Iwan Dwiprahasto: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 33:
''Medication error'' dapat terjadi di berbagai tahapan, dari ''prescribing'' (kesalahan peresepan)'', transcribing'' (kesalahan menerjemahkan resep)'', dispensing'' (kesalahan menyiapkan dan meracik obat)'','' dan ''administering'' (kesalahan penyerahan obat kepada pasien).<ref name=":6" /> Permasalahan ini disinggung saat Iwan Dwiprahasto diresmikan menjadi Guru Besar UGM. Iwan mengkiritik soal tulisan tangan sebagai tradisi dalam peresepan. Ia berpendapat bahwa tulisan yang sulit dibaca seolah bagian dari sakralisasi peresepan. Resep yang sulit dibaca akan membuat [[apoteker]] menduga dan menebak berdasarkan kapasitasnya sendiri sehingga selalu memiliki risiko kekeliruan membacanya (permasalahan ''transcribing''). Contohnya adalah Losec® yang berisi obat Omerprazole (untuk gangguan lambung) sering keliru dibaca sebagai Lasix® yang berisi Furosemida (diuretika). Juga, Sotatic® yang berisi Metoclopramide (obat antimuntah) sering keliru dibaca menjadi Cytotec® (berisi Misoprostol). Obat tersebut dapat menyebabkan [[Gugur kandungan|keguguran]] jika diberikan kepada ibu hamil.<ref name=":2" />
Untuk itulah Iwan Dwiprahasto dan dua peneliti lain melakukan riset tentang pelaksanaan resep elektronik di unit rawat jalan dalam meminimalkan risiko tahapan ''prescribing'' dan ''transcribing.'' Iwan dkk. meneliti bagaimana pelaksanaan tersebut berpengaruh pada penerimaan dokter (secara kualitatif) dan pemangkasan waktu tunggu resep (quasi eksperimen). Sementara, dalam penelitian sebelumnya, sebanyak 62% pasien di empat RS umum di Yogyakarta mengaku sulit membaca resep miliknya. Kesulitan ini juga dialami oleh apoteker (25%) dan asisten apoteker (40%).
Dalam tesis buatannya pada 1991 yang dijadikan landasan analisa langkah-langkah pencegahan ''medication error,'' Iwan Dwiprahasto menemukan bahwa pemberian [[Antibiotik|antibiotika]] pada [[infeksi saluran pernapasan akut]] (ISPA) di layanan kesehatan swasta Yogyakarta tidak tepat. Angkanya mencapai 82%, di mana tidak berbeda antara [[dokter umum]] dan [[Dokter spesialis|spesialis]]. Pencegahan ''medication error,'' menurut Iwan, dapat dilakukan dengan memperbaiki [[Tata kelola perusahaan|tata kelola]] layanan rumah sakit, yang bermuara pada pengelolaan medik pasien secara terpadu.<ref>{{Cite journal|last=Dwiprahasto|first=Iwan|year=2004|title=Medical Error di Rumah Sakit dan Upaya untuk Meminimlkan Risiko|url=journal.ugm.ac.id|journal=Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan|volume=7|issue=01|pages=13-17|doi=}}</ref> Perlu diketahui sebelumnya bahwa sebagian besar ISPA umum disebabkan oleh [[virus]] (salesma, [[Influenza|flu]], [[bronkitis]], dan [[Radang paru-paru|pneumonia]] lainnya) dan dapat sembuh sendiri tanpa [[terapi medikamentosa]] (''self limiting disease''). Antibiotik hanya diberikan kepada ISPA yang disebabkan oleh bakteri, seperti kasus akut untuk [[rhinosinusitis]] dan bronkitis, serta bakteri penyebab [[otitis media]] dan [[faringitis]]/[[Radang amandel|tonsilitis]]. Konsumsi antibiotik yang berlebihan justru dapat menyebabkan resistensi antibiotik.<ref name=":4">{{Cite journal|last=Dwiprahasto|first=Iwan|year=2006|title=Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas melalui Pelatihan Berjenjang pada Dokter dan Perawat|url=https://journal.ugm.ac.id/jmpk/article/viewFile/2740/2462|journal=Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Universitas Gajah Mada|volume=09|issue=02|pages=94-101|doi=}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.halodoc.com/tidak-semua-infeksi-memerlukan-pengobatan-antibiotik|title=Tidak Semua Infeksi Memerlukan Pengobatan Antibiotik|last=Redaksi Halodoc|first=|date=13-03-2019|website=Halodoc|access-date=18-06-2020}}</ref>
|