Undang-Undang Pornografi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
sebuah ancang-ancang untuk diskriminasi
k Suntingan 61.94.124.247 (bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh Ciko
Baris 52:
 
[[Berkas:Big6042201.jpg|frame|Aksi Budaya tolak RUU APP]]
RUU PORNOGRAFI:
SEBUAH ANCANG-ANCANG UNTUK DISKRIMINASI TERHADAP GENDER, AGAMA (MINORITAS) DAN BUDAYA
Oleh : Winner Jhonshon, S.H.*
 
Pendahuluan
 
Pornografi, memang ternyata telah menjadi masalah bagi dunia, bukan hanya Indonesia tapi juga diberbagai negara, baik itu negara yang bercirikan ‘timur’ yang memiliki kekhasan dengan sopan santun dan nilai-nilai yang masih terjaga berdasarkan adat istiadat setempat, maupun negara yang bercirikan ‘barat’, yang digambarkan hidup dalam kebebasan dan individualisme, yang percaya bahwa sepanjang sesuatu hal tidak merugikan orang lain, maka hal tersebut boleh-boleh saja berjalan dan dilakukan (believe in private rights). Amandemen pertama Konstitusi Amerika, menganut kebebasan individual ini (Bernard Schwartz : 1990 : 130-157)). Pemikiran ini didasari atas logika hukum Kantian, yaitu bahwa kebebasan seseorang hanya dapat dibatasi oleh kebebasan orang lain. Jika perilaku seseorang melukai kebebasan orang lain, maka hal tersebut merupakan pelanggaran hukum (bandingkan Theo Huijbers : 1982 : 98). Hal ini juga yang diadopsi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Disana dicantumkan bahwa manusia memang terlahir secara bebas, dan hidup dalam kebebasan (art. 1-3). Dalam konteks penghargaan terhadap individu, maka tentunya hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan individu, jika kita kaitkan dengan deklarasi tersebut, mestilah tidak dapat dikenakan sanksi secara hukum, sepanjang perbuatannya itu tidak merugikan atau mengganggu kebebasan dan hak-hak asasi orang lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama terlihat di negara-negara Barat semacam Amerika – yang selama ini menjadi acuan bagi demokrasi dan persamaan di muka hukum - , ternyata mengenai pornografi, ada hal yang agak berbeda. Di Amerika, bukan hanya pornografi, tetapi juga kecabulan (obscenity) telah menjadi objek pelanggaran hukum. Pada tahun 1957, dalam sebuah perkara yang kemudian menjadi dasar bagi berlakunya aturan tentang larangan pornografi dan kecabulan, Hakim William Brennan menyatakan bahwa kecabulan merupakan sebuah bentuk ‘pembicaraan rendahan’ (lower value speech) yang tidak dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi Amerika (Jethro K. Lieberman : 1992 : 354). Dalam pengertian ini, maka ada batasan yang ditambahkan dalam istilah hukum di Amerika selain pornografi, yaitu kecabulan (yang tidak kita temui di rancangan UU Pornografi, tetapi secara brutal ditempelkan dalam pengertian pornografi). Perlu diketahui, bahwa dengan adanya klausul obscenity ini, maka yang dibatasi di Amerika adalah bukan hanya pornografi (porno-graphy) yang konteksnya lebih kepada gambar atau visualisasi, namun juga kecabulan yang audibel atau hanya bermuatan audio (suara). Hal ini menunjukkan bahwa ada bagian spesifik yang juga dilarang, dan terpisah dari pengertian pornografi. Dalam fase selanjutnya pada perkembangan hukum di Amerika, pornografi dan kecabulan telah menjadi bagian yang turut meramaikan khasanah persengketaan di Amerika. Pada tahun 1960, Hakim Burger (Warren Burger) mulai memberikan beberapa ukuran untuk sebuah perbuatan (action) dikategorikan sebagai kecabulan atau pornografi yaitu bahwa sesuatu dapat dikategorikan sebagai pornografi atau kecabulan jika tema dominan dari sebuah tindakan atau karya tersebut secara kumulatif (Lieberman, op.cit. : 355) :
1. Mendorong secara nyata berahi dan keinginan untuk melakukan hubungan sex ;
2. Secara nyata bersifat ofensif terhadap nilai-nilai didalam masyarakat (community) dan menghina standar dalam masyarakat menyangkut gambaran mengenai materi seksual ;
3. mengakibatkan hilangnya sama sekali nilai-nilai sosial dalam masyarakat ;
Perlu dicatat, bahwa yang menjadi titik penilaiannya adalah ‘tema dominan’. Pengertiannya adalah misalnya Jika dalam sebuah alur cerita film misalnya ada adegan yang memuat hal-hal yang berbau sex, maka sepanjang ceritanya memang bukan ditujukan untuk itu dan adegan tersebut hanya untuk menggambarkan keadaan sebenarnya tanpa unsur yang vulgar (atau di dalam konteks Amerika, dikenal dengan nama hardcore sex material), maka hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah penayangan pornografi. Jadi, memang ada batasan mengenai apa yang dimaksud dengan pornografi dan kecabulan. Dalam peraturan mengenai pornografi, Amerika menerapkan lebih banyak aturan yang membatasi materi seksualitas, baik dari content (isi) maupun juga distribusinya, yang ditujukan untuk melindungi anak-anak dibawah umur. Berbagai peraturan kemudian muncul sebagai alat bagi perlindungan anak-anak dari pornografi. Aturan-aturan tersebut terpisah dari aturan-aturan yang mengatur pornografi itu sendiri.
Sesungguhnya muatan yang bersifat materi seksual, dalam konteks-konteks tertentu memang sudah menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia. Patung-patung Yunani yang menggambarkan dewa-dewi, sudah menggambarkan materi seksualitas. Di Mesir dan tanah Arab, gambaran dewa-dewi jaman awal Mesopotamia dan juga tarian perut, dikenal sebagai bagian dari kekayaan budaya. Demikian juga simbol-simbol yang kita kenal dalam cerita India, ada juga yang menunjukkan bagian-bagian dari tubuh yang terbuka. Pentas-pentas olahraga dan juga pentas-pentas musik untuk perdamaian, banyak juga yang memiliki nilai sensualitas. Lukisan-lukisan para pelukis ternama juga banyak yang menampilkan materi seksualitas. Bukan hanya itu, beberapa adegan dan sikap dalam berpakaian di berbagai belahan dunia juga memunculkan bagian-bagian terbuka dari tubuh, misal di Indonesia, adanya tarian-tarian yang menonjolkan liukan tubuh wanita, yang menonjolkan bagian-bagian sensual dari wanita, bahkan dalam pernikahan di berbagai amsyarakat adat, menunjukkan bahwa memang hal-hal yang menunjukkan bagian tubuh yang terbuka merupakan bagian dari budaya Indonesia. Dengan demikian maka materi seksualitas memang telah menjadi bagian dari kehidupan dunia dan juga kita di Indonesia.
 
Kontroversi dalam RUU Pornografi
Rancangan undang-undang tentang pornografi, yang rencananya akan disahkan pada tanggal 23 September 2008 (atau, diundur) ini, nampaknya juga menyiratkan secara jelas keinginan untuk melakukan pembatasan terhadap ekspresi sensual dan materi-materi yang bersifat pornografi. Dalam salah satu klausul rancangan undang-undang ini mencantumkan dengan jelas salah satu landasan moral bagi undang-undang pornografi ini, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Jadi kita sekarang telah melihat bahwa secara ide undang-undang ini memang sangat diperlukan. Dalam tujuan sebagaimana tercantum pada Pasal 3 RUU ini, terlihat pula tujuan yang mulia, yaitu selain mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks, terdapat juga kepentingan untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak dan wanita (dari pornografi). Namun demikian, ternyata dalam rumusan-rumusan Pasal yang lain, kita akan menemukan kontradiksi, kesesatan berpikir dan berdefinisi, celah bagi ketidakpastian hukum maupun prosedur dan ketidakonsistenan dalam ayat-ayat rancangan undang-undang ini, salah satu kesesatan adalah muncul dalam pengertian mengenai pornografi, yang tidak mengikuti kaidah pengertian yang benar sebagaimana tergambar pada Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi:
 
” Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”
 
Dalam rumusan ini, ada beberapa hal yang perlu dikritisi, yaitu pengertian sebagai berikut :
1. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan.......................
 
Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa para pembuat undang-undang membuat suatu pengertian yang asal-asalan. Pengertian pornografi, jika diambil dari pengertian pornography, adalah berarti rumusannya adalah sesuatu hal yang bersifat grafis (graph). Dari sini saja pengertian ini sudah sesat. Mana mungkin suara suara dan bunyi bisa masuk dalam pengertian pornografi? Jelas sekali ini mengandung ketidakbenaran dalam berbahasa. Fuad Hassan mengatakan, jika seseorang sudah tidak benar dalam berbahasa, maka hal itu sudah menunjukkan bahwa dia juga sudah tidak benar dalam berpikir. Penjelasan mengenai hal ini tidak ada, jika kita mencari dari sumber RUU ini diberbagai website. Malah, penjelasan atas RUU ini dimulai dari Pasal 4. Padahal Pasal 1 ini memiliki masalah yang sangat besar dari segi bahasa dan definisi. Dan, tentunya akan memiliki implikasi yang serius bila dilanjutkan dalam tataran praktek pnerapan hukumnya.
2. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia....yang dapat membangkitkan hasrat seksual......
 
Mengenai materi seksualitas ini, tidak ada penjelasan apa itu materi seksualitas. Sebab jika kita melihat kepada Penjelasan Pasal 14 Undang-undang ini yang menjelaskan mengenai materi seksualitas, maka kita akan menemukan penjelasan yang justru berseberangan dengan pengertian pada Pasal 1 angka 1 ini. Inilah penjelasan Pasal 14 itu :
 
Yang dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.
 
Jika kita bandingkan dengan pengertian Pada Pasal 1angka 1 tersebut, maka kita akan mendapatkan rumusan yang kontradiktif. Bagaimana mungkin, sebuah definisi dalam sebuah undang-undang bisa memiliki pengertian yang bertentangan pada saat yang sama? Yang satu dapat membangkitkan hasrat seksual, sementara menurut pengertian yang lain, adalah hal yang tidak membangkitkan ? jadi, kira-kira begini, ’pornografi adalah materi seksualitas yang dapat.....’, sementara pada frasa yang lain, ’materi seksualitas adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat ........’ Jika kita buat preposisi logikanya kira-kira begini :
A = B yang dapat mengakibatkan C (Pasal 1 angka 1)
B = tidak dapat mengakibatkan C (Penjelasan Pasal 14)
Jika digabungkan maka :
A = yang dapat mengakibatkan C, yang tidak dapat mengakibatkan C
 
Bagaimana ini? Mungkin Prof. Jujun Suriasumantri (IPB), atau bahkan Prof I. Bambang Sugiharto (Fakultas Filsafat UNPAR) harus bantu kita untuk menjelaskan ini. Atau mungkin kita harus meminta arwah Prof. Drijarkara membantu kita (?)
3. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
 
Rumusan ini jelas adalah rumusan yang sangat rentan terhadap multi tafsir. Apalagi jika penafsirannya diambil secara gramatikal, maka pastilah sangat berbahaya. Sebab, tingkat kebangkitan hasrat seksual tiap orang berbeda-beda. Warga Arab, pasti akan sangat cepat sekali terangsang dengan hal yang sedikit terbuka (merefer kepada banyaknya kasus perkosaan terhadap TKI kita di tanah Arab sana). Sedangkan orang Papua sama sekali cuek dengan fenomena ibu-ibu yang topless. Apalagi di Bali, yang setiap hari ada saja orang yang berjemur, namun saya belum pernah mendengar ada orang disana yang memperkosa orang yang sedang berjemur. Kalau diambil gambaran secara umum apa itu yang membangkitkan gairah seksual, maka pastilah tidak mungkin, sebab kita pasti harus menunjukkan kutub-kutub ekstrim yang luar biasa untuk mencapai kesepakatan itu. Seorang yang pergi ke tempat pelacuran, pastilah memang sudah meniatkannya, tanpa harus melihat gambar porno. Amerika bisa melakukan pendefinisian hal ini, karena sistem stare decisis memungkinkan untuk memberikan penjelasan yang panjang lebar, limitatif dan terukur setiap waktu mengenai pengertian pornografi. Juga sistem pragmatic legal realism memberikan kepada masyarakat kesempatan untuk menguji kembali putusan hakim dalam konteks yang berbeda (Harold J. Berman : 1972). Jika kita analogikan dengan prinsip eksak, maka dalam sistem stare decisis, jika ada perbedaan uraian dalam sebuah tindak pidana, maka referensi hukum untuk putusan akan berbeda. Jadi ada ukuran-ukuran yang logis dan ilmiah dalam pengertian-pengertian yang berkembang di Amerika (Dalam pengertian matematis, jika garis itu berbeda 0,0000000000000....derajat saja, maka tentunya akan membawa ke arah yang berbeda. Dan jangan lupa, sebagaimana telah diuraikan dalam pendahuluan diatas, di Amerika (penyebutan Amerika ini penting, karena Balkan Kaplale, anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat menyatakan di media bahwa studi banding terhadap pengaturan pornografi ini sudah dilakukan bahkan sampai ke Amerika, artinya beliau berusaha mendapatkan pembenaran dari sana) melakukan pembatasan secara terbatas dan strict enough sehingga menutup peluang bagi penafsiran yang terlalu luas. Di dalam putusan Hakim Warren menyangkut Fanny Hill case disana dinyatakan bahwa pornografi akan menjadi pelanggraan hukum, jika itu ternyata menjadi tema dominan (dominan theme ). Hal ini yang tidak kita temui dalam rumusan RUU Pornografi ini. Dan, itu pun dilakukan dalam sistem Anglo Saxon, yang berbeda dengan sistem eropa kontinental, dimana hakim lebih dominan merupakan corong undang-undang, sehingga jika dalam suatu undang-undang telah ditetapkan suatu pengertian yang multitafsir atau penafsiran yang terlalau luas (hatzaai artikelen) maka tidak ada kesempatan untuk melakukan pengujian di pengadilan, sebab pengadilan tentunya akan me-refer kepada penafsiran gramatikal terlebih dahulu, sebagaimana praktek dalam school of positivism.
4. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh,
 
Ini juga merupakan hal yang berbahaya jika pengertiannya tidak diperbaiki. Jangan-jangan gerak tubuh para penari jaipong , menjadi perbuatan yang melawan hukum (wederrechtelijkheid). Demikian juga syair dan percakapan dalam drama yang memang bisa saja menganut pembicaraan tentang bagian tubuh tertentu yang sensual, karena untuk menggambarkan suatu keadaan tentunya penting untuk menggambarkan keadaan itu dengan sebenarnya.
Sebenarnya dengan tidak logisnya pengertian pada Pasal 1 angka 1 tentang definisi pornografi tersebut, maka sesungguhnya pengertian selanjutnya tidak memiliki keabsahan lagi secara ilmiah. Sebab istilah pornografi ini akan digunakan dalam Pasal-pasal berikutnya. Namun demikian, saya masih ingin berbicara mengenai Pasal-Pasal lain, mencoba menuntaskan yang ingin saya ungkapkan disini pada kali ini.
Kita beranjak ke Pasal 4. Dalam rumusan Pasal ini, sebenarnya Pasal ini semestinya menjadi Penjelasan bagi Pasal 1 angka 1, namun sayangnya, topiknya berbeda. Pasal 4 ini lebih menyoroti mengenai distribusi. Coba kita lihat rumusannya :
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau
e. alat kelamin.
 
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang :
 
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual
 
Jika saja rumusan Pasal 4 ayat 1 a-e ini menjadi rumusan bagi Pasal 1 angka 1, maka saya kira tidak akan ada pihak yang berkeberatan, karena didalamnya ada kepastian hukum mengenai definisi pornografi. Sehingga rumusan Pasal 4 ini bunyinya tidak perlu terlalu panjang, dan hanya seperti ini:
 
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi;
Itu saja, sebab dengan demikian maka referensi mengenai pornografi menjadi semakin jelas dan mudah untuk mencernanya. Demikian juga akan sangat mudah berlaku bagi Pasal 10 RUU ini. Bagaimana mungkin, sebuah perincian definisi diulang-ulang dalam sebuah Undang-undang? Ini menandakan kualitas legal drafting yang masih parah (mungkin karena Dirjen perundang-undangan di DEPKUMHAMnya dari kampus tempat saya bernaung dulu kali ya?). Lucunya, dalam Pasal-Pasal 7-9, istilah pornografi dimuat tanpa menyertakan pengertian yang ada di Pasal 4. Jadi semakin tidak jelas kemana maksudnya RUU ini. Tapi, apa daya, ternyata rumusan yang dimiliki oleh RUU ini adalah rumusan yang ’sengaja dibuat jadi luas’ dengan agenda tertentu. Dan ini sedikit banyak menunjukkan kualitas para pegiat undang-undang baik itu di DEPKUMHAM maupun di DPR, yang masih harus kita renungkan lagi kompetensinya.
Kita lanjutkan ke Pasal 14. Pasal ini terlihat seperti ’memberikan’ ruang permisi kepada budaya lokal maupun ritual tradisional tertentu untuk menggunakan materi seksualitas. Yang dicontohkan adalah lingga dan yoni. Namun, ternyata rumusan dalam pasal ini adalah rumusan kata ’dapat’. Bagi kita para advokat, terutama dalam hal pidana, kata ’dapat’ ini mungkin sudah menjadi momok, karena dengan kata’dapat’ ini penguasa diberikan diskresi untuk melakukan tindakan sesuai kewenangannya (contoh: Pasal 21 KUHAP mengenai penahanan). Dalam rumusan Pasal ini, ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan kita, yang perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut, yaitu:
1. otoritas manakah yang berhak menilai apakah sebuah karya atau perbuatan itu menunjukkan budaya tertentu?
2. apakah nilai budaya tersebut hanya diberlakukan bagi budaya setempat, atau budaya lain disuatu tempat juga boleh, misal komunitas orang Bali di Lampung, apakah juga bisa melakukannya? Bagaimana dengan komunitas lain yang ada di Aceh, Minang dan daerah yang kental dengan nuansa syar’i, apakah akan diberikan penghargaan yang sama terhadap budaya pendatang di suatu daerah?
3. apakah budaya yang dimaksud adalah budaya nusantara? Bagaimana dengan budaya bangsa India, Arab, Tionghoa dan sebagainya? Atau budaya Barat, apakah juga dilindungi?
 
Mengapa kita perlu mengajukan pertanyaan itu? Karena sebuah produk hukum mesti jelas. Apalagi Pasal 14 ini tidak memiliki amanat organik untuk dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Jadinya tidak akan ada penjelasan dalam pelaksanaannya. Dan, bukan rahasia bahwa di Indonesia, egoisme kedaerahan masih tinggi, jadi ada kekhawatiran bahwa budaya pendatang di suatu tempat tidak akan terlindungi, dan biasanya akan menjadi bulan-bulanan masyarakat setempat. Mengapa hal ini juga perlu dipertanyakan? Karena ada banyak ekspresi budaya yang dapat dikategorikan ’melanggar’ jika RUU ini diberlakukan. Dan, di beberapa daerah, asimilasi antara budaya dan agama masih terasa kencang, misalnya di Jawa. Kita akan menemui pengantin yang ’siraman’ hanya mengenakan kain saja, dan juga ada yang sudah berpakaian lebih religius. Yang mana akan jadi acuan? Demikian juga diberbagai daerah lain. Hal ini akan membawa kerancuan dalam kualifikasi. Jika, kemudian seperti yang saya uraikan, warga Bali yang ada di Lampung melakukan ritual tradisional adat Bali, dengan lenggak-lenggoknya, lalu kemudian warga atau penegak hukum dengan alasan pornografi melakukan upaya hukum, siapa yang akan menilai? Ahli hukum adat setempat, atau ahli hukum adat Bali? Hal ini harus dipertegas, sebab jika tidak maka komunitas-komunitas adat yang tersebar di berbagai pelosok negeri sebagai kaum pendatang, akan mengalami nasib yang mengenaskan. Lebih lagi ternyata Pasal 14 ini tidak memberikan ruang bagi agama. Bagi kamu Nasrani, RUU ini bisa jadi merupakan wujud penghinaan karena yang ada disalib itu tergambar secara visual, hampir telanjang. Bagaimana ini? Apa setiap rumah atau gereja yang memasang salib atau setiap pertunjukkan wafatnya Isa Almasih akan dikriminalisasikan? Makin keliatan parahnya RUU ini.
Kemudian, Pasal 22 , yang bunyinya sebagai berikut :
Pasal 22
 
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dapat dilakukan dengan cara:
 
a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pornografi; dan
d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf
b dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
 
 
Rumusan Pasal ini, terutama pada ayat (1) d, merupakan sebuah pemberian kesempatan oleh pembentuk UU , agar kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini kerap melakukan sweeping, perusakan terhadap barang maupun penganiayaan, untuk dapat mengekspresikan perbuatan tersebut dengan alasan ’pembinaan’, karena dalam RUU ini peran tersebut tidak limitatif. Yang limitatif justru poin a dan b, yang sebetulnya tidak perlu dilimitasi, karena sudah jelas prosedurnya. Jika Pasal ini dibiarkan, maka akan ada banyak ‘laskar’, ‘barisan’, ‘komando’, ‘forum’, ‘front’ dan sebagainya yang akan berperan serta untuk melakukan ’pembinaan’ dengan caranya. Bukan tidak mungkin, mereka juga akan merambah ke daerah lain untuk melakukan ’pembinaan’ itu. Jika pada tahun 1999 Laskar Jihad bisa datang ke Ambon dan berperang dengan alasan disana ada RMS, maka tentunya dengan covering Pasal 22 ayat (1) d UU Pornografi ini, kelompok-kelompok tersebut akan leluasa. Mungkin tempat ibadah kaum minoritas di suatu daerah, yang ada patung-patung atau gambar ’porno’ akan bisa diserbu dengan alasan ’pembinaan’ ini. Apalagi dengan keberadaan aparat hukum kita yang masih lemah dalam melindungi keamanan masyarakat, dan hanya ada jika kita memang tidak memerlukannya. Hal ini, saya sampaikan bukan sebagai sebuah prejudice, tapi berbasiskan fakta empiris selama ini, dimana kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu bisa dengan leluasa melakukan anarkisme, dan kenyataan bahwa aparat penegak hukum ’swasta’ lebih bernyali dan berwibawa daripada yang resmi.
 
Diskriminasi Dalam RUU Pornografi
RUU ini, memang telah nyata dan jelas memiliki sisi-sisi diskriminasi. Dari tinjauan berbagai Pasal, ternyata Undang-Undang ini memiliki nuansa diskriminasi dan anti terhadap pluralitas. Tujuan Undang-undang ini untuk melindungi anak-anak, perempuan serta membatasi distribusi material pornografi, ternyata tidak sebatas itu. Undang-undang ini didalamnya ternyata telah terkandung beberapa jenis diskriminasi, diantaranya :
 
1. Gender
Dalam RUU ini, bisa dipastikan bahwa yang menjadi objek pornografi adalah wanita. Pastilah pertunjukkan wanita saja yang dapat dinilai sebagai pornografi. Hal ini memberikan kriminalisasi atas nama gender. Seolah bahwa wanita adalah sumber pornografi. Seakan-akan karena ada wanita maka ada pornografi. Kegiatan lain yang dikategorikan pornografi adalah yang menyimpang. Artinya, jika pun ada pornografi dalam kategori lain, maka itu adalah menyimpang. Sementara bagi wanita, keberadaannya saja sudah menjadi objek pornografi. Mengenai hal ini, saya kira kita bisa mengelaborasi lebih jauh dengan aktivis perempuan, yang lebih fasih untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai bias gender ini.
2. Budaya
Diskriminasi terhadap budaya, lebih jelas lagi, karena budaya di Indonesia memiliki keragaman yang cukup luar biasa. Ada perbedaan yang menjulang dengan sangat antara kebudayaan di Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur. Hal ini, sebagaimana saya ungkapkan di atas, akan menimbulkan kesenjangan antara budaya mana saja yang diakomodir di Nusantara ini. Walaupun dalam Pasal 14 diberikan kesempatan, namun tidak ada jaminan bahwa di masa yang akan datang hal ini akan berjalan dengan baik. Apalagi di Papua, saya melihat bahwa yang mendominasi secara sosial bukanlah orang Papua, namun orang dari bagian lain Indonesia. Mungkin perbandingannya sudah 60 persen Papua dan 40 persen orang lain. Dan hal ini bisa saja berubah konstelasinya di masa yang akan datang. RUU ini, dengan strategi asimilasi dan penetrasi tertentu yang dilakukan oleh golongan mayoritas, maka perlahan akan menindas dan menggerogoti budaya Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Dan ini adalah bahaya yang harus dijauhkan dari kita. Padahal Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005 telah meratifikasi INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA), dan UU No. 29 tahun 1999 tentang ratifikasi Kovenan tentang penghapusan Diskriminasi Etnik Minoritas. Kita akan ditertawakan dunia karena untuk meratifikasi kovenan tersebut kita dapet pinjaman uang, namun tidak mau melaksanakannya. Karakter bangsa kita akan terlihat ’lain’ dimata Internasional.
3. Agama
Ekspresi beragama, juga mengalami ancaman. Apalagi dalam RUU ini tidak ada pengecualian atas dasar agama. Ada banyak patung dari agama Budha dan Hindu yang menunjukkan keterbukaan bagian tubuh, dan patung itu banyak berada di Jawa, dengan penganut Budha yang sangat sedikit. Juga ada patung manusia yang juga terbuka, yang terpaku pada kayu salib. Penganut agama ini malah tersebar hampir diseluruh Indonesia, dan selama ini juga telah menjadi bulan-bulanan kaum mayoritas, dengan catatan pembubaran tempat ibadah yang begitu intensif, baik secara resmi dan lebih banyak lagi tidak resmi. Penganutnya ada di Aceh hingga Papua. Bagaimana perlindungan terhadap kebebasan berekspresi secara religi, jika tidak ada perlindungan yang nyata dari Undang-undang? Dengan demikian maka sudah nyata bahwa RUU ini sarat dengan kepentingan mayoritas dan berisikan diskriminasi terhadap kaum minoritas bangsa ini.Mengenai diskriminasi ini, bangsa ini sudah memiliki catatan. Yang sederhana, pengadilan yang diadakan secara formal untuk agama tertentu, namun untuk lapisan agama yang lain tidak ada (secara khusus). Ini sebetulnya merupakan salah satu bentuk diskriminasi. Namun, atas nama mayoritas, kaum minoritas tidak dapat berbuat apa-apa. Belum lagi UU perpajakan (UU Pajak Penghasilan) yang memberi keringanan pada praktek filantropi agama tertentu, namun tidak memberikan hal yang sama kepada penganut agama yang lain. Dan, banyak lagi jumlah diskriminasi berdasarkan agama di Indonesia ini. Jika saya uraikan lebih lanjut dalam prakteknya, kita akan kaget melihat bagaimana strategi diskriminasi ini sudah menjamur sedemikian rupa dan sudah menunjukkan bahwa negara ini bukan lagi milik seluruh rakyat Indonesia.
 
Beberapa Tinjauan Mengenai Pemberlakuan UU Pornografi
 
Jika RUU Porografi dengan sktesa yang sekarang diberlakukan, maka akan ada beberapa hal yang menjadi catatan buruk mengenai hal in. Diantaranya adalah syarat keabsahan sebuah produk UU, yaitu secara filosofis, Yuridis dan Sosiologis. Secara Yuridis nampaknya tidak terlalu bermaslaah, karena dibuat oleh lembaga yang berwenang. Namun, perlu kita kritisi beberapa hal di bawah ini:
1. Keabsahan secara Filosofis
Jika UU Pornografi versi yang sekarang diberlakukan, maka dengan kenyataan bahwa saudara-saudara kita di Bali memiliki sumber pariwisata yang luar biasa, dan sudah menjadi kawasan Internasional, maka akan membuat matinya dunia pariwisata di Bali. Padahal, masyarakat Bali sekalipun banyak wisatawan Barat yang melancong dan berbikini serta berjemurdi pantai dengan pakaian yang aduhai, ternyata mereka tidak dapat bergeming dengan keteguhan mereka memegang budaya dan agama mereka. Padahal di Bali tidak ada norma formal yang berisikan sanksi pidana, untuk membuat mereka patuh pada tradisi. Rupanya pemuka agama Hindu disana memang memiliki wibawa yang luar biasa dan memiliki otoritas persuasif yang hebat, sehingga umat di Bali tetap mau patuh kepada ajaran agamanya. Ini hanya salah satu contoh ketidakadilan yang muncul akibat pemberlakuan RUU ini. Masih banyak lagi tentang hal ini di Pangandaran, Pelabuhan Ratu, Bunaken, Ancol dan sebagainya. Juga ada banyak aspek diskriminatif dari UU ini. Selain itu, UU ini bertentangan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika yang menjadi filosofi kita dalam berbangsa atau dalam istilah Ibnu Khaldun sebagai ushul ashabiyah kita. Dengan demikian maka secara filosofis UU ini sudah tidak lagi absah.
2. Keabsahan Secara Sosiologis
Penolakan dari berbagai daerah serta berbagai lapisan masyarakat, menunjukkan bahwa UU ini memang sudah tidak memiliki keabsahan secara sosiologis. Seorang tokoh di Bali menyatakan bahwa masyarakat Bali mengancam akan melakukan pembangkangan terhadap pemberlakuan UU ini. Dengan demikian maka jika UU ini diberlakukan, hanya akan menunjukkan pemerintah yang tidak punya wibawa terhadap rakyatnya, karena memaksakan aturan yang tidak sesuai dengan volksgeist (jiwa rakyat) di berbagai daerah di Indonesia. Dalam pengertian Georges Gurvitch (1963: 21) , hal ini menunjukkan bahwa para ahli hukum dan legal drafter kita sedang mengasingkan diri secara congkak, dari kenyataan , dan memalingkan diri dari segala apa yang bersangkut paut dengan kenyataan sosial hukum. Para ahli hukum kita bangga untuk berdebat dalam kekosongan formalistis dari tempat suci yang disebut negara. Dalam situasi ini maka akan terjadi bahwa negara, teks-teks legislatif dan putusan-putusan pengadilan kemudian akan menghalangi jalan kepada segala kontak dengan hidup masyarakat. RUU ini, juga telah menafikan suatu pakta perjuangan bersama antara berbagai lapisan amsyarakat untuk bersama-sama membangun Indonesia, tanpa memberikan privilege kepada suatu kelompok agama tertentu berdasarkan legitimasi mayoritas.
3. Motivasi Dibalik Pemberlakuan UU Pornografi
UU ini terlihat dirancang dengan tergesa-gesa, dipaksakan dan seperti ’kejar tayang’. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat, terutama masyarakat minoritas, mengenai apa motivasi di balik UU ini? Kita tidak akan menyadarinya hingga seorang anggota DPR RI yang bernama Mahfudz Siddiq dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menyatakan di Koran Kompas dan di beberapa media, bahwa pengesahan RUU ini pada tanggal 23 September merupakan ’hadiah Ramadhan’ bagi PKS. Kita tidak begitu paham apa maksudnya. Namun, dari pernyataan itu, bisa timbul suatu dugaan bahwa UU ini merupakan ’pesanan’ dari kelompok tertentu untuk memaksakan ideologinya dan membangun kekuatan melalui legislasi untuk menggolkan unifikasi ideologi di Indonesia, bukan Pancasila tentunya. Seolah-olah ada kelompok tertent yang merasakan religious satisfy dengan munculnya UU pornografi. Semestinya PKS tidak mengkaitkan hal ini dengan Ramadhan, karena tentunya akan menimbulkan interpretasi yang mengarah kepada kepentingan kelompok tertentu di bangsa ini. Apalagi hal ini diperkuat dengan pernyataan saudara Al Muzzamil Yusuf yang menyatakan bahwa mereka yang tidak setuju atas RUU Pornografi ini, tidak siap menjadi bagian dari keluarga besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (detik.com, Kamis 18, 09, 2008, 14:14 WIB). Secara kontrario, ini dapat diartikan seperti tantangan terbuka bagi elemen bangsa lain yang tidak setuju dengan RUU ini, untuk tidak bergabung dengan NKRI. Dengan demikian maka dapat ditafsirkan bahwa PKS memang ingin menunjukkan bahwa partainya memang berniat secara vis-a-vis menantang untuk berhadapan dengan elemen masyarakat lainnya, terutama dengan kaum minoritas, dan tidak memiliki minat untuk memelihara kesatuan bangsa, kecuali hanya ingin menggolkan ideologinya saja. Dan ini adalah sama dengan menyemai benih disintegrasi di tengah bangsa ini. Pernyataan yang lain dari Muzzamil Yusuf adalah, menyatakan bahwa yang tidak setuju dengan RUU ini, tidak paham demokrasi. Padahal demokrasi dalam konteks penegakan HAM juga semestinya melindungi kaum lain dan tidak bisa atas nama mayoritas kemudian melakukan penindasan melalui proses legislasi. Bahwa proses yang selama ini ada harus dihargai, memang benar, namun suara rakyat juga harus diperhatikan. Yang agak unik, analisis mengenai demokrasi ini datang dari PKS yang didalamnya sendiri tidak mengenal demokrasi. Tidak ada pemilihan oleh anggota atau konstituen, tapi penunjukkan langsung. Jadi agak lucu juga kalau PKS ngomongin demokrasi. Secara keseluruhan, terlihat jelas ada agenda terselubung melalui proses legislasi, untuk menggolkan kepentingan kelompok mayoritas dan melakukan penindasan atas minoritas.
 
Konklusi Solusionis
Pornografi, memang harus diperangi, bahkan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Namun, amat penting untuk menjaga agar dalam melakukan hal tersebut, kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan non diskriminatif, sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (UU No. 17 tahun 2007, Mengenai Arahan, Bagian IV.1.2.E). Perlu sekali memberikan batasan yang jelas, baik mengenai definisi pornografi, perlindungan terhadap tradisi, ritual, budaya, agama dan seni, agar tidak memberikan ruang interpretasi bagi mereka yang hendak memberangus peradaban dan kebhinekaan. Perlu juga pemikiran bahwa yang harus dikedepankan adalah peranan tokoh agama dan budaya di masyarakat, tanpa harus dikuatkan secara normatif, untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat mengenai perlunya memegang keyakinan agama dan budaya setempat. Mungkin para Pendeta Hindu bisa menjadi sumber studi banding bagi para pemimpin agama yang lain, mengenai bagaimana metode persuasi sehingga masyarakat Hindu Bali bisa tetap taat sementara dunia dan budaya Barat begitu terbuka dihadapan mereka. Formalisasi peranan para tokoh agama dan budaya, menunjukkan bahwa kita kekurangan (jika tidak bisa dibilang tidak ada) tokoh yang berwibawa di bangsa ini, di tengah-tengah masyarakat dan ditengah-tengah umat. Demikian juga perlu diberikan kepastian hukum yang lebih ketat mengenai prosedur peranan masyarakat dalam pembinaan, agar tidak ada masyarakat yang memberlakukan masyarakat lain secara diskriminatif, dan bahkan bisa saja terjadi eigenrichting (main hakim sendiri). Hal ini tentunya mengancam kehidupan masyarakat yang menganut rule of law dan bukan rule of groups.
Norma yang mengatur mengenai pencegahan praktek penyebaran pornografi, mutlak diperlukan. Namun, masih menjadi pertanyaan apakah hal itu perlu diberlakukan secara khusus dalam suatu perundang-undangan, atau bisa dimuat secara elegan dalam UU yang terkait? Hal ini untuk menghindari disharmonisasi produk hukum di Indonesia. Kita sudah terlalu banyak memiliki UU yang tidak harmonis satu dengan yang lain. Sebagai contoh, antara UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, UU Penanaman Modal dan UU Pokok Agraria. Secara simultan keseluruhan UU ini saling berkait satu dengan yang lain, namun secara tidak harmonis. Ini barulah satu contoh. Ada banyak contoh lain yang menunjukkan disharmonisasi UU di negeri ini. Mestinya agenda kita dalam kerangka memerangi pornografi ini, adalah melakukan harmonisasi dan penyempurnaan materi dalam UU Perlindungan Anak, KUHP, UU Penyiaran, UU Perfilman, Perpajakan, dan beberapa UU lain yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak, pornografi , distribusi media dan perlindungan terhadap wanita sebagai korban, daripada membentuk UU baru yang kontroversial dan mengancam keutuhan bangsa. Satu hal yang mungkin penting kita ingat, bahwa Prof. Mochtar Kusumaatmadja pernah menyampaikan bahwa mengenai hal-hal yang sensitif, sebaiknya tidak usah dilakukan pengaturan. Biarkan saja hal tersebut mengalir bersama perubahan bangsa. Nampaknya Prof. Muchtar melihat jauh kedepan, kepada bahaya yang bisa ditimbulkan bagi bangsa ini jika sebuah norma yang menbgandung sensitivitas, diberlakukan secara dipaksakan dalam sebuah bentuk formal.
Yang paling penting, jika pun UU ini harus diberlakukan, maka pengertian-pengertian, batasan dan penjelasannya harus dievaluasi, agar lebih mengikuti kaidah-kaidah hukum secara teoretik dengan benar, dan menghindari kesan bahwa para pembentuk UU memiliki pengertian yang banal tentang pornografi. Bahkan mungkin supaya tidak salah lagi, perlu ditambahkan frasa ’Kecabulan”, sehingga UU ini melindungi bukan hanya dari pornografi , namun juga dari kecabulan (low value speech). Harus dijauhi juga semangat untuk menggolkan tujuan tertentu dari kelompok tertentu. Dengan demikian maka UU ini memang harus dievaluasi dan direvisi. Jika tidak, memang benarlah bahwa UU ini akan menjadi ancang-ancang dan semacam pintu masuk bagi diskriminasi bagi gender, agama (minoritas) dan budaya lokal. Tulisan ini dibuat setengah matang, karena saya belum menelaah kelemahannya dari kacamata konstitusi, kovenan internasional secara mendalam, serta banyak kajian yang saya kira akan berkembang dalam diskursus selanjutnya. Namun, setidaknya mari kita berpikir untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi pernghargaan terhadap Hak Asasi dan Hak-hak kaum minoritas dan perempuan. Kita tentunya tidak boleh mengamini ungkapan Geert Wilders di penghujung film Fitna-nya. Kita harus menguir jauh-jau anasir-anasir yang akan menciptakan stigmatisasi yang buruk bagi bangsa kita ataupun juga bagi kelompok di bangsa ini. Dan, kita harus berdoa supaya bangsa ini tetap utuh.
 
* Penulis adalah Advokat, Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan Ham Jawa Barat (ELHAM JABAR) dan Mahasiswa Pascasarjana.
 
== Peristiwa ==