Pengguna:Swarabakti/Draf: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib) Masjawad99 memindahkan halaman Pengguna:Masjawad99/Draf ke Pengguna:Masjawad99/Kesultanan Palembang Tag: Pengalihan baru |
Swarabakti (bicara | kontrib) Menghapus pengalihan ke Pengguna:Masjawad99/Kesultanan Palembang Tag: Menghapus pengalihan Suntingan visualeditor-wikitext |
||
Baris 1:
La Maddukelleng
== Kehidupan awal ==
=== Latar belakang ===
La Maddukelleng kemungkinan lahir pada sekitar tahun 1700 dari keluarga Wajo yang berdarah bangsawan.{{sfn|Noorduyn|1972|p=61}} Menurut sumber lontara yang ditelusuri oleh Andi Zainal Abidin (ahli hukum dan sejarawan Sulsel), ayah La Maddukelleng yang bernama La Mataesso merupakan Arung (penguasa) Peneki, sementara ibunya yang bernama We Tenriampa' atau We Tenriangka Da Dukelleng merupakan Arung Singkang yang juga merangkap jabatan sebagai '''Patola''' (salah satu dari tiga panglima besar Wajo).{{sfnp|Abidin|2017|p=281, 283}} Pada masa kelahirannya, Wajo merupakan pihak yang kalah... banyak migrasi...
Sedikit sekali detail mengenai kehidupan awal La Maddukelleng yang tercatat dalam sumber-sumber Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}}{{sfnp|Noorduyn|1955|p=127}} Satu riwayat yang dicatat di kemudian hari dalam Lontara' Sukku'na Wajo' menyebutkan bahwa ia pernah menjadi pembawa puan (tempat sirih) bagi Arung Matoa Wajo La Salewangeng To Tenrirua saat menghadiri upacara pelubangan telinga putri Arumpone La Patau' di Cenrana, Bone.{{efn|Menurut sejarawan Kathryn Anderson Wellen, bagian kisah ini sedikit janggal, karena masa pemerintahan La Patau' dan La Salewangeng sebetulnya tidak beririsan; La Patau' mangkat pada tahun 1714, sementara La Salewangeng baru menjabat sebagai arung matoa pada tahun 1715.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}} Namun, Abidin berpendapat bahwa La Salewangeng memerintah dari tahun 1712.{{sfnp|Abidin|2017|p=279}}}} Ketika itu La Maddukelleng kemungkinan masih remaja (usia 13-14 menurut perkiraan Abidin), sebab ia baru saja selesai dikhitan. Dalam acara tersebut juga diadakan perburuan rusa dan pesta sabung ayam.{{sfnp|Abidin|2017|p=281}} Saat pertandingan sabung ayam sedang berlangsung, seorang dari Bone melemparkan kepala ayam yang sudah mati hingga mengenai kepala Arung Matoa Wajo. La Maddukelleng yang merasa sangat tersinggung dengan kejadian ini sontak menikam pelaku pelemparan, dan memicu perkelahian yang menewaskan 19 orang Bone dan 15 orang Wajo. Akibat kejadian ini, rombongan Wajo pun bergegas meninggalkan Cenrana dan berlayar menyusuri sungai kembali ke Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}}
Sesampainya di Tosora (ibu kota Wajo), datanglah utusan dari Bone yang meminta agar Wajo menyerahkan pelaku penikaman orang-orang Bone di Cenrana untuk diadili, tetapi arung matoa melindungi La Maddukelleng dengan berkilah bahwa sang pelaku sudah tidak ada di Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}} Arung matoa lalu mengingatkan bahwa sesuai perjanjian Persekutuan Tellumpoccoe di Timurung (antara Bone, Wajo dan Soppeng), mereka tak seharusnya meragukan perkataan satu sama lain.{{sfnp|Abidin|2017|p=283}} Khawatir bahwa Bone akan menyerang Wajo hanya demi mencari dirinya, La Maddukelleng pun memutuskan untuk pergi dari Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}}
=== Perantauan ===
Lontara' Sukku'na Wajo' mengisahkan bahwa sebelum La Maddukelleng berangkat merantau, sang arung matoa menanyakan padanya bekal apa yang ia bawa untuk merantau. La Maddukelleng menjawab bahwa bekalnya ialah kelemahlembutan lidahnya, ketajaman pedangnya, dan ujung kemaluannya.{{sfn|Wellen|2014|p=88}}{{sfnp|Abidin|2017|p=283-284}} Ketiga hal ini lazim disebut sebagai ''tellu cappa'' ("tiga ujung") dalam falsafah Bugis, dan masing-masingnya merupakan kiasan bagi diplomasi, kekuatan militer, serta jalinan pernikahan, yang dianggap sebagai kekuatan utama seorang perantau. Sepanjang kariernya di perantauan, ketiga-tiganya dimanfaatkan oleh La Maddukelleng untuk memenuhi ambisi politiknya.{{sfn|Wellen|2014|p=88, 95}}
Pada masa pemerintahan Arung Matoa La Salewangeng, dibentuklah sebuah sistem serupa koperasi yang memudahkan rakyat Wajo untuk mendapat modal dagang, sehingga perniagaan Wajo berkembang pesat. La Salewangeng juga memanfaatkan hubungan dengan komunitas diaspora Wajo di Makassar, Kalimantan Timur, Sumbawa, dan di bagian Nusantara lainnya.{{sfnp|Wellen|2009|p=???}} Walaupun tidak diketahui dengan pasti, La Maddukelleng kemungkinan mengunjungi komunitas-komunitas rantau ini sebelum akhirnya menetap di Pasir, Kalimantan Timur. Ia dengan cepat naik menjadi salah satu orang paling berpengaruh dalam perniagaan dan politik setempat, hingga mampu menikahi putri dari penguasa Pasir. Namun, perselisihan yang terjadi kemudian antara La Maddukelleng dan keluarga bangsawan Pasir pecah menjadi perang pada pertengahan 1720-an. La Maddukelleng menurunkan dari takhta dan mendaulat dirinya sebagai Sultan Pasir.{{sfn|Wellen|2014|p=95, 139}} Ia lalu menyerang Kutai karena penguasanya menolak menyerahkan orang-orang Pasir yang melarikan diri ke sana. Orang-orang Kutai yang ketakutan melarikan diri ke gunung, sementara yang tersisa di kota ditawan, dan kota mereka dibakar habis oleh La Maddukelleng.{{sfnp|Abidin|2017|p=286-287}}{{sfn|Wellen|2014|p=139}}
Adik La Maddukelleng yang bernama Daeng Matekko juga seorang perantau. Ia awalnya menetap di Matan, Kalimantan Barat, sebelum kemudian berpindah ke kawasan Selat Melaka dan turut serta dalam konflik kekuasaan antara orang-orang Melayu, komunitas Bugis Riau, serta Raja Kecik dari Minangkabau. Pada tahun 1731, Daeng Matekko diserang oleh To Passarai (paman Arumpone Batari Toja) di Selangor, walaupun serangan balasan yang ia lakukan dengan bantuan Raja Kecik memaksa To Passarai mundur dan melarikan diri ke Kalimantan.{{sfnp|Wellen|2014|p=98-100, 191}} Sebagai balasan lebih lanjut atas penyerangan yang dilakukan To Passarai kepada adiknya, La Maddukelleng pun menyerbu pasukan To Passarai di Tabonio, Kalimantan Selatan.{{sfnp|Noorduyn|1955|p=129}} Menurut Wellen, kolaborasi antara kedua kakak-beradik ini tidak hanya menunjukkan rekatnya persaudaraan mereka, tetapi juga sentimen permusuhan mereka terhadap Bone, yang tetap bertahan bahkan dalam perantauan sekalipun.{{sfnp|Wellen|2014|p=101-102}}
=== Kembali ke Sulawesi Selatan ===
Kepulangan La Maddukelleng ke Wajo merupakan puncak dari interaksi antara komunitas rantau Wajo dan tanah air mereka.{{sfnp|Wellen|2014|p=137}}
== Masa kepemimpinan di Wajo ==
=== Pembebasan Wajo dari pengaruh Bone ===
=== Pengepungan Makassar ===
=== Akhir masa jabatan ===
== Masa tua ==
=== Perang Peneki ===
=== Perdebatan mengenai tuntutan hukuman dan kematian ===
== Penilaian dan peninggalan sejarah ==
Sebagai penghargaan atas perlawanan La Maddukelleng terhadap Belanda, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional baginya pada tahun 1998. Meski begitu, menurut Wellen, gambaran La Maddukelleng sebagai tokoh "purwa-nasionalis" yang "berjuang melawan Belanda tanpa kenal lelah dan pamrih" tidak sepenuhnya didukung oleh sumber-sumber sejarah semasa. Naskah Bugis tentang pertemuan demi membahas kejahatan-kejahatan La Maddukelleng, misalnya, menggambarkan dirinya sebagai penghasut perang yang tidak mengindahkan persatuan Tellumpocco. Bahkan, ia mungkin saja telah membunuh lebih banyak orang sedaerahnya ketimbang orang Belanda.{{sfnp|Wellen|2018|p=48, 68}}
Terlepas dari itu, kenyataan bahwa kisah La Maddukelleng dapat ditemukan dalam sejumlah besar catatan sejarah Bugis menunjukkan bahwa ia merupakan seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam imaji orang-orang dari daerahnya.{{sfnp|Noorduyn|1953|p=144}} Bagi orang-orang Wajo, La Maddukelleng berjasa dalam memerdekakan negeri mereka dari kekangan Bone dan Belanda.{{sfnp|Noorduyn|1972|p=61-63}} Tradisi Wajo amat menjunjung tinggi nilai kemerdekaan, termasuk di antaranya kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan bepergian, dan kemerdekaan dari hukuman yang tidak adil; hak-hak yang tidak dapat terpenuhi dengan sempurna setelah kekalahan Wajo dalam Perang Makassar. Karena itu, orang-orang Wajo memandang "pembebasan" dari dominasi Bone yang diprakarsai oleh La Maddukelleng sebagai penegakan kembali hak-hak kemerdekaan ini.{{sfnp|Reid|1998|p=147-148}} Begitu pula sebaliknya, ketika La Maddukelleng tumbuh semakin kuat dan mulai bersikap arogan dengan tidak mengindahkan pendapat rakyatnya, ia dianggap sebagai ancaman bagi kemerdekaan orang-orang Wajo, sehingga rakyatnya berbalik melawan dan memintanya mundur.
Di Kalimantan Timur, tradisi sejarah setempat menekankan persekutuan melalui ikatan kekerabatan antara La Maddukelleng dan bangsawan Pasir alih-alih mengingat konflik yang melibatkan kedua pihak. Tradisi lokal juga menempatkan La Maddukelleng sebagai leluhur bagi para penguasa di Kalimantan, termasuk di antaranya [[Aji Muhammad Muslihuddin|Aji Imbut]] yang kelak menjadi Sultan Kutai. Walaupun sebagian detailnya tidak bersesuaian dengan sumber-sumber Bugis maupun Belanda, tradisi semacam ini setidaknya dapat menggambarkan besarnya pengaruh perantau Wajo seperti La Maddukelleng pada masyarakat di kawasan tersebut.{{sfnp|Wellen|2014|p=96-97, 132-134}}
== Keterangan ==
{{notelist}}
== Rujukan ==
=== Sitiran ===
{{reflist}}
=== Daftar pustaka ===
|