Tari Tumbu Tanah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Sedikit |
|||
Baris 5:
Masyarakat Arfak{{efn|Kata "arfak" berasal dari kata ''arfk'' yang berarti "orang tidur di atas bara api". Nama tersebut diberikan oleh orang-orang Belanda pada zaman dahulu karena melihat masyarakat setempat tidur di atas sebuah rumah panggung yang di bawahnya diberi bara api dengan tujuan untuk menghangatkan. Hal tersebut dilakukan karena hawa di pegunungan sangat dingin, bahkan bisa mencapai 6 derajat Celcius. Akhirnya, daerah pegunungan yang menjadi tempat tinggal suku itu dinamakan Pegunungan Arfk, yang dalam penyebutannya menjadi "arfak" ({{harvnb|Hapsari|2016|pp=153-154}}).}} (Mnu Kwar) yang tinggal di daerah Manokwari{{efn|Secara etimologi, kata "manokwari" berasal dari bahasa Byak yaitu ''mnukwar'' yang berarti "kota tua" ({{harvnb|Hapsari|2016|pp=153}}).}} terdiri dari empat sub-suku, yaitu [[Suku Hatam|suku Hattam]], suku Sough, [[Suku Moile dan Suku Meyah|suku Moile]], dan [[Suku Moile dan Suku Meyah|suku Meyakh]].{{sfnp|Hujairin, dkk|2017|p=58|ps=: "Masyarakat Arfak terdiri dari empat suku besar, yaitu Suku Hattam yang mendiami Distrik Oransbari dan Distrik Ransiki, Suku Meyakh yang menghuni Distrik Warmare dan Distrik Prafi, Suku Sough yang mendiami Distrik Anggi, dan Suku Moile yang mendiami Distrik Minyambouw (...)"}} Mereka memiliki kesenian tari yang sama, yang dinamakan dengan tari Tumbu Tanah.{{sfn|Hastanti|Yeny|2009|p=23|ps=: "(...) Mereka memiliki seni tari dan lagu yang sama yaitu Tumbu Tanah".}} Keempat suku tersebut menyebut tarian ini dengan nama tari Tumbu Tanah karena mereka menyebutnya dengan bahasa yang berbeda-beda. Masyarakat suku Hattam menyebutnya dengan nama Ibihim, sedangkan suku Moile menyebutnya dengan nama Isim. Adapun suku Meyakh menyebut tari Tumbu Tanah dengan nama Mugka dan suku Sough menyebutnya dengan nama Manyohora.{{sfn|Kondologit|Sawaki|2016|p=96|ps=: "(...) Misalnya orang Hattam menyebutnya dengan nama ''Isim'', sedangkan orang Meyakh menyebutnya ''Mugka'' dan orang Sough menyebutnya ''Manyohora''. Sehingga untuk mempermudah penyebutan tarian ini maka masyarakat Arfak menggunakan bahasa Indonesia dengan menyebutnya tarian Tumbu Tanah, juga agar dapat dimengerti oleh masyarakat lain".}}
Penyebutan nama tari Tumbu Tanah berawal ketika agama [[Kekristenan|Kristen]] yang dibawa oleh dua [[misionaris]] asal [[Jerman]], yakni [[Carl Wilhelm Ottow]] dan [[Johann Gottlob Geissler]],{{sfnp|Hernawan|2002|p=2|ps=: "Papua dewasa ini tidaklah sama dengan Papua saat para perintis gereja-gereja, seperti Otto dan Geissler, memasuki tanah Papua pada 5 Februari 1855 (...)"}} pertama kali masuk Papua
Berdasarkan asal-usulnya, tari Tumbu Tanah tidak terlepas dari [[mitologi]] asal-usul masyarakat Arfak mengenai cerita "Legenda Jambu Mandatjan"{{efn|Varian Legenda Jambu Mandjatan juga berkembang dalam cerita rakyat suku Meyakh. Varian tersebut memiliki kemiripan alur cerita, yaitu penyerobotan terhadap bagian lain dari cabang pohon jambu dengan buah dan burung yang hinggap di dahannya oleh seorang anak dari salah satu keret di kampung. Akibat dari penyerobotan dan matinya burung yang hinggap di dahan menyebabkan pertengkaran di bawah pohon jambu. Pertengkaran semakin berkepanjangan dan meluas antara orang tua di kampung. Akibat pertengkaran tersebut beberapa keluarga inti memilih pergi dan pindah ke wilayah lain. Perbedaan dalam varian cerita Legenda Jambu Mandjatan versi suku Meyakh adalah kelompok-kelompok keluarga inti bergerak ke arah utara hingga pantai utara menyusuri sungai Wariori. Penduduk asal suku Meyakh inilah yang saat ini tinggal dan menempati pantai utara kepala burung dari muara sungai Wariori hingga Pami serta sebagian terus menyebar dan tinggal di sebagian wilayah Pasir Putih. Varian cerita Legenda Jambu Mandjatan dari suku Meyakh tersebut dinamakan dengan "Bukuati" ({{harvnb|Kondologit|Sawaki|2016|pp=42-44}}).}} yang bermula di Kampung Ndui. Legenda Jambu Mandatjan adalah cerita tentang perebutan penguasaan kepemilikan terhadap salah satu pohon jambu yang telah dibagi menurut ''keret'' (marga){{efn|Setiap marga dalam masyarakat Arfak sejak dahulu hingga saat ini dikepalai oleh seorang ''nibou nimpung'' (kepala suku). Seorang kepala suku besar Arfak menjadi pemimpin dari keempat sub-suku atau etnis, yaitu Hattam, Sough, Meyakh, dan Moile. Masing-masing ''nibou nimpung'' menguasai satu ''mnu'' (wilayah), yang artinya dusun atau kampung dengan sejumlah orang yang dipimpinnya yang disebut dengan ''limuanya'' atau ''tungwatunya'' (masyarakat biasa) ({{harvnb|Assa|Hapsari|2015|pp=25}}).}} yang ada di Manokwari oleh anak-anak dari salah satu ''keret''. Seorang anak melepaskan anak panah dalam perebutan tersebut, tetapi meleset dan mengenai seekor burung. Tindakan tersebut lantas dicela oleh anak lain yang menjadi lawannya, bahkan semakin berkepanjangan hingga melibatkan orang tua dari masing-masing ''keret''. Masing-masing ''keret'' mengklaim kebenaran yang dilakukan oleh anaknya. Hal ini menyebabkan rusaknya hubungan harmonis yang telah terbangun di antara ''keret'' tersebut.{{sfn|Kondologit|Sawaki|2016|p=41-42|ps=: "Tentang asal-usul atau cerita rakyat yang menjadi acuan untuk menelusuri asal-usul, keturunan, dan persebaran orang Arfak, serta tari Tumbu Tanah, beberapa mite dan legenda telah dituturkan dari generasi ke generasi. Cerita rakyat utama yang menjadi acuan tidak terlepas dari mitologi Legenda Jambu Mandjatan di Kampung Ndui, yang mengisahkan tentang tersebarnya orang Arfak setelah konflik penguasaan buah jambu (...)"}}
Baris 25:
;''Bihim ifiri kai cut''
[[Berkas:TARIAN TUMBU TANAH ( TUMBU TANAH TRIBAL DANCE).jpg|jmpl|280x280px|Gerakan melompat sambil menghentakkan kaki di tanah
Gerakan melompat sambil menghentakkan kaki di tanah dilakukan pada pertengahan lagu. Pada gerakan ini, kedua kaki para penari menjadi kekuatan untuk melompat. Dengan menekuk lutut sedikit ke depan dan mendorong tubuh agar terangkat ke atas menggunakan tumpuan, para penari harus mendarat dengan kaki sejajar. Maksud gerakan ini selalu dimulai pada pertengahan lagu adalah agar para penari tidak terlalu lelah. Satu lagu dalam tari Tumbu Tanah biasanya berlangsung selama 3-5 menit, sedangkan dalam satu tari Tumbu Tanah biasanya menyanyikan 7-10 lagu. Masyarakat Arfak berpendapat jika gerakan melompat pada tari Tumbu Tanah dimulai sejak awal lagu, para penari akan cepat kelelahan dan hanya dapat membawakan 3-5 lagu.{{sfn|Kondologit|Sawaki|2016|p=103-104|ps=: "Gerakan ini dilakukan pada pertengahan lagu atau syair yang dilantunkan, dimana maksud dari selalu memulai gerakan untuk menari di pertengahan lagu agar ketika sampai pada akhir tubuh penari tidak terlalu capek. Sepenuturan masyarakat Arfak, apabila sejak awal sudah menari terus, maka penari cepat kelelahan, karena biasanya 1 lagu dinyanyikan 3-5 menit, dan satu tarian menyanyikan 7-10 lagu atau syair. Pada gerakan ini, kedua kaki penari menjadi kekuatan melompat. Dengan menekuk lutut sedikit ke depan dan mendorong tubuh agar terangkat ke atas menggunakan tumpuan, para penari harus mendarat dengan kaki sejajar".}}
|