hak nama [[Mangkubumi]] adalah miliknya sampai meninggal dunia. Sultan mengajukan protes kepada [[Vereenigde Oostindische Compagnie|Kompeni]] yang ternyata tidak membuahkan hasil karena Sunan tetap pada pendirian tidak bakalan mencabut Nama [[Mangkubumi]] untuk saudaranya.
Jurus politik pertama [[Paku Buwono IV|Pakubuwono IV]] dilanjutkan dengan jurus keduanya yaitu menolak hak suksesi Putra Mahkota Kasultanan Yogyakarta.Suhu Keadaan politik yang sudah memanas itu bertambah lagi dengan tuntutan Mangkunegara I yang melihat suatu peluang ada didepannya. [[Mangkunegara I]] menulis surat kepada Gubernur di Semarang, [[Yan Greeve]], pada bulan Mei 1790 yang isinya [[Mangkunegara I]] Menagih janji Residen Surakarta Frederick Christoffeel van Straaldorf yang menjanjikan bahwa Jika [[Pangeran Mangkubumi]] yang menjadi Sultan [[Hamengku Buwono I]] wafat maka [[Mangkunegara I]] berhak menduduki tahta Kasultanan Yogyakarta.
[[VOC]] yang tidak ingin terseret kembali dalam pertikaian bersenjata menjadi panik dan mulai memeriksa situasi lapangan militernya dan ke tiga Kerajaan. Kompeni yang di wakili Yan Greeve menemui dengan perasaan kecewa ketika dilapangan menemukan fakta bahwa [[Mangkunegoro I]] memiliki 1.400 orang pasukan bersenjata yang siaga. Dalam waktu yang yang singkat kekuatan 1.400 orang bersenjata dapat dilipatkan dengan memanggil pengikutnya menjadi 4.000 orang pasukan bersenjata.
Tuntutan [[Mangkunegoro I]] juga diikuti dengan tuntutan berikutnya yaitu dikembalikannya [[GKR Bendoro]] isterinya kepada [[Mangkunegara I]]. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi sebagai gantinya [[Mangkunegara I]] menuntut 4.000 cacah dari Yogyakarta. [[Mangkunegara I]] mulai memobilisasi pasukannya dan pertempuran pertempuran kecil mulai terjadi. Wilayah Gunung Kidul menjadi medan pertempuran.dalam mobilisasi dan pertempuran ini G.R.M. Sulomo (calon [[Mangkunegara II]] sudah terlibat dan aktif dalam pertempuran.
7 Oktober 1790, [[Yan greeve]]Greeve mengintimidasi Sultan [[Hamengku Buwono I|Hamengkubuwono I]] untuk memberikan 4.000 cacah tetapi Sultan menolak. Awal November 1790 tuntutan 4.000 cacah diganti dengan upeti Belanda kepada [[Mangkunegaran]] sebesar 4.000 real.
== Mangkunegaran penyambung roh Mataram ==
Perjanjian Salatiga secara hakikat menandai berdirinya praja atau negeri Mangkunegaran dengan Raden Mas Said sebagai Pangeran otonom yang menguasai sebuah wilayah yang otonom pula. Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa adalah penyambung dari Mataram yang telah hilang akibat perjanjian Giyanti 1755. Mataram yang telah bubar dengan traktat Giyanti di bangun kembali melalui Negeri Mangkunegaran. Politik dan kebudayaan Mataram serta unsur unsur keprajuritan dipertahankan dan dihidupkan dari generasi ke generasi.
== Abad baru Tahun 1800 an (Prolog)ke-19 ==
Sunan [[Paku Buwono III]] wafat tahun 1788, Sultan [[Hamengku Buwono I|Hamengkubuwono I]] wafat tahun 1792 dan [[Pangeran Mangkunegara I]] wafat tahun 1795. [[Paku Buwono III]] di ganti [[Paku Buwono IV|Pakubuwono IV]], Sultan [[Hamengku Buwono|Hamengkubuwono]] I diganti Sultan [[Hamengu Buwono II]] dan [[Mangkunegara I]]di gantidiganti [[Mangkunegara II]]. Pembubaran [[VOC]] pada tahun 1800 awal bulan menandai perubahan baru di bekas [[Mataram]]. Kewenangan [[VOC]] diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Pada masa generasi ini Sunan [[Paku Buwono IV]] menjadi aktor politik yang sangat piawai sekaligus berbahaya bagi Belanda.Jurus jurus politik yang ditampilkan begitu terampilnya dan tidak gentar dengan gertak peperangan.
Kedatangan [[Daendels]] dan [[Raffles]] dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga segala perjudian politik pada tahun 1800 an ini seakan akan merupakan pematangan situasi untuk munculnya perang [[Diponegoro]].
[[Paku Buwono IV|Pakubuwono IV]] berhasil memprovokasi Sultan [[Hamengku Buwono II|Hamengkubuwono II]] sehingga berkonfrontasi dengan [[Daendels]] dan [[Raffles]] di kemudian hari. Di samping itu faktor [[Secadiningrat]] seorang [[KapitenKapitan Cina]] di Yogyakarta yang menjadi penasehat putera mahkota (Calon [[Hamengku Buwono III|Hamengkubuwono III]]) juga turut andil dalam merunyamkan pemerintahan [[Hamengku Buwono II|Hamengkubuwono II]]. [[Secadiningrat]] membocorkan rencana rencana Sultan kepada pihak asing terutama Inggris bahwa Kasultanan mempersenjatai diri untuk kekuatan perang.
Yogyakarta di datangi [[Daendels]] dengan beribu pasukan. Sultan [[Hamengku Buwono II]] diturunkan tahta dan diganti [[Sultan Raja]] ([[Hamengku Buwono III|Hamengkubuwono III]]). Kasultan YogyakartaNgayogyakarta sepeninggal [[Hamengku Buwono I|Hamengkubuwono I]] mengalami kesuraman yang tiada tara. Dari [[Hamengku Buwono II|Hamengkubuwono II]] sampai [[Hamengku Buwono VI|Hamengkubuwono VI]], Kasultanan mengalami instabilitas serius.
== Generasi kedua setelah pembagian Mataram ==
Generasi kedua para petinggi kerajaan setelah pembagian [[Mataram]] memperlihatkan kepada khalayak tentang persiapan generasi pertama dalam mewariskan pemerintahan dan penyiapkan para penggantinya. Pada generasi kedua ini Kesultanan Yogyakarta yang bertahta adalah [[Sultan Hamengku Buwono II|Hamengkubuwono II]], [[Mangkunegaran|Praja Mangkunegaran]] yang bertahta adalah [[Pangeran Mangkunegara II]], dan [[Kasunanan Surakarta]] yang bertahta adalah [[PakuPakubuwana BuwonoIV|Pakubuwono IV]].
[[HamengkuHamengkubuwana BuwonoII|Hamengkubuwono II]] merupakan putera [[Hamengku Buwono I|Hamengkubuwono I]] setelah saudaranya R.M. Entho yang menjadi Putera Mahkota meninggal dunia. [[Paku Buwono IV|Pakubuwono IV]] adalah putera [[Paku Buwono III|Pakubuwono III]] sedang [[Mangkunegara II]] adalah cucu [[Mangkunegara I]]. Pada pemerintahan generasi ke dua ini Yogyakarta di bawah [[Hamengku Buwono II|Hamengkubuwono II]] mengalami kemerosotan yang serius. Sultan kedua Yogyakarta ini mengalami naik turun tahta selama pergantian kekuasaan kolonial di Nusantara ini.
== Lihat pula ==
|