Siauw Giok Tjhan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Borgx (bicara | kontrib)
k memindahkan Siauw Giok Tjhan (SGT) ke Siauw Giok Tjhan melalui peralihan
Zengcdt (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 26:
Menurut Siauw Giok Tjhan, kecintaaan seseorang terhadap Indonesia, tidak bisa diukur dari [[nama]], [[bahasa]] dan [[kebudayaan]] yang dipertahankannya, melainkan dari tindak tanduk dan kesungguhannya dalam berbakti untuk Indonesia. Konsep ini kemudian diterima oleh [[Bung Karno]] pada tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan Tionghoa adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti namanya, ataupun agamanya, atau menjalankan kawin campuran dengan suku non-Tionghoa untuk berbakti kepada Indonesia.
 
Oleh karena itu Siauw Giok Tjhan menentang konsep asimilasi yang dikembangkan oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB), dibawah kepemimpinan [[Kristoforus Sindhunata]] pada awal 1960-an. LPKB mencanangkan asimilasi sebagai "[[terapi]]" penyelesaian masalah
Tionghoa. Dengan asimilasi mereka bermaksud golongan Tionghoa menghilangkan ke-Tionghoaan-nya dengan menanggalkan semua [[kebudayaan]] Tionghoa, mengganti nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama Indonesia dan kawin campur antar ras. Dengan demikian, golongan Tionghoa tidak lagi bereksistensi sebagai golongan terpisah dari golongan mayoritas. Kalau ini dijalankan, LPKB menyatakan, lenyaplah [[diskriminasi rasial]].
 
Siauw tidak menentang proses asimilasi yang berjalan secara suka-rela dan wajar. Yang ia tentang adalah proses pemaksaan untuk menghilangkan identitas sebuah golongan, karena menurutnya usaha ini bisa meluncur ke genosida, seperti yang dialami oleh golongan [[Yahudi]] pada masa [[Perang Dunia]] ke II.
 
Putra bungsu Siauw Giok Tjhan yang bernama [[Siauw Tiong Djin]] menyatakan bahwa efek samping dari penerapan konsep [[Asimilasi]] yang pada awalnya dipercaya mempunyai maksud baik, namun pada saat pelaksanaannya oleh penguasa [[Orde Baru]], kebijakan asimilasi itu dijadikan [[Undang-Undang]] dan peraturan [[pemerintah]] yang bentuknya memaksa, sehingga timbulah larangan yang kita alami selama 32 tahun tersebut. Sejarah membuktikan bahwa akibat dari itu semua akhirnya meledak pada [[tragedi Mei '98]], dimana terjadi pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan terhadap kelompok [[minoritas]] Tionghoa.
 
==BAPERKI==
 
Siauw Giok Tjhan adalah ketua umum '''Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia''' (BAPERKI), sebuah [[organisasi]] [[massa]] yang didirikan pada suatu pertemuan di '''Gedung Sin Ming Hui''' di [[Jakarta]] pada 13 Maret 1954. Pertemuan ini dihadiri oleh 44 orang [[Tokoh Tionghoa]], kebanyakan dari mereka merupakan wakil dari berbagai organisasi Tionghoa, seperti '''PERWITT''' (Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa) yang berpusat di [[Kediri]], '''PERWANIT''' (Persatuan Warga Indonesia Tionghoa) yang berdiri di [[Surabaya]] dan '''PERTIP''' (Perserikatan Tionghoa Peranakan) yang berdiri di [[Makassar]]. Semua peserta adalah peranakan Tionghoa yang umumnya berpendidikan Belanda. Sebagian besar dari mereka berasal dari [[Jawa]], tetapi ada pula sebagian yang berasal dari luar Jawa, seperti [[Padang]], [[Palembang]], dan [[Banjarmasin]].
 
Mereka mewakili semua spektrum politik di Indonesia saat itu, antara lain tokoh-tokoh golongan kanan, seperti [[Khoe Woen Sioe]], Tan Po Goan, [[Auwyong Peng Koen]], Tan Siang Lian. Tokoh-tokoh golongan kiri, seperti Siauw Giok Tjhan, [[Go Gien Tjwan]] dan Ang Jang Goan, dan mereka yang bergaris netral, seperti Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, [[Yap Thiam Hien]], Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian dan [[Liem Koen Seng]] (adik [[Liem Koen Hian]]).
Baris 53:
==Partai Tionghoa Indonesia==
 
Siauw Giok Tjhan bergabung di PTI ('''Partai Tionghoa Indonesia'''). PTI mendukung berdirinya '''GERINDO''' (Gerakan Rakyat Indonesia) pada tanggal 18 Mei 1937, yang berdasarkan keputusan Kongres di Palembang, menerima Oei Gee Hwat (Sekretaris Pengurus Besar PTI) menjadi salah seorang pengurus '''GERINDO'''. Ketika itu, [[GERINDO]] dibawah pimpinan A.K. Gani, Amir Syarifudin, [[Moh. Yamin]] dll. melanjutkan usaha perjuangan tokoh-tokoh [[PNI]], [[Partindo]], yang di-[[Digul]]-kan dan masih dalam pembuangan. Jadi, GERINDO menjalankan garis demokrasi yang mengutamakan perlawanan terhadap [[fasisme]] dan tidak mempersoalkan warna-kulit yang berbeda, bisa membuka pintu untuk menerima etnis Tionghoa.