Sultan Agung dari Mataram: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Inayubhagya (bicara | kontrib) Memperbaiki dan merapikan isi artikel |
||
Baris 1:
{{untuk|film|Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta}}
{{Infobox
| embed =
| name = Hanyakrakusuma {{collapsible list
|titlestyle = background:#baa2eb;font-size:75%;
|title = {{resize|85%|Alih aksara}}
|liststyle = background:#e4d9fa;text-align:center;
| {{smaller|''{{native name|jv|ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ ꦲꦒꦸꦁ ꦲꦢꦶ ꦥꦿꦧꦸ ꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ}}''<br/><!--
-->''{{resize|75%|Sultan Agung Hadi Prabu Hanyakrakusuma}}''<!--
-->}}
}}
| title = Paduka Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Hadi Prabu Hanyakrakusuma
| titletext = Panembahan Hanyakrakusuma{{br}}Prabu Pandita Hanyakrakusuma{{br}}Susuhunan Hanyakrakusuma
| more = Sultan Mataram terbesar, berperang melawan penindasan Belanda. Seorang Pejuang dan Budayawan. Memadukan Kalender Hijriyah dengan Kalender Saka, menjadi Kalender Jawa Islam.
|
| image = Olieverfschilderij van Soeltan Agoeng van Mataram.png
| image_size =
| alt =
| caption = Potret anumerta Sultan Agung Hadi Prabu Hanyakrakusuma
| succession = Sultan [[Kesultanan Mataram|Mataram]]
| moretext = ke-4
| reign = 1613–1645 <small>(32 tahun berkuasa)</small>
| reign-type = Berkuasa
| coronation = {{Start date and age|1613}}
| cor-type = Naik takhta
| predecessor = Pangeran Harya Martapura
| pre-type = Menggantikan
| successor = [[Amangkurat I|Amangkurat Agung / Amangkurat I]]
| suc-type = Penerus
| regent =
| reg-type =
| succession1 =
| moretext1 =
| reign1 =
| reign-type1 =
| coronation1 =
| cor-type1 =
| predecessor1 =
| pre-type1 =
| successor1 =
| suc-type1 =
| regent1 =
| reg-type1 =
| succession2 =
| moretext2 =
| reign2 =
| reign-type2 =
| coronation2 =
| cor-type2 =
| predecessor2 =
| pre-type2 =
| successor2 =
| suc-type2 =
| regent2 =
| reg-type2 =
| succession3 =
| moretext3 =
| reign3 =
| reign-type3 =
| coronation3 =
| cor-type3 =
| predecessor3 =
| pre-type3 =
| successor3 =
| suc-type3 =
| regent3 =
| reg-type3 =
<!-- succession4 to succession9 are also available -->
| birth_name = Raden Mas Jatmika
| birth_date = 1593
| birth_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Keraton Kuthagedhe|Kuthagede]], [[Kesultanan Mataram|Mataram]]
| death_date = 1645
| death_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Pleret, Bantul|Karta]], [[Kesultanan Mataram|Mataram]]
| burial_date =
| burial_place = [[Permakaman_Imogiri#Astana Kasultan Agungan|Astana Kasultan Agungan]]
| spouse = Ratu Kulon <small>(pertama)</small> <br> Ratu Wetan <small>(kedua)</small>
| spouse-type = Permaisuri
| consort = <!-- yes or no -->
| issue = <!--list children in order of birth. Use {{plainlist}} or {{unbulleted list}} -->
| issue-link =
| issue-pipe =
| issue-type =
| full name =
| era name =
| era dates =
| regnal name = ''Paduka Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Hadi Prabu Hanyakrakusuma, Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi''
| posthumous name= Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram
| temple name =
| house = [[Wangsa Mataram|Mataram]]
| house-type = Wangsa
| father = [[Panembahan Hanyakrawati]]
| mother = Dyah Banawati (Ratu Mas Hadi)
| religion = [[Islam]]
| occupation =
| signature_type =
| signature =
| module = '''[[Pahlawan Nasional]]'''<br> S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
}}
[[Berkas:Stamps of Indonesia, 050-06.jpg|jmpl|ka|Perangko [[Republik Indonesia]] cetakan tahun [[2006]] edisi Sultan Agung.]]
'''Sultan Agung dari Mataram''' ({{lang-jv|ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦒꦸꦁꦲꦢꦶꦥꦿꦧꦸꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ|Sultan Agung Hadi Prabu Hanyakrakusuma}}; lahir di [[Kotagede, Yogyakarta|Kuthagede]], [[Kesultanan Mataram|Mataram]], 1593 – meninggal di [[Pleret, Bantul|Karta]], [[Kesultanan Mataram|Mataram]], 1645) adalah Sultan [[Kesultanan Mataram|Mataram]] keempat yang memerintah dari tahun 1613 hingga 1645. Seorang ''sultan'' sekaligus ''senapati ing ngalaga'' (panglima perang) yang terampil ia membangun negerinya dan mengkonsolidasikan kesultanannya menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar.
''Sultan Agung'' atau ''Susuhunan Agung'' (secara harfiah, ''"Sultan Besar"'' atau ''"Yang Dipertuan Agung"'') adalah sebutan gelar dari sejumlah besar literatur yang meriwayatkan karena warisannya sebagai raja Jawa, pejuang, budayawan dan filsuf peletak pondasi [[Kejawen|Kajawen]]. Keberadaannya mempengaruhi dalam kerangka [[budaya Jawa]] dan menjadi pengetahuan kolektif bersama. Sastra Belanda menulis namanya sebagai ''Agoeng de Grote'' (secara harfiah, ''"Agoeng yang Besar"'').
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi [[pahlawan nasional Indonesia]] berdasarkan [[Keputusan Presiden (Indonesia)|S.K. Presiden]] No. 106/TK/1975 tanggal [[3 November]] [[1975]]<ref>{{cite book|author=Said, Julinar & Wulandari, Triana|year=1995|title=Ensiklopedi Pahlawan Nasional|location=Jakarta|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan}}</ref>.
== Silsilah ==
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, juga dikenal sebagai Raden Mas Rangsang. Dia adalah putra [[Panembahan Hanyakrawati]] dan [[Dyah Banawati|Ratu Mas Hadi Dyah Banawati]]. Ayahnya adalah raja kedua [[Kesultanan Mataram|Mataram]], dan ibunya adalah putri [[Pangeran Benawa]], Sultan [[Pajang]] terakhir.
Versi lain mengatakan bahwa Sultan Agung adalah putra Raden Mas Damar (Pangeran Purbaya), cucu [[Ki Ageng Giring]]. Dikatakan bahwa Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan oleh istrinya dengan bayi yang dilahirkan oleh Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas yang kebenarannya harus dibuktikan.
Seperti raja-raja Mataram lainnya, Sultan Agung memiliki dua garwa padmi (permaisuri) utama:
# Ratu Kulon, lahir sebagai Ratu Mas Tinumpak, putri Panembahan Ratu, Sultan Cirebon, yang melahirkan RM. Syahwawrat alias Pangeran Alit.
# Ratu Wetan, dikenal sebagai Ratu Ayu Batang, putri Pangeran Upasanta dari [[Kabupaten Batang|Batang]] (cucu [[Ki Juru Martani]]), yang melahirkan RM. Sayidin alias Amangkurat I.
Dari permaisurinya, Sultan Agung memiliki 9 anak :
# Raden Mas Sahwawrat alias Pangeran Temenggung Pajang
# Raden Mas Kasim alias Pangeran Demang Tanpa Nangkil
# Pangeran Rangga Kajiwan
# Raden Bagus Rinangku
# GRAy. Winongan
# Pangeran Ngabehi Loring Pasar
# Raden Mas Sayidin alias Pangeran Harya Mataram (kemudian menjadi [[Amangkurat I|Amangkurat Agung / Amangkurat I]])
# GRAy. Wiramantri
# Raden Mas Alit alias Pangeran Danupaya
== Gelar ==
Di awal pemerintahannya, Hanyakrakusuma dikenal sebagai ''Panembahan Hanyakrakusuma'' atau ''Prabu Pandita Hanyakrakusuma''. Setelah menaklukkan [[Madura]] pada tahun [[1624]], ia mengubah gelarnya sebagai ''Susuhunan Agung Hanyakrakusuma'', atau ''Sunan Agung Hanyakrakusuma''.
Pada 1640-an, ia menggunakan gelar Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman. Pada [[1641]], Sunan Agung mendapat gelar Sultan. Gelar dianugerahkan dari Sultan [[Murad IV]] yang diwakilkan syarif [[Mekah]], Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Hanyakrakusuma ditahbiskan sebagai ''Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram'', disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultan Agungan di [[Imogiri]] dengan nama Enceh Kyai Mendung.
== Pemerintahan ==
=== Kenaikan takhta ===
Raden Mas Rangsang naik takhta ketika ia berusia 20 tahun, menggantikan saudara tirinya, Pangeran Harya Martapura, yang menjadi Sultan Mataram ketiga selama satu hari. Rangsang secara teknis adalah Sultan Mataram keempat, tetapi ia umumnya dianggap sebagai sultan ketiga, karena penobatan saudara tirinya yang [[tunagrahita]] hanya untuk memenuhi janji ayahnya kepada istrinya, Ratu Tulungayu, ibu Pangeran Harya Martapura.
Pada tahun kedua pemerintahan Sultan Agung, [[Patih Mandaraka]] meninggal karena usianya sudah tua, dan posisinya sebagai patih diduduki oleh [[Tumenggung Singaranu]].
Ibu kota Mataram di era penobatannya masih berada di [[Keraton Kuthagedhe]]. Pada 1614, sebuah istana baru dibangun di Karta, sekitar 5 km di barat daya Kuthagedhe, yang mulai ditempati 4 tahun kemudian.
===
{{further|Penyerbuan di Batavia}}
[[File:AMH-6775-KB Siege of Batavia by the sultan of Mataram.jpg|thumb|[[Penyerbuan di Batavia]] oleh Sultan Agung pada tahun [[1628]].]]
Pendudukan [[Belanda]] di ujung barat [[Jawa]], sepanjang [[Banten]], dan pemukiman Belanda di [[Batavia]] merupakan wilayah di luar kendali Sultan Agung. Dalam upayanya mempersatukan Jawa, Sultan Agung menyatakan Banten yang secara historis sebagai daerah bawahan Demak dan Cirebon. Namun, semenjak kedatangan Belanda, mereka berdaulat atas Banten. Klaim itu mendesak Sultan Agung untuk melancarkan penaklukan militer sebagai upaya untuk mengambil alih Banten dari pengaruh Belanda. Namun, jika Sultan Agung menempatkan baris pasukannya ke Banten, kota pelabuhan Batavia akan berdiri sebagai lawan potensial terlalu dekat dengan kedekatan wilayah Banten. Sultan Agung menganggap keberadaan Belanda di Batavia sebagai ancaman terhadap hegemoni Mataram, sehingga mengharuskan alasan lebih lanjut untuk menempatkan pasukan Mataram di Batavia.<ref name ="Soekmono60">{{cite book | author= Soekmono | title= Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 | publisher = Kanisius | page =60 }}</ref>
Pada [[1628]], Sultan Agung dan pasukan Mataram mulai menyerbu Belanda di Batavia.<ref name="Britannica">{{cite web | title = Mataram, Historical kingdom, Indonesia | publisher = Encyclopædia Britannica | url = http://www.britannica.com/EBchecked/topic/368940/Mataram | accessdate = 4 Agustus 2020}}</ref> Tahap awal kampanye melawan Batavia terbukti sulit karena kurangnya dukungan logistik untuk pasukan Mataram.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin [[Dipati Ukur]] berangkat pada bulan Mei [[1629]], sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras tersembunyi di [[Karawang]] dan [[Cirebon]]. Namun pihak Belanda yang menggunakan mata-mata berhasil menemukan dan memusnahkan semuanya. Hal ini menyebabkan pasukan Mataram kurang perbekalan, ditambah wabah penyakit malaria dan kolera yang melanda mereka, sehingga kekuatan pasukan Mataram tersebut sangat lemah ketika mencapai [[Batavia]].<ref name ="Soekmono61">{{cite book | author= Soekmono | title= Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 | publisher = Kanisius | page =61 }}</ref>
Serangan kedua Sultan Agung ini berhasil membendung dan mengotori sungai [[Ciliwung]], yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal Belanda yaitu [[Jan Pieterszoon Coen|J.P. Coen]] meninggal menjadi korban wabah tersebut.
== Reputasi sejarah ==
Perkembangan [[bedaya]] sebagai tarian sakral, [[gamelan]] dan [[wayang]] dikaitkan dengan pencapaian artistik Sultan Agung sebagai budayawan. Beberapa bukti tertulis berasal dari sejumlah kecil dalam catatan Belanda.<ref>[[Sumarsam]]. ''Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java''. Chicago: University of Chicago Press, 1995. Page 20.</ref> Namun dalam tutur cerita rakyat yang kompleks, menyebutkan Sultan Agung dengan berbagai bidang pencapaiannya jauh lebih besar. Sultan Agung juga dikenal sebagai pendiri [[kalender Jawa]] yang masih digunakan hingga saat ini. Selain itu, Sultan Agung telah menulis karya sastra berjudul [[Serat Sastra Gendhing]], yang terdiri dari Pupuh Sinom (14 pada), Pupuh Asmaradana (11 pada), Pupuh Dandanggula (17 pada), dan Pupuh Durma (20 pada) membahas mengenai filosofi hubungan sastra dan gendhing. Ajaran-ajaran mengenai hubungan kosmis, yakni antara manusia dengan Tuhan. Menyatukan sastra dan bunyi gendhing.
Di lingkungan karaton Mataram, Sultan Agung membentuk bahasa standar yang disebut [[bahasa Bagongan]], digunakan oleh para bangsawan dan pejabat Mataram untuk menghilangkan kesenjangan di antara para bangsawan dan keluarga raja. Bahasa itu diciptakan untuk membentuk persatuan antara pejabat karaton.
Pengaruh politik feodal Sultan Agung menjadikan diberlakukannya penggunaan tingkatan bahasa di wilayah [[Jawa Barat]], ditandai dengan penciptaan bahasa yang disempurnakan yang sebelumnya hanya dikenal di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]].
{{quote box
| width = 35%
| align = right
| quote = ''Lamun sira tinitah bupati anggea ambek kasudarman den dadi surya padhane sumadya lwir ramu mungwing cala lumawan ening mwang kadi ta samudra pamotireng tuwuh rehing amawi santana wruhanira lwir warsa taru rata nglih mangsaning labuh kapat''
| salign = right
| source = ''Serat Nitipraja'' karya Sultan Agung
}}
Namun warisan utama Sultan Agung terletak pada reformasi administrasi yang ia lakukan di wilayah otoritasnya. Ia menciptakan struktur administrasi yang inovatif dan rasional.<ref>Bertrand, Romain, ''Etat colonial, noblesse et nationalisme à Java'', Paris, 2005</ref> Dia menciptakan "provinsi" dengan menunjuk orang sebagai [[Adipati]] sebagai kepala wilayah [[Kadipaten]], khususnya wilayah-wilayah di bagian barat Jawa, di mana Mataram menghadapi Belanda di Batavia. Sebuah kabupaten seperti Karawang, misalnya, diciptakan ketika Sultan Agung mengangkat pangeran Kertabumi sebagai adipati pertamanya pada 1636.
Di masa ketika Belanda menguasai Nusantara, mereka mempertahankan struktur administrasi yang diwarisi oleh Sultan Agung. Di bawah pemerintahan [[Hindia Belanda]] di Nusantara, oleh mereka kabupaten disebut regentschappen. Gelar bupati umumnya terdiri atas nama resmi, misalnya "Sastradiningrat" dalam kasus Karawang, didahului oleh "Raden Aria Adipati", maka "Raden Aria Adipati Sastradiningrat" (disingkat menjadi RAA Sastradiningrat). Kata adipati bertahan dalam sistem pemerintahan kolonial.
Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia mempertahankan istilah Kabupaten tetapi membubarkan residen pada tahun 1950-an, sehingga kabupaten menjadi subdivisi administratif langsung di bawah provinsi. Undang-undang tentang otonomi daerah yang diundangkan pada tahun 1999 memberikan otonomi tingkat tinggi kepada kabupaten, bukan kepada provinsi. Warisan Sultan Agung juga diakui oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini.
Sultan Agung dihormati di Jawa secara kontemporer baik perjuangannya membela tanah air, warisan tradisi atau budaya yang ia sumbangkan untuk negara. Di era presiden [[Soekarno]] ia dikukuhkan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]].
==
{{reflist}}
==
* M.C. Ricklefs. 1991. ''Sejarah Indonesia Modern'' (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
* Moedjianto. 1987. ''Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram''. Yogyakarta: Kanisius
Baris 123 ⟶ 187:
== Lihat pula ==
* [[Gelar kebangsawanan Jawa]]
* [[Daftar Penguasa Monarki Jawa]]
* [[Kesultanan Mataram]]
* [[Amangkurat]]
{{kotak mulai}}
{{kotak suksesi|jabatan=[[Sultan Mataram]]|tahun=1613—1645|pendahulu=[[Adipati Martapura]]|pengganti=[[Amangkurat I]]}}
{{kotak selesai}}
Baris 136 ⟶ 199:
{{Pahlawan Indonesia}}
{{Daftar yang Agung}}
[[Kategori:Sultan Mataram]]
[[Kategori:Tokoh Yogyakarta]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
|