Sejarah kelapa sawit di Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k clean up |
|||
Baris 4:
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman asli dari [[Afrika Barat]] dan [[Afrika Tengah]].<ref name=":1">{{Cite web|url=https://www.profor.info/sites/profor.info/files/Oil%20Palm_Case%20Study_LEAVES_2018.pdf|title=Oil Palm in Indonesia|last=John D Watts|first=Silvia Irawan|date=Desember 2018|website=Profor|access-date=3 April 2020}}</ref> Di Indonesia, sejarah kelapa sawit berawal dari empat biji kelapa sawit yang dibawa oleh Dr. D. T. Pryce<ref>{{Cite web|url=https://gapkisumut.org/read/16402/industri-minyak-sawit-indonesia-menarik-perhatian-dunia|title=Industri Minyak Sawit Indonesia Menarik Perhatian Dunia|last=|first=|date=2019-07-06|website=Palm Oil Association of North Sumatera {{!}} GAPKI Sumatera Utara (Sumut)|language=id|access-date=2020-04-04}}</ref>, masing-masing dua benih dari Bourbon, [[Mauritius]] dan dua benih lainnya berasal dari Hortus Botanicus,<ref name=":5">{{Cite web|url=https://historia.id/ekonomi/articles/riwayat-buah-emas-di-tanah-hindia-DAdwe|title=Riwayat Buah Emas di Tanah Hindia|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-04-04}}</ref> [[Amsterdam]], Belanda, pada tahun 1848.<ref name=":8">{{Cite web|url=https://historia.id/ekonomi/articles/manis-pahit-kelapa-sawit-DrLrk|title=Manis Pahit Kelapa Sawit|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-04-04}}</ref>
[[Berkas:PALM OIL MONUMENT IN BOGOR BOTANICAL GARDENS.jpg|jmpl|Monumen kelapa sawit di Kebon Raya Bogor, tempat empat biji kelapa sawit dari Mauritius dan Hortus Botanicus, ditanam.]]
Empat biji kelapa sawit tersebut kemudian ditanam di [[Kebun Raya Bogor]] yang ketika itu dipimpin oleh Johanes Elyas Teysman dan berhasil tumbuh dengan subur.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://gapki.id/news/3652/video-sejarah-kelapa-sawit-indonesia|title=Sejarah Kelapa Sawit Indonesia|date=2017-11-28|website=Indonesian Palm Oil Association (GAPKI IPOA)|language=en-US|access-date=2020-04-03}}</ref> Di Kebon Raya Bogor, pohon kelapa sawit tersebut tumbuh tinggi dengan ketinggian 12 meter dan menjadi pohon kelapa sawit tertua di Asia Tenggara.<ref name=":4" /> Namun, pada 15 Oktober 1989, induk pohon kelapa sawit itu mati.
Pada tahun 1853 atau lima tahun setelah ditanam, pohon kelapa sawit di Kebon Raya Bogor menghasilkan buah. Biji-biji kelapa sawit itu kemudian disebar secara gratis, termasuk dibawa ke Sumatra pada tahun 1875<ref name=":1" />, untuk menjadi tanaman hias di pinggir jalan.<ref name=":5" /> Tidak disangka, ternyata kelapa sawit tumbuh subur di [[Kabupaten Deli Serdang|Deli]], [[Sumatra Utara]], pada tahun 1870-an, sehingga bibit-bibit kelapa sawit dari daerah ini terkenal dengan nama kelapa sawit "Deli Dura".<ref name=":4">{{Cite web|url=https://jatim.antaranews.com/berita/107597/kelapa-sawit-tertua-di-kebun-raya-bogor|title=Kelapa Sawit Tertua di Kebun Raya Bogor|last=|first=|date=|website=Antara News|access-date=2020-04-04}}</ref>
== Era Hindia Belanda ==
Baris 20:
Pada tahun 1910, organisasi perusahaan perkebunan bernama Algemene Vereneging voor Rubberpalnters ter Oostkus van Sumatera (AVROS), berdiri di Sumatra Utara dan Rantau Panjang, Kuala Selangor.<ref name=":4" /> AVROS merupakan organisasi yang menaungi berbagai macam perusahaan perkebunan dengan didasari kepentingan yang sama, yakni menyikapi persoalan yang timbul, seperti kekurangan pekerja perkebunan, menjalin hubungan dengan sesama pengusaha dan komunikasi dengan pemerintah, dan permasalahan transportasi.<ref name=":12">{{Cite web|url=http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/1702/sejarah-indera.pdf?sequence=1&isAllowed=y|title=Pengaruh Pertumbuhan Industri Karet Terhadap Kuli Kontrak Di Sumatera Timur 1904-1920|last=Suprayitno|first=Indera|date=10 Februari 2004|website=Usu.ac.id|access-date=10 April 2020}}</ref>
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Het proefstation van de A.V.R.O.S. (Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra) in Kampong Baroe nabij Medan TMnr 60014034.jpg|jmpl|Bangunan gedung A.V.R.O.S. (Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra) di Kampung Baru, Medan, antara tahun 1921-1926
AVROS kemudian mendirikan pusat penelitian perkebunan bernama Algemeene Proefstation der AVROS atau APA pada tanggal 26 September 1916. Awalnya, APA didirikan untuk penelitian mengenai budidaya karet, namun berkembang meneliti juga kelapa sawit dan teh. Selain itu, Handle Vereeniging Amsterdam (HVA) juga mendirikan Balai Penelitian Sisal di Dolok Ilir dan berhasil menghasilkan varietas unggul jenis Psifera. Pada tahun 1921, APA mendapat penghargaan pada ajang 5th International of Exhibition Rubber and Other Tropical Products di London dan pada 1924 kembali mendapat penghargaan pada ajang serupa di Brussels.<ref>{{Cite web|url=https://www.iopri.org/sejarah-terbentuknya-ppks/|title=Sejarah Terbentuknya PPKS|last=|first=|date=2016-02-19|website=IOPRI|language=id|access-date=2020-04-10}}</ref>
Baris 27:
Pada tahun 1925, lahan kelapa sawit yang telah ditanami di Sumatra mencapai 31.600 hektare dan terus bertambah menjadi 75.000 hektare pada tahun 1936<ref name=":1" /> dari hanya seluas 6.920 hektare tahun 1919. Produksi kelapa sawit dari tahun 1919 ke tahun 1937 melonjak drastis dari 181 ton menjadi 190.627 ton crude palm oil (CPO) dan 39.630 ton kernel oil.<ref>{{Cite book|url=http://www.intechopen.com/books/biofuels-economy-environment-and-sustainability/oil-palm-plantations-in-indonesia-the-implications-for-migration-settlement-resettlement-and-local-e|title=Biofuels - Economy, Environment and Sustainability|last=Budidarsono|first=Suseno|last2=Susanti|first2=Ari|last3=Zoomers|first3=Annelies|date=2013-01-23|publisher=InTech|isbn=978-953-51-0950-1|editor-last=Fang|editor-first=Zhen|location=|pages=176|language=en|doi=10.5772/53586|url-status=live}}</ref>
Di Aceh Timur, produksi kelapa sawit berhasil melampaui produksi karet pada tahun 1935 dan pada tahun 1939 perkebunan di wilayah tersebut mampu menghasilkan kelapa sawit sebanyak 2.627 ton. Pada umumnya, perusahaan perkebunan menanam tidak hanya satu komoditas saja tapi mencampurnya dalam satu area lahan perkebunan dengan tanaman karet dan kelapa sawit. Kehadiran perkebunan besar turut mendorong munculnya perkebunan-perkebunan rakyat di sekitarnya.<ref name=":11" />
Hingga tahun 1940 total area luas perkebunan kelapa sawit di Hindia Belanda telah mencapai 100.000 hektare yang dimiliki oleh 60 perusahaan. Kapal-kapal tanker berisikan minyak kelapa sawit terus-menerus dikirim dari Aceh, Asahan, dan Lampung menuju Rotterdam, Belanda, untuk memenuhi kebutuhan pabrik sabun dan margarin di Eropa.<ref name=":5" />
Perkembangan pesat perkebunan ini tidak terlepas dari sistem rekrutmen kuli-kuli yang didasari tiga peraturan, yakni pertama koeli Ordonantic (1880, 1884, dan 1893). Dengan adanya peraturan koeli Ordonantic, manajer atau mandor-mandor perkebunan memiliki kewenangan hukum yang efektif atas kuli selama masa kontraknya masih berlaku. Peraturan kedua adalah Poenalic Sancfie yang memuat pasal sanksi di dalam kontrak untuk menghukum kuli-kuli yang melanggar kontrak, berupa penangkapan bagi mereka yang melarikan diri dan dipaksa kembali bekerja atau dihukum dengan cara lain. Ketiga, melalui perkumpulan pengusaha perkebunan bernama Deli Planters Vereeniging yang dibentuk tahun 1879 agar tidak terjadi perebutan kuli-kuli.<ref name=":12" />
=== Perkebunan kelapa sawit tertua ===
Baris 41:
==== Socfin Indonesia ====
Perusahaan perkebunan yang kini bernama Socfin Indonesia (Socfindo) didirikan pada tahun 1908 oleh seorang teknisi agronomi asal Belgia bernama Adrien Hallet (1867-1925). Setelah sukses menjadi pengusaha perkebunan di Kongo, Afrika, Hallet memutuskan pergi ke Malaysia. Di negeri tersebut, Hallet mendirikan perusahaan bernama La Compagnie du Selangor pada tahun 1906.<ref name=":7">{{Cite web|url=https://www.socfin.com/en/key-dates|title=Key dates Socfin|last=|first=|date=|website=www.socfin.com|language=en|access-date=2020-04-05}}</ref>
Hallet lalu memutuskan pergi ke Hindia Belanda, persisnya ke Sumatra, kemudian mendirikan dan menjadi direktur perusahaan bernama Sungei Lipoet Cultuur Maatschaappij yang mengelola lahan perkebunan karet seluas 1.500 hektare di Tamiang, Aceh. Pada tahun 1909, Hallet turut menjadi salah satu pendiri perusahaan Société Financière des Caoutchoucs Societé Anonyme (Socfin SA) yang tercatat di Brussels, Belgia.<ref name=":6">{{Cite web|url=https://www.socfin.com/sites/default/files/2019-09/Socfindo%20GRI%20Report_2018_1.pdf|title=Socfindo Sustainability Report 2018|last=|first=|date=|website=Socfin.com|access-date=5 April 2020}}</ref> Setahun kemudian dia bekerja sama dengan Rivaud Group untuk mencari lokasi ideal di Indochina untuk menanam karet dan pada tahun 1919, saham perusahaan Socfin S.A diambil alih oleh Rivaud Group.<ref name=":7" />
Baru pada tahun 1911, Hallet membuka lahan perkebunan kelapa sawit di atas area lahan seluas 5.123 hektare.<ref name=":4" /> Fasilitas penelitian dan pengembangan didirikan pada tahun 1918 di Medan.<ref name=":7" /> Setelah itu, Sungei Lipoet Cultuur Maatschaappij kemudian berturut-turut membuka area perkebunan lainnya di Sumatra Utara, yakni di Mata Pao tahun 1927, Negeri Lama tahun 1928, dan Tanah Bersih (1937). Di Aceh, area perkebunan sawit yang dibuka adalah di Seunagan (1930), Seumanyam (1936), dan Lae Butar (1938).<ref name=":6" />
Baris 51:
Sebelum meninggal pada tahun 1947, Robert Hallet berhasil mengembangkan perusahaan dengan total luas area mencapai 350 ribu hektare pada tahun 1940, terdiri atas 73 ribu hektare perkebunan karet, 31 ribu hektare perkebunan kelapa sawit, dan 36 ribu hektare perkebunan kopi. Grup perusahaan berhasil memproduksi 6% dari pasar karet internasional dan 20% pasar kelapa sawit dunia pada saat itu dan secara bertahap mulai meninggalkan perkebunan kopi.<ref name=":7" />
Di Indonesia, perusahaan ini kemudian terkena nasionalisasi pada tahun 1965 berdasarkan Peraturan Presiden No 6 tahun 1965 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Dari empat kelompok Perusahaan Perkebunan Negara Ex Perkebunan Asing (PPN Expera), Socfin masuk kelompok kedua.<ref>{{Cite journal|last=Halimatussa’diah Simangunsong|first=Suprayitno|year=2019|title=Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Asing di Aceh Timur (1945-1968)|url=https://ojs.stkippgri-lubuklinggau.ac.id/index.php/JS/article/view/231|journal=Sindang, jurnal pendidikan sejarah dan kajian sejarah|volume=1|issue=2|pages=70|doi=|issn=2623-2065}}</ref> Baru pada tahun 1968, Presiden Soeharto mengembalikan perusahaan-perusahan asing ke pemiliknya, termasuk PT Socfin Indonesia yang kemudian didirikan melalui kerja sama patungan antara Plantation Nord Sumatra (PNS Ltd) sebesar 60% dan Republik Indonesia sebesar 40%. Setelah itu, Socfindo baru kembali membuka lagi area perkebunan baru di Sumatra Utara, yakni di Bangun Bandar/Tanjung Maria dan Aek Loba/Padang Pulo (1970), Aek Pamienke (1979), dan Tanah Gambus/Lima Puluh (1982).<ref name=":6" /> Kepemilikan saham tersebut kembali berubah menjadi PNS Ltd 90% dan Republik Indonesia sebesar 10% pada tahun 2001.<ref name=":6" />
==== PP London Sumatra Indonesia ====
Baris 87:
Jumlah perusahaan Belanda yang dinasionalisasi pada awalnya adalah perusahaan perkebunan tembakau berjumlah 38 perusahaan, kemudian ditambah lagi 205 perusahaan perkebunan dengan mayoritas adalah perkebunan karet, disusul teh, kopi, tebu berikut pabrik gulanya, kelapa, kelapa sawit, cengkih dan lain sebagainya. Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia kembali menasionalisasi 22 perusahaan perkebunan pala. Seluruh perusahaan perkebunan hasil nasionalisasi kemudian disatukan di bawah Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Baru yang berdiri pada tahun 1957.<ref name=":9">{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/inilah-bidang-bidang-usaha-yang-dinasionalisasi-6joz1|title=Inilah Bidang-bidang Usaha yang Dinasionalisasi|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-04-08}}</ref>
PPN-Lama yang berjumlah 40 perusahaan perkebunan yang dinasionalisasi pada September 1950, kemudian digabungkan dengan PPN-Baru di bawah naungan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara (BPU-PPN) dengan pembagian berdasarkan komoditas, yakni karet, gula, tembakau, dan aneka tanaman, dengan total keseluruhan 88 PPN. Pada tahun 1967, BPU-PPN dibubarkan dan pemerintah mengubah status perusahaan perkebunan PPN menjadi perseroan terbatas dengan membaginya menjadi PT Perkebunan (PTP) I hingga PT Perkebunan IX dan selanjutnya dipisahkan menjadi PTPN I hingga PTPN XIV.<ref name=":9" />
PT Perkebunan Nusantara I adalah perusahaan hasil nasionalisasi dari perusahaan perkebunan swasta milik Hindia Belanda dan Jepang. Perusahaan hasil nasionalisasi ini diberi nama PPN Kesatuan Aceh berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 142 tahun 1961 dan berganti nama menjadi PNP-1 berdasarkan PP No 14 Tahun 1968. Baru pada 2 Mei 1981, perusahaan berganti nama menjadi PT Perkebunan-I dan menjadi PT Perkebunan Nusantara I pada tanggal 14 Februari 1996, hasil penggabungan PT Perkebunan I, PT Cot Girek Baru, PT Perkebunan V dan PKS Cot Girek PT Perkebunan IX.<ref>{{Cite web|url=https://ptpn1.co.id/tentang-kami|title=Sejarah PTPN 1|last=|first=|date=|website=PTPN1.co.id|access-date=4 April 2020}}</ref>
Baris 110:
=== Sampoerna Agro ===
Per Desember 2018, Sampoerna Agro memiliki 170 ribu hektare lahan perkebunan yang telah ditanami baik kelapa sawit, karet dan sagu dari total kepemilikan seluas 363 ribu hektare. Khusus kelapa sawit, perusahaan memiliki 137 ribu hektare lahan yang telah ditanami dari total area perkebunan kelapa sawit yang dimiliki seluas 242 ribu hektare. Perusahaan juga memiliki delapan pabrik kelapa sawit berkapasitas 515 ton per jam. Area perkebunan tersebar di Sumatra Selatan seluas 120 ribu hektare (87 ribu hektare telah ditanami) dan Kalimantan seluas 122 ribu hektare (50 ribu hektare telah ditanami).<ref>{{Cite web|url=https://www.idx.co.id/StaticData/NewsAndAnnouncement/ANNOUNCEMENTSTOCK/From_EREP/201912/d37cd604cd_9bbfd08dc5.pdf|title=Materi paparan publik tahun 2019|last=|first=|date=|website=www.idx.co.id|access-date=12 April 2020}}</ref>
Sampoerna Agro memiliki perusahaan di bawah naungannya pada tahun 1976, yakni PT Aek Tarum, kemudian pada tahun 1989 mulai melakukan penanaman kelapa sawit di kebun Mesuji dan Belida, di Sumatra Selatan. Pada tahun 1992, PT Binasawit Makmur didirikan dengan fokus untuk memproduksi bibit kelapa sawit. Baru pada tahun 1993, PT Selapan Jaya berdiri yang kemudian berganti nama menjadi PT Sampoerna Agro setelah diakuisisi oleh Grup Sampoerna pada tahun 2007.<ref name=":14">{{Cite web|url=https://www.idx.co.id/StaticData/NewsAndAnnouncement/ANNOUNCEMENTSTOCK/From_EREP/201904/adeea25b04_b027df4af5.pdf|title=Laporan Tahunan 2019|last=|first=|date=|website=www.idx.co.id|access-date=12 April 2020}}</ref>
Perusahaan melalui PT Binasawit Makmur mengembangkan varietas bibit unggul kelapa sawit. Setelah pada tahun 1994 perusahaan melalui Binasawit Makmur memperoleh izin mendatangkan bibit kelapa sawit baru dari Kosta Rika bernama DxD, TxP, dan DxP, pada tahun 2004 , perusahaan kemudian meluncurkan bibit bernama DxP Sriwijaya 1-5 yang diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri ketika itu. Pada tahun 2014, BSM memperkenalkan tiga bibit varian baru bernama DxP Sriwijaya Semi Klon dan disetujui oleh Kementerian Pertanian tahun 2015.<ref name=":14" />
==='''Sinar Mas Agro Resources and Technology'''===
|