Kesultanan Gowa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 43:
 
Penguasa Gowa berikutnya, [[Sejarah awal Gowa dan Tallo#Masa pemerintahan Tunipalangga (sekitar 1546–1565)|Tunipalangga]] (memerintah sekitar 1546–1565) memperluas pengaruh Gowa melalui serangkaian aksi militer. Ia juga melakukan inovasi dalam bidang teknologi persenjataan dan pertahanan.{{sfnp|Cummings|2007a|pp=33–36, 56–59}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=25–26}}{{sfnp|Bulbeck|1992|p=126}} Pada masa pemerintahannya, Gowa mengalahkan seluruh pesaingnya di pesisir barat dan memperluas pengaruhnya hingga ke wilayah [[Sulawesi Tengah]].{{sfnp|Druce|2009|pp=232–235, 244}}{{sfnp|Bougas|1998|p=92}} Tunipalangga juga menerima orang-orang Melayu dan Nusantara Barat lainnya untuk berniaga di negerinya.{{sfnp|Sutherland|2004|p=79}} Ia bahkan mengadakan perjanjian dengan salah satu pemimpin mereka dan memperbolehkan mereka untuk tinggal secara permanen di Makassar tanpa harus mengikuti hukum adat setempat.{{sfnp|Cummings|2007a|p=34}}{{sfnp|Andaya|1981|p=27}}{{sfnp|Cummings|2014|pp=219–221}} Para pedagang ini kemungkinan juga turut terlibat dalam reformasi ekonomi yang berkontribusi pada kemajuan pesat Gowa sebagai bandar persinggahan utama di Nusantara bagian timur kala itu.{{sfnp|Andaya|2011|pp=114–115}} Tunipalangga juga mengembangkan birokrasi Gowa lebih lanjut dengan menciptakan jabatan ''tumailalang'' (menteri dalam negeri{{sfnp|Gibson|2007|p=45}}) untuk mengambil alih tugas-tugas nondagang ''sabannaraʼ'',{{sfnp|Cummings|2002|p=112}}{{sfnp|Bulbeck|1992|p=107}} serta mengangkat ''tumakkajanangngang'' atau kepala pengrajin yang bertugas mengawasi pekerjaan [[gilda|serikat-serikat pengrajin]] di Makassar.{{sfnp|Gibson|2005|p=45}}{{sfnp|Bulbeck|2006|p=292}}
 
Perluasan pengaruh Gowa di barat memicu respons agresif dari Bone di timur. Perang meletus pada awal 1560-an, dan baru berakhir pada 1565 dengan kekalahan Gowa. [[Tunibatta]], saudara dan penerus Tunipalangga, mati dipenggal oleh musuh.{{sfnp|Cummings|2007a|p=36}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=131–132}}{{sfnp|Andaya|1981|p=29}} Selepas kematian Tunibatta, penguasa Tallo [[Tumamenang ri Makkoayang]] naik sebagai ''[[tumabicara butta]]'' (perdana menteri) pertama Gowa dan mengangkat [[Tunijallo|Tunijalloʼ]], putra Tunibatta, sebagai penguasa Gowa.{{sfnp|Reid|1981}}{{sfnp|Bulbeck|1992|p=102}} Sejak saat itu, penguasa Gowa dan Tallo berbagi posisi dalam memimpin keseluruhan negeri Gowa-Tallo secara bersama-sama.{{sfnp|Cummings|1999|pp=109–110}}{{sfnp|Cummings|2007a|p=86}} Tunijalloʼ mengakhiri peperangan dengan menandatangani Perjanjian Caleppa antara Gowa dan Bone,{{sfnp|Pelras|1996|pp=131–132}}{{sfnp|Andaya|1981|p=29}} yang mempertahankan kedamaian di semenanjung selama kurang lebih enam belas tahun berikutnya.{{sfnp|Druce|2014|p=152}} Selama itu pula, Tunijalloʼ dan Tumamenang ri Makkoayang melanjutkan kebijakan-kebijakan pro-perniagaan penguasa sebelumnya dan mengikat persahabatan dengan negeri-negeri lain di Nusantara.{{sfnp|Cummings|2007a|p=41}}{{sfnp|Cummings|2002|p=22}}{{sfnp|Pelras|1994|p=139}}
<!--
== Gowa dan Tallo dari 1565 hingga 1593 ==
 
=== Perang melawan Bone dan masa pemerintahan Tunijallo serta Tumamenang ri Makkoayang (1565–1582) ===
Pada awal abad ke-16, kerajaan [[Suku Bugis|Bugis]] di [[Kerajaan Bone|Bone]] merupakan sekutu Gowa. Gowa bahkan turut mengirim pasukan untuk membantu Bone dalam perang melawan tetangganya, Wajo.{{sfnp|Andaya|1981|p=23}} Namun, sejak Tunipalangga memulai kampanye penaklukannya, [[La Tenrirawe]], sang ''[[Kesultanan Bone#Daftar Arumpone Bone|Arumpone]]'' atau penguasa Bone, turut berusaha untuk melebarkan kekuasaannya di bagian timur Sulawesi Selatan. Tak menunggu lama, kedua negara bersaing untuk menancapkan pengaruh pada jalur dagang yang menguntungkan di lepas pantai selatan jazirah. Pada tahun 1562, perang meletus ketika La Tenrirawe membujuk tiga vasal Gowa yang baru ditaklukkan untuk bersekutu dengan Bone.{{sfnp|Pelras|1997|pp=131–132}} Tunipalangga spontan bereaksi dengan memaksa Bone untuk mengembalikan ketiga negeri tersebut ke dalam kuasanya. Pertempuran dilanjutkan pada tahun 1563, ketika Bone diserang dari utara oleh pasukan gabungan Gowa dan beberapa negeri tetangga Bone di bawah pimpinan Tunipalangga.{{sfnp|Pelras|1997|pp=131–132}} Namun penyerangan ini berakhir dengan kekalahan Gowa, dan Tunipalangga mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya. Sang ''karaeng'' menginvasi Bone sekali lagi pada 1565, tetapi ia berbalik pulang setelah seminggu, sebelum mangkat akibat penyakit tak lama kemudian.{{sfnp|Andaya|1981|p=29}} Perang melawan Bone dilanjutkan oleh saudara dan penerusnya [[Tunibatta]]. Akan tetapi, pasukan Tunibatta berhasil dicerai-beraikan hanya dalam beberapa hari.{{sfnp|Cummings|2007a|p=36}} Sang ''karaeng'' sendiri tertangkap musuh dan dipenggal.{{sfnp|Andaya|1981|p=29}}
 
Persoalan suksesi kepemimpinan selepas kematian Tunibatta diselesaikan oleh Karaeng Tallo [[Tumamenang ri Makkoayang]]. Ia menjadikan dirinya ''[[tumabicara butta]]'' atau perdana menteri:{{sfnp|Reid|1981}} posisi birokratis Gowa terakhir, dan paling penting, yang dikukuhkan. Seorang ''tumabicara butta'' merupakan penasihat utama takhta Gowa dan bertugas mengawasi pertahanan, diplomasi, dan pendidikan keluarga kerajaan.{{sfnp|Bulbeck|1992|p=102}} Dengan wewenangnya yang baru, Tumamenang ri Makkoayang mendudukkan [[Tunijallo]], putra Tunibatta, sebagai Karaeng Gowa. Untuk pertama kalinya, Karaeng Gowa berbagi kekuasaan dengan Karaeng Tallo.{{sfnp|Reid|1981}} Kronik-kronik Makassar menyebut bahwa kedua ''karaeng'' "memimpin bersama-sama," dan Tumamenang ri Makkoayang tercatat pernah mengatakan bahwa orang-orang Gowa dan Tallo merupakan "satu rakyat, tetapi [dipimpin oleh] dua ''karaeng''. Celakalah mereka yang mengimpikan ketidakrukunan antara Gowa dan Tallo."{{efn|Kutipan asli (dialihaksarakan): "''... seqreji ata narua karaeng nibunoi tumassoqnaya angkanaya sisalai Gowa Talloq.''"{{sfnp|Cummings|2007a|p=98}}}}{{sfnp|Cummings|1999|pp=109–110}}{{sfnp|Cummings|2007a|p=86}} Teladan inilah yang memungkinkan [[Karaeng Matoaya]], putra Tumamenang ri Makkoayang, untuk nantinya menjadi orang paling berpengaruh di Gowa dan Sulawesi Selatan.{{sfnp|Reid|1981}}
 
Pilihan Tumamenang ri Makkoayang untuk mendudukkan Tunijallo di singgasana Karaeng Gowa bisa jadi karena hubungan dekat sang pangeran dengan istana Bone.{{sfnp|Reid|1981}} Tunijallo pernah tinggal di sana selama dua tahun; ia bahkan pernah terjun berperang bagi pihak Bone.{{sfnp|Andaya|1981|p=29}}{{sfnp|Cummings|2007a|p=38}} Tak lama setelah Tunijallo naik takhta, ia, Tumamenang ri Makkoayang, dan La Tenrirawe merundingkan Perjanjian Caleppa, yang mengakhiri peperangan antara Gowa dan Bone. Perjanjian ini mengharuskan Bone untuk memberikan hak bagi orang-orang Gowa di wilayahnya, begitu pula sebaliknya. Batas wilayah Bone dipetakan ulang dengan mencaplok sebagian wilayah Gowa dan Luwu (salah satu sekutu Gowa).{{sfnp|Pelras|1997|pp=131–132}}{{sfnp|Andaya|1981|p=29}} Beberapa di antara wilayah vasal yang dikonsesikan telah menjadi bawahan Gowa sejak satu abad sebelumnya.{{sfnp|Druce|2009|p=30}} Perjanjian ini, walaupun kurang menguntungkan bagi pihak Gowa, mampu memelihara perdamaian di Sulawesi Selatan selama enam belas tahun.{{sfnp|Druce|2014|p=152}}
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Moskee te Gowa op Celebes. TMnr 60013084.jpg|jmpl|Masjid Katangka, salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan, yang didirikan oleh Tunijallo untuk memperoleh dukungan dari masyarakat diaspora niaga Melayu Muslim. Bangunan ini masih berdiri hingga sekarang.{{sfnp|Sila|2015|p=28}}]]
 
Tunijallo dan Tumamenang ri Makkoayang meneruskan kebijakan yang mendorong perniagaan asing di Makassar. Kedua ''karaeng'' mengukuhkan persekutan dengan, dan mengirim utusan ke, negara dan kota di penjuru Nusantara, termasuk [[Kesultanan Johor|Johor]], [[Melaka Portugis|Melaka]], [[Kesultanan Pahang|Pahang]], [[Kerajaan Pattani|Patani]], [[Kesultanan Banjarmasin|Banjarmasin]], [[Kesultanan Mataram|Mataram]], [[Kerajaan Blambangan|Blambangan]], dan [[Kepulauan Maluku|Maluku]].{{sfnp|Cummings|2007a|p=41}}{{sfnp|Cummings|2002|p=22}} Perdagangan tumbuh pesat seiring meleburnya Makassar ke dalam jalur perdagangan Muslim yang disebut sebagai jaringan "[[Campa]]-[[Pattani|Patani]]-[[Aceh]]-[[Dataran Tinggi Minangkabau|Minangkabau]]-[[Banjarmasin]]-[[Kabupaten Demak|Demak]]-[[Giri, Kebomas, Gresik|Giri]]-[[Ternate]]" oleh [[etnolog]] dan sejarawan [[Christian Pelras]].{{sfnp|Pelras|1994|p=139}} Tunijallo pun mendirikan [[Masjid Katangka]] bagi komunitas niaga Melayu Makassar yang mulai berkembang.{{sfnp|Sila|2015|p=28}} Pengaruh Islam di Gowa dan Tallo semakin menguat, walaupun [[dakwah|pendakwah]] Muslim seperti [[Dato ri Bandang]] masih belum mendapat kemajuan berarti.{{sfnp|Pelras|1994|p=131}} Pengagungan kaum ningrat sebagai keturunan dewa-dewi serta besarnya pengaruh kependetaan ''[[bissu]]'' menjadi hambatan utama bagi penyebaran agama Islam.{{sfnp|Pelras|1994|pp=142–144}} Pada tahun 1580 Sultan [[Baabullah dari Ternate|Baabullah]] dari [[Kesultanan Ternate|Ternate]] menawarkan aliansi dengan syarat Tunijallo mau masuk Islam, tetapi penawaran ini ditolak, kemungkinan untuk menghindari pengaruh keagamaan Ternate atas Sulawesi Selatan.{{sfnp|Andaya|1981|p=30}} Empat misionaris [[Fransiskan]] dikirim ke Gowa pada 1580-an, tetapi misi mereka juga tidak bertahan lama.{{sfnp|Pelras|1994|p=141}} Biarpun demikian, seiring berjalannya waktu, agama-agama asing terus menumbuhkan pengaruhnya di kalangan bangsawan Gowa, yang berujung pada pengislaman kerajaan pada dekade pertama abad ke-17.{{sfnp|Pelras|1994|p=138}} Pembaharuan internal lain yang dilakukan semasa pemerintahan Tunijallo termasuk pengembangan catatan istana, pengenalan industri pembuatan [[keris]], dan penguatan militer seperti pemasangan meriam tambahan di benteng-benteng.{{sfnp|Reid|2000|p=438}}{{sfnp|Cummings|2002|pp=26–27}}
 
=== Perang melawan ''Tellumpoccoe'' dan masa pemerintahan Tunipasulu (1582–1593) ===
[[Berkas:Gowa-Tallo vs Tellumpocco 1590 id.png|jmpl|kiri|Peta geopolitik Sulawesi Selatan sekitar tahun 1590, yang menggambarkan terbelahnya semenanjung antara Gowa-Tallo dan persekutuan ''Tellumpoccoe''.]]
 
Bone merasa terancam oleh pengaruh Gowa yang kian berkembang. Sementara, perlakuan semena-mena Gowa terhadap negeri-negeri Bugis yang menjadi vasalnya, Soppeng and Wajo, membuat mereka merasa kehilangan kedaulatan.{{sfnp|Pelras|19971996|p=133}} Maka, pada tahun 1582, Bone, Wajo, dan Soppeng menandatangani Perjanjian Timurung yang menetapkan hubungan ketiga negara sebagai persekutuan antarsaudara, dengan Bone sebagai saudara tuanya.{{sfnp|Andaya|1981|p=30}} Aliansi pimpinan Bone ini disebut [[Persekutuan Tellumpoccoe|''Tellumpoccoe'']] (secara harfiah bermakna "Tiga Puncak" atau "Tiga Kekuatan"), yang bertujuan mengukuhkan kembali kedaulatan kerajaan-kerajaan Bugis ini dan menghentikan perluasan wilayah Gowa.{{sfnp|Andaya|1981|p=30}}{{sfnp|Pelras|19971996|p=133}}{{sfnp|Druce|2009|p=246}} Merasa diprovokasi, Gowa mengirimkan serentetan serangan ke timur (beberapa di antaranya dibantu oleh Luwu, sebuah negeri Bugis lainnya{{sfnp|Pelras|19971996|p=133}}), dimulai dengan penyerbuan Wajo pada 1583 yang berhasil dihalau oleh pasukan gabungan ''Tellumpoccoe''.{{sfnp|Andaya|1981|p=30}} Kampanye militer terhadap Bone pada tahun 1585 dan 1588 juga sama gagalnya.{{sfnp|Andaya|1981|p=30}} Pada saat yang sama, dalam perlawanan mereka terhadap Gowa, ''Tellumpoccoe'' berusaha merintis koalisi seluruh Bugis dengan mempertalikan dinasti mereka pada negeri-negeri Bugis di Ajatappareng melalui pernikahan.{{sfnp|Druce|2009|p=246}} Tunijallo memutuskan untuk menyerang Wajo sekali lagi pada 1590, tetapi ia mati [[amuk|diamuk]] seorang bawahannya ketika memimpin armada Gowa di lepas pantai barat Sulawesi Selatan.{{sfnp|Cummings|2007a|p=38}}{{sfnp|Pelras|19971996|p=133}} Pada tahun 1591, Perjanjian Caleppa diperbarui untuk mengembalikan kedamaian di semenanjung.{{sfnp|Andaya|1981|p=30}} Kejadian ini juga menandai kesuksesan persekutuan ''Tellumpoccoe'' dalam menjinakkan ambisi Gowa.
 
Pada kurun waktu yang sama, perubahan-perubahan besar terjadi dalam panggung perpolitikan tanah Makassar. Tumamenang ri Makkoayang mangkat pada 1577{{sfnp|Bulbeck|1992|p=30}} dan digantikan oleh putrinya Karaeng Baine, yang juga merupakan istri Tunijallo.{{sfnp|Cummings|2007a|p=87}} ''Kronik Tallo'' menyebutkan bahwa Tunijallo dan Karaeng Baine memimpin Gowa dan Tallo secara bersama-sama,{{sfnp|Cummings|2007a|p=87}} walaupun tampaknya Karaeng Baine lebih banyak menuruti kemauan suaminya{{sfnp|Cummings|2014|p=217}} dan tidak punya pencapaian bermakna yang tercatat selain inovasi dalam pembuatan hasta karya.{{sfnp|Bulbeck|1992|p=103}} Setelah Tunijallo dibunuh pada tahun 1590, [[Karaeng Matoaya]], putra Tumamenang ri Makkoayang dan saudara tiri Karaeng Baine{{sfnp|Cummings|2007a|p=94}} yang berusia 18 tahun, dilantik sebagai ''tumabicara butta'' yang baru. Karaeng Matoaya lalu menunjuk [[Tunipasulu]], putra Tunijallo yang masih berusia 15 tahun, sebagai Karaeng Gowa.{{sfnp|Bulbeck|1992|p=103}} Namun, Tunipasulu juga mengklaim takhta Tallo, walaupun dirinya sudah menjadi penguasa Gowa.{{efn|Klaim Tunipasulu didasarkan pada statusnya sebagai putra dari penguasa Gowa, Tunijallo, dan penguasa Tallo, Karaeng Baine. Meskipun pemerintahannya di Gowa diakui, usahanya untuk mengklaim takhta Tallo dianggap tidak sah dan hanya disebut sekilas di dalam ''Kronik Tallo''.{{sfnp|Cummings|2007a|p=94}}}}{{sfnp|Cummings|2005b}} Ia juga sempat mengambil alih secara paksa takhta negara vasal Maros setelah kematian penguasanya.{{sfnp|Cummings|2000}} Kejadian ini memperluas wilayah kekuasaan langsung raja Gowa hingga mencapai skala terbesar dalam sejarah.{{sfnp|Bulbeck|2006|p=306}} Merasa percaya diri dengan posisinya, Tunipasulu berusaha memusatkan kekuatan kepada dirinya seorang.{{sfnp|Cummings|2005b}}{{sfnp|Cummings|1999|pp=110–111}}{{sfnp|Gibson|2005|p=154}} Ia memindahkan takhta kerajaan ke Somba Opu{{sfnp|Gibson|2005|p=154}} serta menyita properti, mengasingkan, bahkan mengeksekusi kalangan aristokrat demi melemahkan perlawanan mereka terhadap kuasa prerogatifnya.{{sfnp|Reid|1981}}{{sfnp|Cummings|2005b}} Banyak kalangan bangsawan dan komunitas Melayu yang kabur dari Makassar karena takut akan pemerintahan Tunipasulu yang semena-mena.{{sfnp|Cummings|2005b}}