Masjid Al-Atiiq: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 13:
=== Laskar Prajurit Diponegoro di Salatiga ===
Ketika ''Vereenigde Oot-Indische Compagnie'' (VOC) berkuasa di Jawa, Salatiga pun berada di bawah kekuasaaan kongsi dagang Belanda itu. Oleh VOC Salatiga di pandang sangat strategis, karena berada di jalur utama persimpangan Semarang, Surakarta, dan Magelang. Selain itu, Salatiga juga dipandang sangat strategis dalam kegiatan lalu lintas perdagangan dari pedalaman Jawa Tengah ke Pantai Utara Jawa sehingga dijadikan sebagai pusat persinggahan para pedagang. Oleh karena itu, maka Pemerintah Hindia Belanda memandang Salatiga sangat strategis untuk dijadikan sebagai kota militer. Sehingga pada tahun 1746 VOC mulai menempatkan pasukannya di Salatiga dan membangun sebuah benteng yang diberi nama Benteng ''De Hersteller.'''[1]'''''
Pembangunan Benteng ''De Hersteller'' di Salatiga tersebut terutama dimaksudkan untuk memberikan jaminan keamanan di sepanjang jalur Semarang-Surakarta. Selain itu, juga bermanfaat ketika terjadi suksesi di Kerajaan Surakarta tahun 1746-1757 yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti Tahun 1755 yang melahirkan kesultanan Yogyakarta dan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 yang melahirkan Kadipaten Mangkunegaran.[2]
==== Kyai Sirojudin / Kyai Damarjati ====▼
Pecahnya Perang Jawa atau juga disebut dengan Perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830, sebagiamana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Pada waktu itulah muncul semangat dari warga primbumi dalam melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Disebutkan bahwa awal mulanya peperangan tersebut dilandasi oleh kekecewaan Pangeran Diponegoro terhadap Kraton Yogyakarta yang tunduk pada pemerintahan Kolonia Hindia Belanda.
Pada masa perang Diponegoro, salah satu pendukung per-juangan beliau dalam melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda, adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI (Bahasa Jawa : ''Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono VI'') yang lahir di Surakarta pada tanggal 26 April 1807, merupakan raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1823 -1830. [3]
Hubungannya dengan Pangeran Diponegoro adalah sebagai pendukung pergerakan atau perjuangan dalam Perang Jawa sebagai bentuk perlawanan atau pemberontakan terhadap Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terkait dengan perjanjian dengan Belanda, Paku Buwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Paku Buwana VI dengan pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya dulu dikisahkan Paku Buwana VI pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. [4]
Dalam sejarahnya diceritakan bahwa Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam Kraton Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang. Konon, kereta Pangeran Diponegoro tertinggal dan segera di tanam di dalam Kraton Surakarta oleh Pakubuwana VI. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda.
Pakubuwana VI dalam aksi ganda tersebut, dalam kaitannya membantu perlawanan dan perjuangan Pangeran Diponegoro salah satunya adalah mengirim pasukannya ke daerah-daerah untuk ikut berjuang bersama Pangeran Diponegoro melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Dalam pasukan tersebut terdiri atas prajurit dan abdi dalemnya.
Pada waktu meletus Perang Diponegoro tahun 1825 pengaruhnya juga sampai ke daerah Semarang. Perjuangan Pangeran Diponegoro berkobar di daerah Surakarta bagian Barat, daerah Bagelan, Banyumas, Tegal, Pekalongan dan Semarang. Perjuangan di daerah Semarang dipimpin oleh seorang Bupati/Patih yang bernama Pangeran Serang II (Pangeran Kusumowijoyo adalah Putra Pangeran Mutia Kusumowijoyo/ Pangeran Serang I). Pada tanggal 22 April 1826 Pangeran Serang II berhasil merebut daerah Purwodadi dan perlawanan rakyat menjalar ke daerah Demak, Kudus, Wirosari, Grobogan dan Semarang. Pertahanan Kota Semarang dipimpin oleh Jenderal Van Goen yang mendatangkan bala bantuan dari Kota Surabaya, Solo dan Sumenep (Madura). Dalam pertempuran di sekitar Kota Demak pada tanggal 15 September 1926 Pangeran Serang II bersama pengikutnya dapat terdesak oleh pasukan Van Goen dan terpaksa mengundurkan diri. [5]
Kota Salatiga kala itu, dipimpin oleh seorang Asisten Residen yang bernama Reede Van Oudtschoen. Kota Salatiga dahulunya merupakan tempat peristirahatan bagi para pejabat pemerintah Kolonial Hindia Belanda maupun orang-orang Eropa. Tempatnya yang berada diperbukitan dengan hawa sejuk sangat memungkinkan Salatiga menjadi kawasan favorit untuk berlibur dan beristirahat. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya bangunan bersejarah yang masih berdiri kokoh di Salatiga.
Pada masa Perang Jawa atau Perang Diponegoro, bahwa Kota Salatiga merupakan kota favorite sangat memungkinkan banyak para pejabat Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang bertempat tinggal di Salatiga. Dengan demikian Kota Salatiga bisa disebut sebagai markas militer Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
Dalam upaya membantu perjuangan Pangeran Diponegoro, Pangeran Pakubuwana VI mengirim utusan abdi dalemnya yang bernama Kyai Rono Sentiko. Beliau ditugaskan untuk memata-matai pergerakan Pasukan Militer Pemerintahan Hindia Belanda di Salatiga. Di salatiga beliau bertemu dengan para laskar prajurit Pangeran Diponegoro, antara lain yakni Kyai Condro yang berasal dari magelang dan Kyai Sirojudin atau Kyai Damarjati.
▲==== Kyai Sirojudin / Kyai Damarjati ====
<br />
==== Kyai Rono Sentiko/ Ki Rono Sentiko ====
|