Cinta diri: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Dibuat dengan menerjemahkan halaman "Self-love" |
clean up |
||
Baris 1:
'''Cinta diri''' didefinisikan sebagai "cinta pada diri sendiri" atau "menghargai kebahagiaan atau keuntungan diri sendiri" <ref>{{Cite encyclopedia|publisher=Merriam-Webster|access-date=24 March 2020}}</ref> keduanya telah dikonseptualisasikan sebagai kebutuhan dasar manusia <ref>[[Maslow's hierarchy of needs]]</ref> dan sebagai cacat moral, mirip dengan kesombongan dan keegoisan,
▲'''Cinta diri''' didefinisikan sebagai "cinta pada diri sendiri" atau "menghargai kebahagiaan atau keuntungan diri sendiri" <ref>{{Cite encyclopedia|publisher=Merriam-Webster|access-date=24 March 2020}}</ref> keduanya telah dikonseptualisasikan sebagai kebutuhan dasar manusia <ref>[[Maslow's hierarchy of needs]]</ref> dan sebagai cacat moral, mirip dengan kesombongan dan keegoisan, <ref>B. Kirkpatrick (ed.), ''Roget's Thesaurus'' (1998), pp. 592 and 639</ref> memiliki kesamaan arti dengan cinta pada diri sendiri, kesombongan, kesombongan, egoisme, dan lain-lain. Namun, selama berabad-abad mencinai diri telah mengadopsi konotasi yang lebih positif melalui [[Pawai kebanggaan|parade kebanggaan]], Gerakan Menghormati Diri Sendiri, protes cinta diri, era [[hippie]], [[Pembebasan perempuan|gerakan feminis]] [[Zaman Baru]] serta peningkatan kesadaran [[Kesehatan jiwa|kesehatan mental]] yang mempromosikan mencintai diri sebagai intrinsik untuk membantu diri sendiri dan mendukung kelompok yang bekerja untuk mencegah penyalahgunaan zat dan bunuh diri.
[[Lao Zi|Laozi]] ( {{circa}} 601–530 SM) dan [[Taoisme]] mempercayai bahwa menjadi orang yang sepenuhnya alami ( ziran ) sangat penting.
Baris 12 ⟶ 11:
[[Kong Hu Cu (filsuf)|Konfusius]] (551-479 SM) dan [[Agama Konghucu|Konfusianisme]] menghargai masyarakat daripada diri sendiri.
Yang Zhu (440–360 SM) dan Yangisme memandang ''wei wo'', atau "segalanya untuk diriku sendiri", sebagai satu-satunya kebajikan yang diperlukan untuk pengembangan diri.
Pikiran [[Aristoteles]] (384-322 SM) tentang cinta-diri (filautia) dicatat dalam [[Etika Nikomakea|Etika Nicomachean]] dan Etika Eudemia . Nicomachean Ethics Book 9, Bab 8 berfokus padanya secara khusus. Dalam bacaan ini, Aristoteles berpendapat bahwa orang yang mencintai diri sendiri untuk mencapai keuntungan pribadi yang tidak beralasan itu buruk, tetapi mereka yang mencintai diri sendiri untuk mencapai prinsip-prinsip yang bajik adalah jenis kebaikan terbaik. Dia mengatakan bahwa jenis cinta diri yang pertama jauh lebih umum daripada yang terakhir.
Baris 18 ⟶ 17:
[[Cicero]] (106-43 SM) menganggap mereka yang ''sui amantes sine rivali'' (pecinta diri sendiri tanpa saingan) ditakdirkan untuk berakhir dengan kegagalan.
[[Yesus]] ( {{circa}} 4 SM-30 M) memprioritaskan cinta kasih kepada Tuhan, dan memerintahkan cinta kasih kepada orang lain sebagai diri sendiri.
Namun Elaine Pagels, berdasarkan beasiswa dari [[perpustakaan Nag Hammadi]] dan Perjanjian Baru Yunani, berpendapat bahwa [[Yesus]] mengajarkan bahwa cinta-diri (filautia) adalah intrinsik bagi sesama, atau cinta persaudaraan (filia) dan hidup sesuai dengan hukum cinta yang paling tinggi (agapē).
Biksu Kristen Evagrius Ponticus (345–399) percaya bahwa cinta diri yang berlebihan (hyperēphania - kesombongan ) adalah salah satu dari delapan [[dosa]] utama. Daftar dosanya kemudian sedikit diadaptasi oleh [[Paus Gregorius I]] sebagai " [[Tujuh dosa pokok|tujuh dosa mematikan]] ". Daftar dosa ini kemudian menjadi bagian penting dari doktrin gereja barat. Di bawah sistem ini, kesombongan adalah dosa asal dan paling mematikan. Posisi ini diungkapkan dengan kuat dalam fiksi oleh [[Divina Commedia|The Divine Comedy]] karya [[Dante Alighieri|Dante]] .
[[Agustinus dari Hippo|Augustine]] (354–430) - dengan teologinya tentang kejahatan sebagai sekadar penyimpangan kebaikan - menganggap bahwa dosa kesombongan hanyalah penyimpangan dari tingkat cinta-diri yang normal dan lebih sederhana.
[[Sikh]] percaya bahwa Lima Pencuri adalah kelemahan inti manusia yang mencuri akal sehat bawaan dari orang-orang. Keinginan egois ini menyebabkan masalah besar.
Pada 1612, [[Francis Bacon]] mengutuk pencinta-diri yang ekstrem, yang akan membakar rumah mereka sendiri, hanya untuk membakar sebutir telur.
Pada tahun 1660-an [[Baruch de Spinoza|Baruch Spinoza]] menulis dalam bukunya Etika bahwa pemeliharaan diri adalah kebajikan tertinggi.
[[Jean-Jacques Rousseau]] (1712-1778) percaya ada dua jenis cinta diri. Salah satunya adalah " amour de soi " (bahasa Perancis untuk "cinta diri") yang merupakan dorongan untuk mempertahankan diri. Rousseau menganggap drive ini sebagai akar dari semua drive manusia. Yang lainnya adalah " amour-propre " (sering juga diterjemahkan sebagai "cinta-diri", tetapi yang juga berarti "kebanggaan"), yang mengacu pada harga diri yang dihasilkan dari dihargai oleh orang lain.
Konsep " egoisme etis " diperkenalkan oleh filsuf [[Henry Sidgwick]] dalam bukunya ''The Methods of Ethics'', yang ditulis pada tahun 1874. Sidgwick membandingkan egoisme dengan filsafat [[utilitarianisme]], menulis bahwa sementara utilitarianisme berusaha memaksimalkan kesenangan secara keseluruhan, egoisme hanya berfokus pada memaksimalkan kesenangan individu.
Pada tahun 1890, [[psikolog]] [[William James]] memeriksa konsep [[harga diri]] dalam bukunya yang berpengaruh, Principles of Psychology . Robert H. Wozniak kemudian menulis bahwa teori cinta-diri William James dalam buku ini diukur dalam "... tiga aspek diri yang berbeda tetapi saling terkait: diri material (semua aspek keberadaan materi di mana kita merasakan perasaan yang kuat tentang kepemilikan, tubuh kita, keluarga kita, harta benda kita), diri sosial (hubungan sosial perasaan kita), dan diri rohani (perasaan kita tentang subjektivitas kita sendiri) ".
Pada tahun 1956, [[psikolog]] dan [[Filsafat sosial|filsuf sosial]] [[Erich Fromm]] mengusulkan bahwa mencintai diri sendiri berbeda dari bersikap [[wiktionary:arrogant|sombong]], sombong, atau [[Egosentrisme|egosentris]], artinya alih-alih memedulikan diri sendiri dan bertanggung jawab atas diri sendiri. Fromm mengusulkan evaluasi ulang cinta-diri dalam arti yang lebih positif, dengan alasan bahwa untuk dapat benar-benar mencintai orang lain, seseorang pertama-tama perlu mencintai diri sendiri dengan cara menghargai diri sendiri dan mengenal diri sendiri (misalnya bersikap realistis dan jujur) tentang kekuatan dan kelemahan seseorang).
Pada 1960-an, [[Erik Erikson|Erik H. Erikson]] juga menulis tentang apresiasi pasca-narsis terhadap nilai ego,
Cinta diri atau harga diri didefinisikan pada tahun 2003 oleh Aiden Gregg dan Constantine Sedikides sebagai "merujuk pada penilaian subyektif seseorang terhadap dirinya sendiri secara intrinsik positif atau negatif".
== Kesehatan mental ==
Peran cinta diri dalam [[Kesehatan jiwa|kesehatan mental]] pertama kali digambarkan oleh William Sweetser (1797-1875) sebagai pemeliharaan "kebersihan mental". Analisisnya, yang diperlihatkan dalam esainya "Temperance Society" yang diterbitkan 26 Agustus 1830, mengklaim bahwa pemeliharaan rutin [[Kesehatan jiwa|kesehatan mental]] menciptakan dampak positif pada kesejahteraan individu dan masyarakat.
Kurangnya cinta diri meningkatkan risiko [[bunuh diri]] menurut American Association of Suicidology,
== Promosi ==
Baris 55 ⟶ 54:
Kondisi kehidupan yang memburuk ini menyebabkan protes di seluruh dunia yang terutama berfokus pada mengakhiri perang, tetapi yang kedua mempromosikan lingkungan yang positif dibantu oleh konsep dasar [[Psikologi massa|psikologi kerumunan]] . Komunitas pasca-perang ini dibiarkan sangat rentan terhadap persuasi tetapi mulai mendorong kebebasan, keharmonisan, dan kemungkinan masa depan yang lebih cerah dan tanpa kekerasan. Protes ini terjadi di hampir semua benua dan termasuk negara-negara seperti Amerika Serikat (terutama New York City dan California), Inggris dan Australia. Dedikasi, ketekunan, dan empati mereka terhadap kehidupan manusia mendefinisikan generasi ini sebagai pendukung perdamaian dan jiwa-jiwa yang bebas.
Cinta-diri juga telah digunakan sebagai alat di komunitas Color di Amerika Serikat. Dalam gerakan Black-Power tahun 1970-an, slogan "Hitam itu indah!" menjadi cara bagi orang Afrika-Amerika untuk melepaskan mantel dari norma kecantikan yang didominasi kulit putih. Estetika budaya dominan sebelum tahun 1970-an adalah untuk meluruskan rambut Hitam dengan perm atau sisir panas. Selama gerakan Black Power, "afro" atau "mondar-mandir" menjadi gaya rambut populer. Itu melibatkan membiarkan Rambut Hitam tumbuh secara alami, tanpa perawatan kimia, untuk merangkul dan memamerkan tekstur rambut orang-orang Kulit Hitam yang sangat keriting. Rambut disisir keluar menggunakan pick. Tujuannya adalah untuk menyebabkan rambut membentuk halo di sekitar kepala, memamerkan Blackness dari pemakainya. Bentuk cinta-diri dan pemberdayaan selama tahun 70-an adalah cara bagi orang Afrika-Amerika untuk memerangi stigma terhadap tekstur rambut alami mereka, yang, dan masih, sebagian besar dipandang sebagai tidak profesional di tempat kerja modern.
Baris 66 ⟶ 64:
* Kampanye Dove untuk Kecantikan Sejati
* Slut Walk
* Menulis Cinta di Lengannya
== Referensi sastra ==
Beck, Bhar, Brown & Ghahramanlou - Holloway (2008). "Harga Diri dan Ide Bunuh Diri pada Rawat Jalan Psikiatri". Perilaku Bunuh Diri dan Mengancam Kehidupan 38.
Malvolio digambarkan sebagai "muak dengan cinta-diri ... nafsu makan yang terputus-putus" di ''[[Twelfth Night, or What You Will|Twelfth Night]]'' (Iv85-6), kurang memiliki perspektif diri.
Cinta diri atau harga diri kemudian didefinisikan oleh AP Gregg dan C. Sedikides pada tahun 2003.
Asal-usul Cinta-diri oleh Willy Zayas pada tahun 2019.
== Lihat juga ==
Baris 106 ⟶ 104:
== Referensi ==
{{Reflist}}
[[Kategori:Kehidupan pribadi]]
[[Kategori:Cinta]]
|