Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k →‎Pranala luar: clean up using AWB
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
Baris 111:
=== Pendudukan Jepang ===
[[Berkas:Gedangan presbytery.JPG|jmpl|Pastoran di Gedangan, yang dilindungi Soegijapranata dari [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|pasukan Jepang]] pada tahun 1942]]
Setelah [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|Jepang memasuki Nusantara]] pada awal tahun 1942, yang tidak dapat dicegah pasukan kolonial, pada tanggal 9 Maret 1942 Guberner-Jenderal [[Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer|Tjarda van Starkenborgh Stachouwer]] dan pemimpin [[KNIL]] Jenderal [[Hein ter Poorten]] menyerah. Ini membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan di Nusantara dan mengurangi kualitas hidup orang non-Jepang.{{sfn|Adi|2011|pp=18–24}} Dalam buku hariannya, Soegijapranata menulis bahwa "di mana-mana ada kebakaran ... Tidak ada tentara, tidak ada polisi, tidak ada pegawai. Di jalanan pun terdapat berbagai bangkai kendaraan yang terbakar ... Untung masih ada beberapa pegawai kejaksaan dan beberapa tokoh Katolik yang tidak pergi. Mereka bekerja dengan mengatasnamakan diri dari instansiyanginstansi yang berwenang untuk mengatur kota agar tercipta suasana ''rust en order'', tertib dan damai."{{sfn|Subanar|2003|pp=133–134}}
 
Pemerintah Jepang menangkap dan menahan ribuan pria dan wanita (sebagian besar orang Belanda), baik orang awam maupun klerus.{{efn|{{harvtxt|Subanar|2003|pp=155–163}} mencatat 109 Yesuit, 61 anggota [[Fratrum Immaculatae Conceptionis]], dan 21 biarawati dalam Ordo Carolus Borromeus yang ditahan selama periode pendudukan Jepang. Sebanyak dua belas pastor ditahbiskan dalam kurung waktu yang sama.}} Pemerintah juga menentukan kebijakan yang mengubah cara orang mengadakan misa. Penggunaan bahasa Belanda dilarang, baik yang dilafalkan maupun yang ditulis, dan sejumlah bangunan milik Gereja disita.{{sfn|Subanar|2003|pp=133–134}} Soegijapranata berusaha untuk mencegah penyitaan ini. Ia pernah mengisi gedung kosong dengan orang supaya tidak disita, dan menyatakan bahwa gedung lain, misalkan bioskop, akan lebih bermanfaat untuk Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=135}} Saat penguasa Jepang berusaha untuk menyita Katedral Semarang untuk digunakan sebagai kantor, Soegijapranata menyatakan bahwa mereka hanya boleh mengambil gereja tersebut kalau mereka memenggal kepalanya dulu; pihak Jepang kemudian menemukan tempat lain. Soegijapranata juga mencegah penyitaaan Pastoran Gedangan, tempat ia tinggal,{{sfn|Gonggong|2012|p=49}} serta menugaskan penjaga di sekolahan dan tempat lain, supaya tidak disita.{{sfn|Subanar|2003|p=139}} Namun, usaha ini tidak selalu berhasil, dan berbagai bangunan milik Gereja disita;{{sfn|Subanar|2005|p=59}} begitu pula dana Gereja.{{sfn|Subanar|2005|p=67}}