Iwan Dwiprahasto: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 50:
Dalam pidato pengangkatan sebagai Guru Besar, Iwan Dwiprahasto menyampaikan permasalahan terbatasnya informasi bukti ilmiah terkini tentang [[obat]] dan [[farmakoterapi]] di kalangan tenaga kesehatan di Indonesia. Pidato tersebut berjudul, "Farmakoterapi Berbasis Bukti: Antara Teori dan Kenyataan". Meski akses internet terbuka luas, namun kendala biaya, bahasa, dan fasilitas perangkat informasi teknologi dapat teratasi hingga 10-15 tahun ke depan. Tenaga kesehatan di daerah terpencil dikhawatirkan menjadi salah satu pihak yang terdampak. Kelemahan tersebut justru dimanfaatkan oleh duta-duta farmasi kepada para dokter, di mana informasi mereka cenderung berpihak pada kepentingan komersial.<ref name=":2" />
 
Ia merincikan permasalahan itu, "Dokter meresepkan obat-obat baru tanpa terlebih dahulu memahami sifat obat secara rinci apalagi mempelajari hasil-hasil uji klinik yang menyertainya dari waktu ke waktu. Jangankan mengetahui farmakologi obat dan profil farmakokinetika-nya, isi kandungan obat pun banyak yang tidak mengetahui. Nama dagang ternyata lebih enak untuk dilafal, sedangkan isi obat biarlah para farmakolog yang menghapal. Demikian mungkin yang terjadi (...) Obat ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi memberikan efek terapi yang diharapkan, tetapi di sisi lain justru menimbulkan risiko yang mencelakakan. Sayangnya, bukti ilmiah mengenai efek obat yang merugikan sering datang sangat terlambat, di saat korban telah berjatuhan. Itu pun kadang tidak membuat pemegang kebijakan serta-merta menghentikan peredaran suatu obat. Pemegang kebijakan obat seolah tidak berdaya menghadapi hegemoni industri farmasi yang secara intens memberikan tekanan politik, psikologis, dan tidak jarang intimidatif dalam melanggengkan produk yang berbuah bencana."<ref name=":7">{{Cite journal|last=Dwiprahasto|first=Iwan|date=2008|title=Farmokoterapi berbasis bukti: antara teori dan kenyataan|url=http://repository.ugm.ac.id/digitasi/index.php?module=cari_hasil_full&idbuku=1089|publisher=Universitas Gadjah Mada}}</ref>
 
Terbatasnya informasi bukti ilmiah terkini lantas berkonsekuensi dengan praktik ''off-label use of drug'' atau penggunaan obat di luar indikasi yang direkomendasikan. Di Indonesia sendiri, badan yang berwenang atas peredaran makanan dan obat di masyarakat adalah [[Badan Pengawas Obat dan Makanan|Badan POM]]. Praktik ''off-label'' banyak terjadi di apotek-apotek. Menggeruskan tablet untuk dijadikan satu sediaan puyer atau sirup adalah bentuk ''off-label.'' Obat-obat yang kerap digunakan secara ''off-label'' antara lain antikonsulvan, antibiotika, obat [[Influenza|flu]] dan [[batuk]], dan obat-obatan [[kardiovaskuler]]. Misinformasi juga dilanggengkan melalui penyimpangan pembuatan resep yang ditirukan berulang-ulang.<ref name=":2" />

Iwan, bersama tiga peneliti lain, membahas bagaimana penggunaan ''off-label'' atas resep antikonsulvan terjadi pada ⅓ pasien rumah sakit swasta di Jawa, terutama pasien dengan gangguan saraf dan kejiwaan. Meskipun belum ada bukti ilmiah adanya efek samping yang berarti, kewaspadaan terhadap praktik ini dianggap perlu.<ref>{{Cite journal|last=Rahajeng|first=Bangunawati|last2=Ikawati|first2=Zullie|last3=Andayani|first3=Tri Murti|last4=Dwiprahasto|first4=Iwan|date=2017-07-01|year=|title=A Retrospective Study: The Off-Label Use of Anticonvulstants at a Private Hospital in Indonesia|url=https://innovareacademics.in/journals/index.php/ijpps/article/view/25388|journal=International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences|volume=10|issue=5|pages=|doi=http://dx.doi.org/10.22159/ijpps.2018v10i5.25388|doi-broken-date=|issn=0975-1491}}</ref> Iwan, saat berpidato, juga menyayangkan bagaimana vitamin menjadi bagian wajib dari peresepan. Hingga saat ini belum ada bukti bahwa pemberian vitamin mampu mencegah terjadinya penyakit maupun mempercepat penyembuhan orang sakit. Contohnya, hasil ''systematic review'' atas penggunaan vitamin C atau vitamin E tidak berkorelasi dengan pencegahan apalagi penyembuhan kanker.<ref name=":7" />
 
Aturan pemakaian obat dalam resep juga dikriitknya. Aturan "tiga kali sehari" seharusnya mulai ditinggalkan dan diganti menjadi "dikonsumsi tiap 8 jam". Begitu juga dengan obat untuk "dua kali sehari", seharusnya ditulis menjadi "setiap 12 jam". Iwan berpesan agar para profesional kesehatan selalu berpacu pada bukti-bukti ilmiah terkini demi menjaga kesehatan masyarakat.<ref name=":2" /> Isi pidato tersebut juga disampaikan oleh Rektor UGM, yaitu [[Prof. Panut Mulyana]] kepada wartawan saat meliput kepulangan Iwan Dwiprahasto.<ref name=":0" />