Aksara Jawa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wikikempot (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{under construction}}
{{Teks Jawa}}
{{Infobox Writing system
|name=Aksara Jawa
|altname=ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ
|type=[[abugida]]
|languages=[[Bahasa Jawa|Jawa]]<br/>[[Bahasa Sunda|Sunda]]<br/>[[Bahasa Madura|Madura]]<br/>[[Bahasa Sasak|Sasak]]<br/>[[bahasa Kawi|Kawi]]<br/>[[SansekertaSanskerta]]
|fam1={{hipotesis abjad aram-brahmi}}
|fam2=[[Aksara Pallawa]]
Baris 17 ⟶ 16:
}}
 
'''Aksara Jawa''', juga dikenal sebagai '''''Hanacaraka''''' atau '''''Carakan''''', adalah salah satu [[aksara]] tradisional Indonesia yang berkembang di pulau [[pulau Jawa|Jawa]]. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa [[bahasa Jawa|Jawa]], namun dalam perkembangannya juga dipakai untuk menulis sejumlah bahasa daerah lainnya seperti bahasa [[bahasa Sunda|Sunda]], [[bahasa Madura|Madura]], dan [[bahasa Sasak|Sasak]] serta bahasa historis seperti bahasa [[SansekertaSanskerta]] dan [[bahasa Kawi|Kawi]]. Aksara ini merupakan turunan dari [[aksara Brahmi]] India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan [[aksara Bali]]. Aksara Jawa aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Jawa sejak pertengahan abad 15 M hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di [[DI Yogyakarta]], [[Jawa Tengah]], dan [[Jawa Timur]] sebagai bagian dari muatan lokal, namun dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.{{sfn|Behrend|1996|pp=161}}{{sfn|Everson|2008|pp=1}}
 
Aksara Jawa adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 30 aksara dasar. Seperti aksara [[Aksara Brahmi|Brahmi]] lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Jawa adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'') namun umum diselingi dengan sekelompok [[tanda baca]] rumit yang bersifat dekoratif.
Baris 60 ⟶ 59:
'''''Aksara''''' merupakan huruf pokok yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Jawa memiliki sekitar 45 aksara, namun tidak semuanya digunakan dengan setara; dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi digunakan sementara beberapa lainnya hanya digunakan pada konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara Jawa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.
==== Wyanjana ====
'''''Aksara wyanjana''''' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Sebagai salah satu aksara turunan [[aksara Brahmi|Brahmi]], aksara Jawa pada awalnya memiliki 33 aksara wyanjana untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa [[SansekertaSanskerta]] dan [[bahasa Kawi|Kawi]]. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:{{sfn|Everson|2008|pp=1-2}}<ref name="mardikawi">{{cite book|url=http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20186831-166.%20Serat%20Mardi%20Kawi%20Jilid%20I.pdf|title=Serat Mardi Kawi|volume=1|year=1930|publisher=De Bliksem|place=Solo|first=W J S|last=Poerwadarminta|page=9-12}}</ref>
 
{| class="wikitable" style="width:60%;"
Baris 138 ⟶ 137:
</center>
 
Dalam perkembangannya, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara wyanjana dalam deret SansekertaSanskerta-Kawi. Aksara Jawa modern hanya menggunakan 20 bunyi konsonan dan 20 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai '''''aksara nglegéna''''' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦭꦼꦒꦺꦤ). Sebagian aksara yang tersisa kemudian dialihfungsikan sebagai '''''aksara murda''''' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ) untuk menuliskan gelar dan [[nama diri|nama]] yang dihormati, baik nama tokoh legenda (misal [[Bima (Mahabharata)|Bima]] ꦨꦶꦩ) maupun nyata (misal [[Pakubuwana]] ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ).{{sfn|Darusuprapta|2003|pp=11-13}} Dari 20 aksara nglegéna, hanya 9 aksara yang mempunyai bentuk murda, oleh karena itu penggunaan murda tidak identik dengan penggunaan huruf kapital di dalam ejaan Latin;{{sfn|Darusuprapta|2003|pp=11-13}} apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata kedua yang menggunakan murda. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Dalam penulisan tradisional, penerapan murda tidaklah selalu konsisten dan pada dasarnya bersifat pilihan, sehingga nama seperti ''Gani'' dapat dieja ꦒꦤꦶ​ (tanpa murda), ꦓꦤꦶ (dengan murda di awal), atau ꦓꦟꦶ (seluruhnya menggunakan murda) tergantung dari latar belakang dan konteks penulisan yang bersangkutan. Sisa aksara yang tidak termasuk nglegéna maupun murda adalah '''''aksara mahaprana'''''. Aksara mahaprana tidak memiliki fungsi dalam penulisan Jawa modern dan hanya digunakan dalam penulisan bahasa SansekertaSanskerta-Kawi, meski relatif juga jarang muncul dalam kedua bahasa tersebut.{{sfn|Everson|2008|pp=1-2}}{{efn|Contoh kata dengan aksara mahaprana yang pernah digunakan dalam sastra Kawi misal ''nirjhara'' (ꦤꦶꦂꦙꦫ, air terjun)<ref>{{cite book|first= Petrus Josephus|last=Zoetmulder|title=Old Javanese-English Dictionary|page=1191, entri 11|year=1982|publisher=Nijhoff|editor-first1=Stuart Owen|editor-last1=Robson|isbn=9024761786}}</ref>}}
 
{| class="wikitable" style="width:60%;"
Baris 238 ⟶ 237:
 
==== Swara ====
'''''Aksara swara''''' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦱ꧀ꦮꦫ) adalah aksara yang digunakan untuk menulis vokal murni. Pada awalnya, aksara Jawa memiliki 14 aksara vokal yang diwarisi dari tradisi tulis SansekertaSanskerta. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:<ref name="mardikawi"/>
 
{| class="wikitable" style="width:40%;"
Baris 278 ⟶ 277:
<small>
:1. {{note|re|1}} '''pa cerek''', dalam perkembangannya di Jawa dilafalkan /rə/ sebagaimana re dalam kata "remah"
:2. {{note|reu|2}} '''pa cerek dirgha''', dalam bahasa SansekertaSanskerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Panini<ref name="woodard">{{cite book|title=The Ancient Languages of Asia and the Americas|first=Roger D|last=Woodard|url=https://books.google.co.id/books/about/The_Ancient_Languages_of_Asia_and_the_Am.html?id=UQpAuNIP4oIC&redir_esc=y|publisher=Cambridge University Press|year=2008|page=9|isbn=0521684943}}</ref>
:3. {{note|le|3}} '''nga lelet''', dalam perkembangannya di Jawa dilafalkan /lə/ sebagaimana le dalam kata "lemah"
:4. {{note|leu|4}} '''nga lelet raswadi''', dalam bahasa SansekertaSanskerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Panini<ref name="woodard"/>
:5. {{note|e|5}} /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
:6. {{note|ai|6}} [[diftong]] /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
Baris 287 ⟶ 286:
|}
 
Sebagaimana aksara wyanjana, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara swara dalam deret SansekertaSanskerta-Kawi, dan kini hanya aksara untuk vokal pendek yang umumnya diajarkan. Dalam penulisan modern, aksara swara digunakan untuk menggantikan aksara wyanjana ha ꦲ (yang pelafalannya bisa jadi ambigu karena berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/) pada nama atau istilah asing yang pelafalannya perlu dipertegas.{{sfn|Darusuprapta|2003|pp=13-15}}
 
''Pa cerek'' ꦉ, ''pa cerek dirgha'' ꦉꦴ, ''nga lelet'' ꦊ, dan ''nga lelet raswadi'' ꦋ adalah [[:en:Syllabic consonant|konsonan silabis]] yang dalam bahasa SansekertaSanskerta hanya digunakan pada beberapa kasus spesifik sebagai pelengkap sistem fonologi [[Pāṇini]].<ref name="woodard"/> Ketika digunakan untuk bahasa selain SansekertaSanskerta, pelafalan keempat aksara ini seringkali bervariasi. Dalam perkembangan bahasa Jawa modern, hanya pa cerek dan nga lelet yang digunakan; pa cerek dilafalkan /rə/ (sebagaimana re dalam kata "remah") sementara nga lelet dilafalkan /lə/ (sebagaimana le dalam kata "lemah"). Dalam pengajaran modern, aksara ini seringkali dipisahkan dari aksara swara menjadi kategori sendiri yang disebut '''''aksara gantèn'''''. Kedua aksara ini wajib digunakan untuk mengganti tiap kombinasi ra+pepet (ꦫꦼ → ꦉ) serta la+pepet (ꦭꦼ → ꦊ) tanpa terkecuali.{{sfn|Darusuprapta|2003|pp=20}}
 
==== Rékan ====
Baris 744 ⟶ 743:
|}
 
Deret hanacaraka bukanlah satu-satunya cara untuk mengurutkan aksara Jawa. Untuk penulisan bahasa [[SansekertaSanskerta]] dan [[bahasa Kawi|Kawi]] yang memerlukan 33 aksara dasar, aksara Jawa dapat diurutkan berdasarkan [[fonologi|tempat pelafalannya]] (''warga'') menurut prinsip fonologi SansekertaSanskerta yang pertama kali dijabarkan oleh [[Pāṇini]].<ref name="mardikawi"/>{{sfn|Everson|2008|5-6}} Deret ini, yang kadang disebut deret '''''Kaganga''''' berdasarkan empat aksara pertamanya, merupakan deret standar dalam aksara-aksara turunan [[aksara Brahmi|Brahmi]] yang masih bisa digunakan untuk menulis bahasa SansekertaSanskerta, seperti aksara [[Devanagari]], [[aksara Tamil|Tamil]], [[aksara Thai|Thai]], dan [[aksara Khmer|Khmer]]. Deret ini masih digunakan dalam praktek penulisan [[aksara Bali]] kontemporer.
 
{| class="wikitable" style="margin-left: auto; margin-right: auto; border: none; width:60%;"
|+ table centered| ''Deret SansekertaSanskerta (Kaganga)''
|-style="text-align:center;"
! colspan="5"|'''Pancawalimukha'''