Kesultanan Aceh: Perbedaan antara revisi
[revisi terperiksa] | [revisi tidak terperiksa] |
Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak 11 perubahan teks terakhir dan mengembalikan revisi 16844396 oleh 125.165.36.143 |
beberapa penjelasan era kemajuan dan masa perang Aceh Tag: VisualEditor mengosongkan halaman [ * ] |
||
Baris 57:
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan [[Sultan Iskandar Muda]] ([[1607]] - [[1636]]) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan [[Pahang]] yang merupakan sumber [[timah]] utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas [[Selat Malaka]] dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki [[Kedah]] dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.<ref name=":0">{{cite book | last = Lombard | first = Denys | authorlink = | coauthors = | title = Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) | publisher = Kepustakaan Populer Gramedia | date = 2008 | location = Jakarta | pages = | url = | doi = | id = }}</ref>
Kesultanan Aceh menguasai semenanjung Malaya, <nowiki>[[Pattani]]</nowiki> dan <nowiki>[[Ligor]]</nowiki> , hingga <nowiki>[[Tumasik Singapura]]</nowiki> dan hampir menguasai seluruh pulau Sumatera. Ligor yang pada waktu itu direbut oleh Pattani yang berada dibawah kesultanan Aceh, saat itu kerajaan Ligor baru saja kehilangan pemimpinnya, seorang <nowiki>[[ronin]]</nowiki> Jepang bernama <nowiki>[[Yamada Nagamasa]]</nowiki> (memerintah di bawah <nowiki>[[Ayutthaya]]</nowiki>), yang dibunuh oleh raja <nowiki>[[Siam]]</nowiki> yang baru saja naik tahta (<nowiki>[[Prasat Thong]]</nowiki>). Saat itulah Patani mengambil kesempatan untuk merebut Ligor dan berhasil. Patani semasa pemerintahan Ratu Ungu adalah vasal kesultanan Aceh, karena sang ratu adalah permaisuri dari Sultan Pahang yang diketahui tunduk pada Sultan Iskandar Muda. Ligor menjadi bawahan Aceh secara tidak langsung melalui Pattani.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan [[Ratu Elizabeth I]]. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.▼
Palembang, ada dua sumber yang mencatatnya sebagai salah satu negeri yang takluk pada Aceh. Yang satu adalah surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja <nowiki>[[James I]]</nowiki> dari Inggris, yang dikutip oleh <nowiki>[[M. Dien Madjid]]</nowiki> dalam bukunya Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat. Sumber kedua adalah tulisannya <nowiki>[[H.T. Damsté]]</nowiki> dalam Het Volk van Atjeh yg dikutip oleh <nowiki>[[Hasan Tiro]]</nowiki> dalam karyanya, Aceh di Mata Dunia. Aceh menaklukkan Palembang sekitar tahun 1624. Dalam hal wilayah kekuasaan ini tercatat Aceh sebagai kesultanan Islam terbesar di Asia Tenggara.
▲Pada masa Sultan Alaidin
=== Kemunduran ===
Baris 82 ⟶ 87:
{{artikel|Perang Aceh}}
[[Perang Aceh]] merupakan perang terdahsyat, termahal dan terpanjang dalam sejarah Nusantara, dimulai sejak Belanda menyatakan [[perang]] terhadap Aceh pada [[26 Maret]] [[1873]] setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun [[1883]], tetapi lagi-lagi gagal, dan pada [[1892]] dan [[1893]], pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Pada tahun 1896 [[Doktor|Dr.]] [[Christiaan Snouck Hurgronje]], seorang ahli [[Islam]] dari [[Universitas Leiden]] yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para [[Ulèëbalang]], dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal [[Joannes Benedictus van Heutsz]]. Pasukan [[Marsose]] dibentuk dan [[G.C.E. van Daalen (1863-1930)|G.C.E. Van Daalen]] diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.
Baris 89 ⟶ 94:
Pada Januari tahun [[1903]] Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. [[Panglima Polem|Panglima Polem Muhammad Daud]], Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.<ref>{{cite book | last = Zentgraft | first = Door H.C. | authorlink = | coauthors = | title = ATJEH | publisher = Koninklijke Drukkerij de Unie | date = 1938 | location = Batavia | pages = | url = | doi = | id = }}</ref>
Aceh dalam catatan sejarah tidak pernah benar benar takluk pada Belanda dan pernah mengalami kemenangan luar biasa seperti pada 22 April 1873 Bencana kekalahan di Aceh membuat Belanda menjadi bulan-bulanan dalam pemberitaan media massa international, Surat kabar London Times menulis: Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di kepulauan Melayu. Sebuah kekuatan Eropa yang besar telah dikalahkan oleh tentara anak negeri, tentara Kerajaan Aceh Darussalam. Kekalahan Belanda ini menggemparkan publik Eropa dan Amerika. Surat kabar London Times edisi 22 April 1873 memuat laporan lengkap dari Medan Perang Bandar Atceh antara lain ditulis: ‘Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan yang terjadi di kepulauan Melayu. Kekuatan pasukan Eropa yang besar dikalahkan oleh tentara pribumi. Tentara Aceh berhasil dengan gemilang meraih kemenangan besar dalam peperangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari’... The New York Times pada edisi 15 Mei 1873 menulis sebagai berikut ‘Suatu pertempuran berlumuran darah terjadi di Aceh. Serangan Belanda berhasil ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda dibunuh dan tentaranya lari tunggang langgang (Harry Kawilarang, 2010: 63)
Berdasarkan petikan diatas dapat diinterpretasikan bahwa dalam pertempuran agresi militer Belanda yang pertama tahun 1873 di Pante Ceureumen, pasukan Aceh mampu memukul mundur tentara agresor Belanda sehingga memunculkan kerugian yang besar pada pihak Belanda. Kekalahan Belanda pada pertempuran pertama ini terjadi karena Belanda sangat keliru dalam memperkirakan kekuatan pasukan Aceh. Mereka menganggap bahwa kondisi kerajaan Aceh Darussalam sedang mengalami penurunan diberbagai bidang kehidupan baik dalam bidang ekonomi dan militer.
dalam buku Perang kolonial Belanda di Aceh disebutkan bahwa, Belanda menghabiskan dananya pada 1873-1874 sebesar 16 Juta Gulden atau setara 6 Triliun Rupiah saat ini, sedangkan pada tahun 1875 Belanda menghabiskan dananya sebesar 26,5 Juta Gulden atau setara 9 Triliun Rupiah saat ini, dan tercatat sebagai perang termahal dalam sejarah Nusantara. Perang Aceh berlangsung hingga 30 tahun lebih lamanya dan tercatat sebagai perang terpanjang dalam sejarah Nusantara. Korban dalam perang Aceh mencapai hampir 100.000 orang tewas, baik dari pihak Belanda maupun pihak Aceh dan tercatat sebagai perang terdahsyat di Nusantara.
Perang Aceh berlangsung hingga 30 tahun lebih lamanya, dan tercatat sebagai perang terlama dan terdahsyat dalam sejarah Nusantara, Belanda mengibaratkan perang Aceh ini seperti perang 80 tahun
Perkiraan Belanda menaklukkan Aceh akan berjalan mulus ternyata keliru, <nowiki>[[J.H.R.Kohler]]</nowiki> tewas tertembak didadanya, pada saat itu ia berkata "O, God, ik ben getroffen!" Oh, Tuhan, aku tertembak, pekiknya., ini menandakan kerugian dan hal yang sangat memalukan bagi Belanda, hal tersebut dapat terlihat pada makam Kohler dengan gambar ular yang menggigit ekornya sendiri. Tercatat <nowiki>[[Teungku Imum Lueng Bata]]</nowiki> sebagai sosok penembak Kohler dalam peristiwa perang Aceh tersebut.
Selama pendudukan Belanda di Aceh, Belanda sama sekali tidak mendapatkan keuntungan selama di Aceh, bahkan mereka mengalami kerugian yang sangat sia sia apalagi dalam perang Aceh yang mencapai kerugian Belanda hingga 115 juta Gulden atau setara lebih dari 40 Triliun Rupiah hari ini, kekuasaan Belanda di Aceh hanyalah agar nampak di mata dunia bahwa kedaulatan Belanda telah mencapai Aceh, sedangkan Belanda di Aceh tidak mendapatkan apa apa. Hal ini dapat dilihat Wilayah para Uleebalang yang masih menikmati otonomi yang cukup luas sehingga tidak pernah diperintah langsung oleh Belanda, dan tidak pernah megalami penjajahan dan kerja paksa oleh pemerintah kolonial.
=== Restorasi ===
Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia) pada tahun 1907 maka menandakan berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah dibina berabad-abad lamanya.
Di akhir tahun 1930an, berkembang gagasan untuk menghidupkan monarki dengan memulangkan Tuanku Muhammad Daudsyah ke Kutaraja. Belanda tidak menentang secara terbuka gagasan restorasi monarki namun menolak Tuanku Muhammad Daudsyah untuk duduk di singgasana kembali. Sikap Belanda yang demikian membuat pendukung gagasan tersebut mengusulkan Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai pribumi aceh tertinggi di administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon Sultan.
Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar di masa pendudukan Belanda. Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka pengaruh posisi mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala daerah bisa ditanggalkan. Salah satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang adalah Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di kalangan ulama adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh. Beliau bukan tidak ingin kembalinya kesultanan, melainkan tidak menyukai orang yang akan menduduki tahta batee tabal, yaitu Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud. Tuanku Ibrahim dianggap memiliki akhlak yang kurang baik sedangkan Tuanku Mahmud meski cakap tapi terlalu dekat dengan Belanda.
|