Sholeh bin Muhsin al-Hamid Tanggul: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Moentatoz (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Moentatoz (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 15:
 
=== Hijrah ke Indonesia ===
Saat Habib Sholeh berusia 26 tahun atau ketika itu bertepatan dengan tahun 1921 M, ia memutuskan berhijrah ke [[Indonesia]] bersama Syekh Fadhli Sholeh Salim bin Ahmad al-Asykari<ref name=":3">{{Cite book|title=Seri Buku Islam: Habib di Nusantara, Karnaval Habib Kota|last=Shahab|first=Idrus F.|date=2019|publisher=Tempo Publishing|isbn=978-623-207-253-4|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>. Perjalanan hijrah ini membuatnya sempat singgah di [[Gujarat]], [[India]], lalu berlabuh di [[Jakarta]]. Habib Sholeh sempat tinggal beberapa hari di Jakarta dan berkeliling mengunjungi para ulama sampai saudara sepupunya yang bernama Habib Muhsin bin Abdullah al-Hamid yang telah lebih dulu berhijrah meminta Habib Sholeh untuk mengunjungi kediamannya di [[Lumajang]]<ref name=":0" />.
 
Selama di [[Lumajang]], Habib Sholeh menggunakan waktunya untuk mempelajari bahasa dan budaya masyarakat setempat khususnya dalam berbahasa Jawa, Habib Sholeh juga kemudian menikah dengan warga [[Tempeh, Lumajang]] dan membangun rumah di sana. Habib Sholeh berdakwah keliling dari desa ke desa di Lumajang sampai 12 tahun lamanya sebelum akhirnya memutuskan pindah ke Tanggul<ref name=":1" />.
Baris 22:
 
Adalah Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf, seorang ulama terkemuka yang berdomisili di [[Gresik]] yang kemudian memerintahkan Habib Sholeh untuk mengakhiri masa ''khalwat'' dan memintanya datang ke Gresik. Sesampainya di Gresik, Habib Abu Bakar memberikan Habib Sholeh mandat dan ''ijazah'' dengan memakaikan jubah imamah dan sorban hijau sebagai penanda status kewalian ''quthb'' yang diembannya, sekaligus meminta Habib Sholeh untuk segera menunaikan ibadah haji<ref name=":2" />.
 
Sepulangnya dari berhaji, Habib Sholeh memulai aktifitas dakwahnya dengan mendrikan musala di kediamannya. Aktifitas pengajian juga mulai dilakukan biasanya selepas Ashar, mengkaji kitab khususnya kitab An-Nashaihud Dinniyah karya ulama [[Hadramaut]] [[Abdullah bin Alawi al-Haddad]] yang ia sampaikan dalam bahasa masyarakat sekitar yakni bahasa Madura<ref name=":0" />. Habib Sholeh juga menghidupkan musala dengan pembacaan dzkiri dan wirid yang biasa diajarkan oleh kalangan ulama [[Hadramaut]] tempatnya berasal. Selain berdakwah, Habib Sholeh juga dikenal sebagai pedagang kain dan pakaian<ref name=":3" />.
 
Beberapa tahun kemudian, Habib Sholeh mendapat hadiah sebidang tanah dari seorang pengusaha setempat bernama Haji Abdur Rasyid. Di atas tanah tersebut Habib Sholeh kemudian membangun masjid yang diberi nama Masjid Riyadus Shalihin dan kemudian mewakafkannya, letaknya tepat berada di sebelah selatan Stasiun Tanggul. Dakwah dan kegiatan keagamaan pun kian hidup setelah masjid ini berdiri<ref name=":2" />.
[[Berkas:Stasiun Tanggul 2019.jpg|kiri|jmpl|Stasiun Tanggul, di belakang kompleks stasiun ini berdiri Masjid Riyadhus Sholihin, pusat aktifitas dakwah sekaligus kompleks pemakaman Habib Sholeh Tanggul.]]
 
Baris 29 ⟶ 33:
== Referensi ==
<references />
[[Kategori:Ulama Indonesia]]
[[Kategori:Alawiyyin]]