Skandal Bank Bali: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 70:
 
Pada Oktober 1999, Mahkamah Agung memutuskan bahwa salinan lengkap dari laporan tersebut harus diberikan kepada parlemen nasional.<ref>{{cite news |title=Court orders release of report on Bank Bali scandal in Indonesia |url=https://www.deseret.com/1999/10/19/19471260/court-orders-release-of-report-on-bank-bali-scandal-in-indonesia |accessdate=6 July 2020 |agency=Associated Press |publisher=Deseret News |date=19 October 1999}}</ref> Parlemen kemudian mengeluh bahwa ada satu halaman yang hilang dari laporan. <ref>{{cite news |title=Page missing from Bank Bali scandal report |url=https://www.klik.com.my/item/story/2850383/page-missing-from-bank-bali-scandal-report |accessdate=6 July 2020 |agency=Reuter |publisher=The New Straits Times Press |date=6 November 1999}}</ref>
 
== Penyelidikan gagal dan penyelidikan parlemen ==
Meskipun Pradjoto, yang memicu skandal tersebut pada 30 Juli 1999, tidak menyebut Golkar terlibat, Baramuli menanggapi dengan mengatakan bahwa Pradjoto harus dituntut karena fitnah terhadap Golkar.
 
Majalah berita mingguan Gamma pada 15 Agustus 1999 mencetak transkrip rekaman percakapan antara Baramuli dan Setya Novanto. Percakapan itu, yang telah berlangsung pada 7 Agustus, menampilkan Baramuli menasihati Setya tentang bagaimana membenarkan komisi besar EGP. <ref name="Lesmana2009">{{cite book|author=Tjipta Lesmana|title=Dari Soekarno sampai SBY|url=https://books.google.com/books?id=E544kKzpSYIC&pg=PA146|year=2009|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=978-979-22-4267-6|pages=146–}}</ref> Dalam rekaman itu, Baramuli mengatakan kepada Setya bahwa kesepakatan itu seperti penjualan utang yang normal dan untuk menjaga nama mereka dari itu dan sebaliknya menggunakan nama Djoko Tjandra. Pakar telematika [[Roy Suryo]] mengatakan kepada parlemen bahwa analisisnya menunjukkan bahwa rekaman itu asli. <ref>{{cite web |last1=Suryo |first1=Roy |title=ROY SURYO: MAJU TERUS PANSUS DPR-RI KASUS BANK BALI |url=https://www.mail-archive.com/siarlist@minipostgresql.org/msg02074.html |website=SiaR News Service |publisher=SiaR |accessdate=12 July 2020}}</ref>
 
Pada 23 Agustus 1999, [[Indonesia Corruption Watch]] menerbitkan jurnal pertemuan Rudy Ramli seputar skandal itu.
 
Pada 25 Agustus 1999, Rudy bertemu dengan pengusaha beretnis Tionghoa Kim Yohannes, yang merupakan mantan mitra bisnis Baramuli. Rudy kemudian mengatakan Kim memperingatkannya bahwa jaksa agung akan menuntutnya karena korupsi kecuali dia menarik kembali catatannya. Rudy mengatakan Kim sedang berbicara di telepon dengan Baramuli saat itu. Merasa ancaman datang langsung dari Baramuli, Rudy meminta pengacaranya membuat serangkaian pencabutan, yang salah satunya dikirim Kim ke Baramuli pada hari itu. <ref name="Publishing2020">{{cite book|author=TEMPO Publishing|title=BJ Habibie : dan Cerita Penyelesaian Kemelut Bank Bali|url=https://books.google.com/books?id=0R7UDwAAQBAJ&pg=PA80|date=1 January 2020|publisher=Tempo Publishing|isbn=9786232621589|pages=80–}}</ref>
 
Pada 26 Agustus 1999, setelah rapat kabinet, Menteri Hukum dan HAM / Sekretaris Negara Muladi membacakan surat pencabutan yang dikaitkan dengan Rudy. Surat itu membantah bahwa catatan Rudy tentang skandal Bank Bali adalah asli. “Saya belum pernah membuat kronologi kasus Bank Bali, baik dalam bentuk huruf atau lisan. Kronologi tidak datang dari saya dan oleh karena itu saya tidak bertanggung jawab atas isinya,” kata surat itu. Surat itu seharusnya menunjukkan bahwa tim pemilihan Habibie tidak terlibat dalam skandal itu. Namun wartawan memperhatikan surat itu ditandatangani oleh "Rudi Ramli" sedangkan bankir selalu mengeja nama depannya sebagai "Rudy".
 
Ketika Rudy diinterogasi di hadapan komisi penyelidikan parlemen pada 9 September 1999, dia mengatakan telah dipaksa untuk menandatangani pencabutan, dan telah mengisyaratkan keengganannya dengan sengaja mengeja tanda tangannya secara tidak benar.<ref>{{cite news |last1=Howard |first1=John |title=The Ongoing Bali Bank Scandal |url=https://www.scoop.co.nz/stories/HL9909/S00205/the-ongoing-bali-bank-scandal.htm |accessdate=12 July 2020 |publisher=Scoop Media |date=24 September 1999}}</ref>
 
Muladi sangat marah dan menuntut Rudy Ramli melakukan tes pendeteksi kebohongan. Baramuli menanggapi dengan mengatakan kepada wartawan bahwa Rudy adalah pembohong dan “pengguna narkoba”.
 
Pada 10 September, pengacara HAM [[Adnan Buyung Nasution]], yang pernah menjadi pengacara Rudy pada akhir Agustus, mengungkapkan bahwa kantornya telah membantu Rudy menyusun empat versi pencabutan, tetapi Rudy tidak dapat memilih informasi apa yang akan ditarik. Buyung mengatakan bahwa surat yang dibacakan oleh Muladi adalah konsep yang seharusnya tidak pernah meninggalkan kantornya. Buyung kemudian mengundurkan diri sebagai pengacara Rudy dan bertemu dengan Habibie. Setelah pertemuan itu, dia mengatakan Habibie memberitahunya bahwa Baramuli telah memasok surat yang berisi pencabutan Rudy. Muladi kemudian mengkonfirmasi bahwa Baramuli telah mengamankan pencabutan tersebut.<ref>{{cite news |last1=Zulkifli |first1=Arif |title=Kim Johanes-Baramuli di Balik Bantahan Rudy |url=https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/96764/kim-johanes-baramuli-di-balik-bantahan-rudy |accessdate=12 July 2020 |publisher=Tempo |date=12 September 1999}}</ref>
 
 
Rudy enggan membahas rincian catatannya dengan parlemen, mengatakan bahwa dia dan keluarganya telah menerima ancaman pembunuhan. Namun dia mengaku mengirim catatan itu pada 13 Agustus 1999 ke seorang pengacara di [[Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan]] (PDIP), yang kemudian meneruskannya ke Indonesia Corruption Watch.
 
Pada 13 September 1999, Glenn Yusuf diperiksa oleh parlemen dan menyatakan Baramuli telah mendalangi skandal itu, berulang kali memintanya untuk mencairkan klaim Bank Bali dan dua bank lainnya. Dia mengatakan Baramuli telah mencoba untuk membuatnya diberhentikan sebagai ketua BPPN dan digantikan oleh Pande Lubis.
 
Glenn membenarkan kaki tangan Baramuli termasuk Tanri Abeng dan Syahril Sabirin. Dia mengatakan Baramuli ingin mengumpulkan dana untuk membeli suara di MPR dan bahkan mendiskusikan perhitungannya mengenai berapa kursi yang akan dibutuhkan oleh kemenangan.
 
Pada 14 September 1999, Menteri Keuangan Bambang Subianto juga menyalahkan Baramuli dan Tanri Abeng atas skandal itu. Namun, media lokal mencatat bahwa Bambang telah dikaitkan dengan Pande Lubis selama 36 tahun dan pasangan tersebut telah bekerja di Bank Bapindo milik negara, yang runtuh pada tahun 1994 karena kesalahan manajemen. Ketika diangkat menjadi menteri keuangan, Bambanglah yang membawa Pande Lubis bekerja di BPPN di bawah Glenn Yusuf.
 
Ketika ditanyai oleh parlemen, Baramuli membantah terlibat. “Ini konspirasi! Orang-orang ini amoral - mereka hanya ingin menjatuhkan saya, karena sayalah yang membuat Golkar menang [ [[pemilihan umum 1999]]]. Saya selalu mematuhi ajaran Nabi Muhammad, dan saya memohon kepada Allah untuk mengampuni mereka atas apa yang mereka lakukan. "
 
Berikutnya untuk bersaksi adalah Tanri Abeng, yang menolak untuk menjawab pertanyaan. Dia diikuti oleh Setya Novanto, yang mengaku memiliki hubungan dekat dengan Baramuli dan Tanri, tetapi dia bersikeras sebagian besar dana yang diterima EGP dari Bank Bali, Rp426 miliar, masuk ke rekening yang dipegang oleh Djoko Tjandra, sementara Rp112 miliar masuk ke perusahaan tekstil Ungaran Sari Garment milik Manimaren. Setya mengklaim telah memulai pembayaran kembali Rp546 miliar kepada Bank Bali.
 
Pada 24 September 1999, komisi penyelidikan parlemen mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan 13 orang yang terlibat dalam skandal itu. Ada tujuh pejabat pemerintah: Baramuli, Bambang Subianto, Tanri Abeng, Syahril Sabirin, Glenn Yusuf, Pande Lubis dan wakil direktur BPPN Farid Harijanto; dan enam pejabat non-pemerintah: Djoko Tjandra, Setya Novanto, Kim Yohannes, Rudy Ramli dan dua pejabat Bank Bali lainnya. Komisi itu ingin menyebut 16 orang yang terlibat, tetapi Ketua DPR Harmoko dan Wakil Ketua DPR Abdul Gafur - keduanya anggota Golkar - meyakinkannya untuk mencoret tiga nama: Marimutu Manimaren, Timmy Habibie dan Hariman Siregar. Mereka juga ingin nama Baramuli dihilangkan dari daftar, tetapi gagal. <ref name="O'Rourke2002">{{cite book|author=Kevin O'Rourke|title=Reformasi: The Struggle for power in post-Soeharto Indonesia|url=https://books.google.com/books?id=RdAE0xYWCZQC|date=1 July 2002|publisher=Allen & Unwin|isbn=978-1-74115-003-2|page=286}}</ref>
 
== Referensi==