Permesta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 28:
=== Proklamasi Permesta ===
[[Berkas:Signing of Permesta Charter (1957).jpg|jmpl|250px|Piagam Permesta ditanda-tangani sekaligus oleh Sumual dan Pangerang.]]
Pada tanggal 2 Maret 1957 pukul 03.00 di kediaman gubernur di Makassar dan di hadapan sekitar 50 hadirin, Sumual memproklamasikan keadaan perang untuk seluruh wilayah TT-VII yaitu seluruh wilayah Indonesia timur.<ref>[[#ricklefs|Ricklefs dan Nugraha (2008)]], hlm. 531.</ref> Selanjutnya Lahade membacakan ''Piagam Perjuangan Semesta'' atau Piagam Permesta.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 47.</ref> Pada bagian akhir piagam tersebut mengenai "TJARA-TJARA PERDJOANGAN" dituliskan bahwa "pertama-tama dengan mejakinkan seluruh pimpinan dan lapisan masjarakat, bahwa kita tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia, dan semata-mata diperdjoangkan untuk perbaikan nasib rakjat Indonesia dan penjelesaian bengka-lai revolusi Nasional." Piagam tersebut ditanda-tangani para hadirin. Setelah pembacaan piagam, disusul pidato dari Gubernur Andi Pangerang yang meminta agar semua tetap tenang dan tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing.<ref>[[#liwe|Liwe (2002)]], hlm. 99.</ref>
Baris 36 ⟶ 38:
=== Tanggapan pemerintah pusat ===
[[Berkas:Sumual, Somba, and Suharto (1957).jpg|jmpl|250px|Musyawarah Nasional yang dihadiri Sumual (kiri), Somba (kedua dari kiri), dan Soeharto (kanan).]]
Pada tanggal 14 Maret 1957, sebuah delegasi yang diketuai Henk Rondonuwu datang ke Jakarta dengan maksud untuk bertemu dengan [[Soekarno|President Soekarno]] dan [[Mohammad Hatta]] secara terpisah dan memberi penjelasan kepada mereka tentang tujuan Permesta. Menurut laporan delegasi, dalam pertemuan Sukarno tampak lega setelah mendengar jaminan bahwa Permesta tidak bermaksud untuk pecah dari negara Republik Indonesia. Sedangkan dalam pertemuan dengan Hatta, ia terkesan dengan isi piagam Permesta setelah membacanya.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 53, 54.</ref> Pada hari yang sama Perdana Menteri Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya kembali kepada Soekarno yang kemudian menyatakan negara dalam keadaan darurat perang atas usulan Nasution.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 55.</ref> Sukarno menunjuk [[Djoeanda Kartawidjaja|Ir. Juanda]] sebagai perdana menteri baru.
Baris 54 ⟶ 58:
=== Hubungan Permesta dan PRRI ===
[[Berkas:Soemitro meeting (1957).jpg|jmpl|250px|Sumitro Djojohadikusumo (kiri berkacamata) dalam sebuah rapat dengan Sumual (ketiga dari kanan).]]
Pada bulan yang sama diselenggarakanya MUNAS, Sumual bertemu dengan Letkol [[Ahmad Husein]] dan Letkol Barlian di [[Palembang]]. Husein adalah ketua [[Dewan Banteng]] yang memperjuangkan hal-hal yang sama dengan Permesta di [[Sumatra Barat]]. Sedangkan Barlian memrakarsai Dewan Garuda dengan tujuan yang sama. Ketiga perwira ini menanda-tangani ''Piagam Persetujuan Palembang'' yang berisi tuntutan-tuntutan kepada pemerintah pusat antara lain "pemulihan Dwitunggal", "mengganti pimpinan Angkatan Darat sebagai langkah pertama terhadap stabilisasi TNI", "desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara yang antaranya meliputi pemberian otonomi yang luas bagi daerah", dan "melarang komunisme".<ref>[[#hakiem|Hakiem (2019)]], hlm. 449.</ref> Pada tanggal 9 Januari 1958, Sumual kembali ke Sumatra tepatnya di Sungai Dareh di [[Sumatra Barat]] dan bertemu kembali dengan Husein. Ia juga bertemu dengan pimpinan gerakan di Sumatra lainnya yaitu [[Sumitro Djojohadikusumo]], [[Mohammad Natsir]], dan [[Maludin Simbolon|Kolonel Maludin Simbolon]].<ref>[[#tempo_2007|TEMPO (2007)]].</ref>
Baris 64 ⟶ 70:
=== Perbedaan tanggapan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara ===
[[Berkas:Sumual speech (1957).jpg|jmpl|250px|Sumual berpidato di depan massa di Langowan.]]
Di Manado, Somba harus menanggapi berita terbentuknya PRRI. Sebagai Panglima KDM-SUT, ia harus memilih apakah akan memutuskan hubungan dengan pemerintah di Jakarta dan memihak kepada PRRI. Beberapa dari stafnya termasuk [[Dee Gerungan|Mayor Jan Willem "Dee" Gerungan|]], Abe Mantiri, dan Kapten Lendy Tumbelaka mendesak Somba untuk berpihak kepada PRRI.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 94.</ref><ref>[[#sulu|Sulu (2011)]], hlm. 407.</ref> Sumual pada waktu itu masih berada di luar negeri di [[Manila]].<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 245.</ref> Pada tanggal 16 Februari 1958, terjadi rapat massal di lapangan Sario di Manado. Somba pada akhirnya memilih apa yang diserukan masyarakat yang menghadiri rapat massal tersebut dan desakan stafnya, yaitu untuk memutus hubungan dengan pemerintah di Jakarta.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 95.</ref><ref>[[#sulu|Sulu (2011)]], hlm. 30.</ref><ref>[[#tribun_2013|Tribun News (2013)]].</ref> Somba diberhentikan secara tidak hormat oleh TNI-AD setelah pernyataannya.<ref>[[#indonesia|Indonesia (April 1983)]], hlm. 118.</ref> Sumual dan Lahade juga diberhentikan secara tidak hormat pada tangggal 1 Maret 1958.<ref>[[#scsp_1958|South China Sunday Post (2 Maret 1958)]], p. 6.</ref> Warouw juga bergabung dengan Permesta dan dia diberhentikan dengan tidak hormat pada tanggal 6 Mei 1958.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 124.</ref>
Baris 116 ⟶ 124:
=== Operasi Mena ===
[[Berkas:Indonesian Navy Commando Corps on Morotai Beach, Jalesveva Jayamahe, p154.jpg|jmpl|250px|Pasukan KKO ALRI di pulau Morotai.]]
''Operasi Mena'' adalah bagian dari operasi gabungan yang diberi nama ''Operasi Merdeka''.<ref>[[#komandoko|Komandoko (2010)]], hlm. 62.</ref> Operasi ini ditugaskan oleh pemerintah pusat untuk menumpas pemberontakan Permesta. Operasi Mena sendiri yang terdiri dari Operasi Mena I dan Operasi Mena II bertujuan untuk mengamankan Kepulauan Halmahera. Operasi Mena I yang dipimpin oleh Pieters ditugaskan untuk merebut kembali Jailolo, sedangkan Operasi Mena II yang dipimpin oleh Holnhulz ditugaskan untuk merebut kembali Morotai.<ref>[[#pour|Pour dan Sudomo (1997)]], hlm. 67, 69.</ref> Pada tanggal 27 Mei 1958 dalam sebuah konferensi pers yang diadakan di Jakarta, Pieters mengatakan bahwa sekitar 400 prajurit Permesta telah dikepung di Jailolo dan telah menerima ultimatum dari TNI untuk menyerahkan diri. Pieters berada di Jakarta pada waktu itu untuk membawa tahanan Allen Pope yang ditangkap di Ambon.<ref>[[#arnhemsche|Arnhemsche Courant (28 Mei 1958)]]</ref> Sedangkan Holnhulz merebut kembali Morotai pada tanggal 20 Mei 1958. Holnhulz termasuk dalam ''Amphibious Task Force 21'' (ATG-21 atau ''Gugus Tugas Amphibi 21'') dari [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut|Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI)]]. ATF-21 terdiri dari dua kapal angkut pasukan yaitu RI Sawega dan RI Baumasepe dan lima kapal penyapu ranjau (PR).<ref>[[#alri|Jawatan Penerangan Angkatan Laut (1960)]], hlm. 35.</ref> Pasukan marinirnya mendarat dan menyerang pada dini hari dengan diikuti oleh ''Pasukan Gerak Cepat'' (PGT) yang terjun dari pesawat AURI.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 157.</ref>
=== Operasi Sapta Marga ===
[[Berkas:Indonesian Navy Commando Corps trekking to Amurang , Jalesveva Jayamahe, p153.jpg|jmpl|250px|Pasukan KKO ALRI bergerak ke Amurang.]]
''Operasi Sapta Marga'' juga adalah bagian dari operasi gabungan ''Operasi Merdeka''.<ref>[[#komandoko|Komandoko (2010)]], hlm. 62.</ref> Operasi Sapta Marga sendiri yang terdiri dari empat operasi terpisah bertujuan untuk merebut kembali daerah-daerah di Sulawesi Utara dan Tengah. ''Operasi Sapta Marga I'' dipimpin oleh Letkol Inf Sumarsono untuk merebut kembali Sulawesi Tengah. ''Operasi Sapta Marga II'' dipimpin Mayor Agus Prasmono untuk merebut kembali Gorontalo termasuk lapangan udara Tolotio dan untuk memberi dukungan terhadap gerilyawan pimpinan [[Nani Wartabone]] yang berpihak pada pemerintah pusat.<ref>[[#kodam_xiv|KODAM XIV/Hasanuddin]].</ref> ''Operasi Sapta Marga III'' dipimpin oleh Letkol Inf E. J. Mangenda untuk merebut kembali kepulauan [[Kabupaten Kepulauan Sangihe|Sangihe]] dan [[Kabupaten Kepulauan Talaud|Talaud]] di utara Manado.<ref>[[#sutrisminingsih|Sutrisminingsih (2012)]], hlm. 46.</ref> ''Operasi Sapta Marga IV'' dipimpin oleh Letkol Inf Rukmito Hendraningrat untuk merebut kembali basis utama Permesta di Sulawesi Utara.<ref>[[#sutrisminingsih|Sutrisminingsih (2012)]], hlm. 47.</ref>
Baris 170 ⟶ 182:
Setelah upacara puncak pada tanggal 12 Mei 1961, tinggallah Sumual dan pasukan yang masih mengikutinya yang belum menyerahkan diri. Sumual baru menyerahkan diri pada tanggal 20 Oktober 1961.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 149.</ref> Dia memutuskan untuk menyerahkan diri setelah mendengar bahwa Presiden Republik Persatuan Indonesia (RPI) mengumumkan berakhirnya permusuhan dengan Republik Indonesia.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 148.</ref><ref>[[#tempo_08|TEMPO (2008)]].</ref> RPI adalah negara yang dibentuk untuk menggabungkan pemberontakan-pemberontakan di seluruh wilayah Indonesia. Bergabungnya Permesta dalam RPI didukung oleh Sumual, tapi ditentang oleh Kawilarang dan Warouw.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 128.</ref>
<gallery widths="200px" heights="200px">
Berkas:Permesta troops (1961).jpg|Pasukan Permesta menunggu untuk diperiksa.
Berkas:Hidayat, Kawilarang, Somba, and Worang.jpg|Baris muka: Mayjen Hidayat (kiri), Mayjen Alex Kawilarang (kedua dari kiri), Kolonel D. J. Somba (kedua dari kanan), dan Kolonel Hein Victor Worang (kanan).
Berkas:Nasution and Kawilarang (1961).jpg|Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mayjen Alex Kawilarang.
Berkas:Somba and Nasution (1961).jpg|Jenderal Abdul Haris Nasution memberi hormat kepada pasukan Permesta yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
</gallery>
=== Amnesti dan abolisi ===
|