Dinasti Ayyubiyah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Mengubah referensi kosong, menggunakan nama referensi untuk menghindari duplikat, lihat FAQ
Baris 133:
[[Berkas:Al-Kamil Muhammad al-Malik and Frederick II Holy Roman Emperor.jpg|jmpl|ka|lurus|[[Al-Kamil]] (kanan) bertemu dengan Kaisar [[Friedrich II, Kaisar Romawi Suci|Friedrich II]] (kiri). Gambar berasal dari ''[[Nuova Cronica]]'', pertengahan abad ke-14.]]
 
Di sebelah timur, [[Kekaisaran Khwarezmia|Dinasti Khwarezmia]] di bawah kepemimpinan [[Jalauddin Mingburnu]] merebut kota [[Ahlat|Khilat]] dari tangan al-Asyraf.<ref name="RichardBirrell315">{{harvnb|Richard|Birrell|1999|p=315}}</ref> Sementara itu, [[Dinasti Rasuliyah]] (yang sebelumnya merupakan bani yang setia) mulai mengambil alih wilayah Ayyubiyah di [[Arabia]]. Pada tahun 1222, Dinasti Ayyubiyah mengangkat pemimpin Rasuliyah Ali bin Rasul sebagai gubernur Mekkah. Pemerintahan Ayyubiyah di Yaman dan Hijaz sendiri terus melemah, dan gubernur Yaman Ayyubiyah, Mas'ud bin Kamil, terpaksa bertolak ke Mesir pada tahun 1223. Untuk mengisi kekosongan, ia mengangkat Nuruddin Umar sebagai wakilnya.<ref name="Ali84"/> Pada tahun 1224, sebuah dinasti al-Yamani berhasil menguasai wilayah [[Hadramaut]]. Kendali Ayyubiyah di wilayah itu sendiri memang lemah akibat kesulitan dalam memerintah wilayah utama Yaman.<ref name="Brice338">{{harvnb|Brice|1981|p=338}}< /ref> Kemudian, setelah wafatnya Mas'ud bin Kamil pada tahun 1229, Nuruddin Umar mengangkat dirinya sebagai penguasa Yaman yang merdeka dan tidak lagi membayarkan upeti tahunan kepada pemerintah Ayyubiyah di Mesir.<ref name="Ali84">{{harvnb|Ali|1996|p=84}}</ref>
 
Dinasti Ayyubiyah juga masih menghadapi ancaman dari Eropa. Kaisar [[Friedrich II, Kaisar Romawi Suci|Friedrich II]] mengobarkan [[Perang Salib Keenam]] yang berupaya memanfaatkan perselisihan antara al-Kamil dari Mesir dengan al-Mu'azzam dari Syam.<ref name="Shillington438"/> Al-Kamil kemudian menawarkan kota Yerusalem kepada Friedrich untuk menghindari serangan Syam ke Mesir, tetapi Friedrich menolak tawaran tersebut mentah-mentah. Posisi Al-Kamil menguat setelah al-Mu'azzam tutup usia pada tahun 1227 dan digantikan oleh putranya, [[an-Nasir Dawud]]. Al-Kamil melanjutkan perundingan dengan Friedrich II di Akko pada tahun 1228, dan akhirnya mereka menandatangani perjanjian gencatan senjata pada Februari 1229. Perjanjian tersebut menyerahkan kota Yerusalem yang tidak dibentengi kepada Tentara Salib selama lebih dari sepuluh tahun, tetapi pada saat yang sama juga menjamin kendali Muslim atas tempat-tempat suci Islam di kota tersebut.<ref name="MeriBacharach84"/> Meskipun perjanjian tersebut sama sekali tidak berarti dari sudut pandang militer, an-Nasir Dawud memanfaatkannya untuk membangkitkan amarah rakyat Syam, dan konon khotbah Jumat yang disampaikan oleh seorang khatib yang terkenal di [[Masjid Agung Umayyah]] di Damaskus telah membuat para penyimaknya "meraung-raung dan menangis".<ref name="Burns184">{{harvnb|Burns|2005|p=184}}</ref>
Baris 215:
Pada abad ke-12, [[Islam]] merupakan agama utama di kawasan Timur Tengah. Tidak diketahui secara pasti apakah agama ini merupakan agama mayoritas di luar [[Semenanjung Arabia]]. Bahasa Arab merupakan bahasa kebudayaan dan juga bahasa yang dituturkan oleh warga kota, walaupun bahasa-bahasa lainnya yang sudah ada dari zaman pra-Islam juga masih digunakan untuk hal-hal tertentu.<ref name="HouraniRuthven96-97">{{harvnb|Hourani|Ruthven|2002|pp=96–97}}</ref> Kebanyakan orang Mesir menuturkan bahasa Arab pada masa Dinasti Ayyubiyah.<ref name="Goldschmidt48">{{harvnb|Goldschmidt|2008|p=48}}</ref>
 
[[Rumpun bahasa Kurdi|Bahasa Kurdi]] merupakan bahasa ibu penguasa-penguasa pertama Ayyubiyah, khususnya pada masa mereka ketika mereka bertolak dari Dvin. Sultan Salahuddin menuturkan bahasa Arab dan [[bahasa Kurdi]], dan tampaknya juga bisa berbicara [[bahasa Turki]].<ref name="Magill809">{{harvnb|Magill|1998|p=809}}</ref><ref name="France84">{{harvnb|France|1998|p=84}}</ref> Menurut Yasser Tabbaa, seorang antropolog yang mengkhususkan diri dalam bidang kebudayaan Islam [[abad pertengahan]], para penguasa Ayyubiyah yang memerintah pada abad ke-12 sudah jauh dari budaya Kurdi; tidak seperti para pendahulu mereka di Seljuk dan para penerus mereka di Mamluk, para penguasa Ayyubiyah telah "terarabisasi".<ref name="Tabbaa31">{{harvnb|Tabbaa|1997|p=31}}</ref> Bahasa dan [[budaya Arab]]<ref name="Angold391">{{harvnb|Angold|2006|p=391}}</ref> menjadi unsur utama dalam jati diri mereka alih-alih bahasa dan budaya Kurdi.<ref name="FageOliver37-38">{{harvnb|Fage|Oliver|1977|pp=37–38}}</ref> Mereka sendiri sudah cukup terasimilasi ke dalam budaya Arab sebelum mereka mulai berkuasa, dan marga-marga Arab pun jauh lebih lazim daripada marga-marga non Arab di kalangan penguasa Bani Ayyubiyah. Beberapa pengecualiannya adalah marga non-Arab ''[[Turansyah]].'' Sebagian besar penguasa Ayyubiyah dapat menuturkan bahasa Arab secara fasih, dan beberapa dari antara mereka (seperti az-Zahir Ghazi, [[Al-Mu'azzam|al-Mu'azzam Isa]], dan amir-amir kecil di Hamat) merangkai puisi dalam bahasa Arab.<ref name="Humphreys189-190">{{harvnb|Humphreys|1977|pp=189–190}}</ref>
 
Arabisasi yang berlangsung di keluarga penguasa Ayyubiyah sangat berbeda dengan pasukan mereka yang tidak memiliki kesatuan budaya. Orang-orang Turki dan Kurdi mendominasi pasukan berkuda, sementara kelompok nomaden [[orang Turkmen|Turkmen]] dan Arab mengisi satuan-satuan infanteri. Kelompok-kelompok nomaden tersebut biasanya menetap di padang rumput di luar kota, sehingga mereka terpisah dari kehidupan perkotaan yang kental dengan budaya Arab. Berkat pemisahan ini, mereka masih dapat mempertahankan tradisi mereka.<ref name="Tabbaa31">{{harvnb|Tabbaa|1997|p=31}}< /ref> Diduga Salahuddin berbicara dalam bahasa Turki kepada para panglima militernya.<ref name="France84"/> Seperti Bani Fatimiyah, para penguasa Ayyubiyah di Mesir tetap mempertahankan pasukan ''[[mamluk]]'' (budak militer) dalam jumlah besar. Pada paruh pertama abad ke-13, pasukan ''mamluk'' kebanyakan berasal dari golongan Turk [[Kipchak]] dan [[Adighe]], dan terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa pasukan tersebut masih menuturkan [[bahasa Kipchak]].<ref name="Catlos425">{{harvnb|Catlos|1997|p=425}}</ref><ref name="Flinterman16-17">{{harvnb|Flinterman|2012|pp=16–17}}</ref>
 
Sebagian besar penduduk Syam pada abad ke-12 memeluk agama [[Islam Sunni]], dan sebagian besar beretnis Arab atau Kurdi. Terdapat juga komunitas Muslim [[Syiah]] [[Dua Belas Imam]], [[Druze]], dan [[Alawit|sekte Alawiyah]]. Penganut Islam Syiah beraliran [[Ismailiyah]] berjumlah kecil dan kebanyakan berdarah [[orang Persia|Persia]], dan mereka datang dari wilayah [[Alamut]]. Kebanyakan dari mereka tinggal di wilayah pegunungan di dekat pesisir Syam utara.<ref name="Willey41">{{harvnb|Willey|2005|p=41}}</ref> Terdapat pula komunitas [[Kristen]] dalam jumlah yang besar di Syam utara, Palestina, Transyordania, dan Mesopotamia Hulu. Mereka menuturkan [[bahasa Aram]] dan merupakan penduduk asli wilayah tersebut. Kebanyakan dari mereka mengikuti [[Gereja Ortodoks Suryani]]. Mereka tinggal di desa-desa Kristen atau desa-desa dengan campuran penduduk Muslim dan Kristen. Mereka juga menetap di biara-biara dan kota-kota kecil. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka tampaknya hidup rukun dengan tetangga-tetangga Muslim mereka. Secara ideologis, mereka dipimpin oleh [[Patriark Antiokhia]].<ref name="Baer2-3">{{harvnb|Baer|1989|pp=2–3}}</ref>