Jibakutai: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
{{Sedang ditulis}}
'''Jibakutai''' adalah salah satu pasukan perang dengan strategi bunuh diri pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Saat itu, Jepang sudah terdesak dalam Perang Pasifik. Kemudian. Jibakutai dibentuk di Indonesia pada tanggal 8 Desember 1944 bertepatan dengan peringatan tiga tahun Perang Asia Timur Raya.<ref>{{Cite book|date=1982|url=https://books.google.co.id/books?id=PkMbAAAAIAAJ&q=jibakutai&dq=jibakutai&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwipveOtno7rAhXYe30KHeM3BoQQ6AEwB3oECAgQAg|title=Seksi Sejarah Mutakhir|publisher=Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|language=id}}</ref> Anggota Jibakutai diperkirakan ada 50.000 orang. Anggotanya mendapatkan pelatihan di Cibarusa, Kabupaten Bogor selama dua bulan yang diawasi oleh Kapten Yanagawa. <ref>{{Cite book|last=Oktorino|first=Nino|date=2013-12-20|url=https://books.google.co.id/books?redir_esc=y&id=eYdKDwAAQBAJ&q=Jibakutai#v=snippet&q=Jibakutai&f=false|title=Konflik Bersejarah - Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia|publisher=Elex Media Komputindo|isbn=978-602-02-2872-3|language=id}}</ref>
== Pembentukkan ==
Baris 7:
Sukarno menyerahkan pesan yang diterimanya kepada Jenderal Harada, panglima Tentara ke-16, yang kemudian mengirimkan kepal stafnya, Jenderal Yamamoto (kepala pemerintahan militer) ke Madiun untuk menyampaikan pidato kepada anggota barisan. Teks tersebut kemudian mengatakan, “Sejauh ini orang mengira barisan bunuh diri hanya ada di Jepang, tetapi yang sangat mengejutkan kini seluruh dunia tahu bahwa bangsa Indonesia terinspirasi dengan antusiasme yang sama.” Ia berharap antusiasme itu akan tersebar di seluruh Jawa. Pada kenyataannya, baik pers maupun radio di Jawa kemudian memberikan banyak perhatian kepada pembentukan barisan bunuh diri itu, di mana sumbangan dana khusus diadakan untuk mendukungnya. Setelah penyerahan Jepang, sebuah laporan yang diberikan oleh Tentara ke-16 kepada Laksamana Pattersson menyatakan bahwa ada sekitar 50.000 orang anggota Jibakutai. Empat hari sebelum penyerahan, ''Asia Raya'' membuat laporan tentang kamp pelatihan barisan itu yang dibentuk di Madiun: “Anak laki-laki dan perempuan dilatih di sini, di mana mereka belajar menggunakan senapan serta berlatih menyerang garis pertahanan musuh … para gadis juga diajarkan berbagai hal, termasuk berkuda.” (11 Agustus 1945)
Menurut sejarawan L. de Jong, angka 50.000 orang anggota Jibakutai dapat dikatakan merupakan jumlah yang terlalu dibesar-besarkan oleh para pejabat Indonesia yang ingin mengesankan atasan Jepang mereka. Penguasa pendudukan Jepang sendiri menerima angka yang di-''mark up'' itu demi alasan propaganda di Jawa maupun untuk memberikan kesan baik mengenai keberhasilan mereka di mata atasannya di Tokyo. Di mata orang Jawa sendiri, militansi dan kefanatikan para anggota Jibakutai yang digembargemborkan propaganda Jepang dinilai tidak masuk akal dan tidak banyak mengesankan mereka. Cara berperang seperti itu (melancarkan serangan bunuh diri) dianggap tidak modern dan sia-sia. Selain itu, sejak tahun 1943, semua pengumuman Jepang di Jawa dipandang skeptis. Bahkan contoh ideal dari Barisan Jibakutai, yaitu sosok Heiho Amat yang dikatakan propaganda Jepang melakukan jibaku di medan perang
Pendeknya, tidak seperti Peta, Heiho, Seinendan, Barisan Pelopor atau Keibodan, boleh dikatakan bahwa Barisan Jibakutai lebih merupakan sebuah bahan propaganda Jepang dibandingkan organisasi nyata yang bersifat militer atau semimiliter. Atau, meminjam kata-kata sejarawan Nugroho Notosusanto, jibakutai tidak lebih dari ungkapan tekad pemuda Indonesia untuk mempertahankan tanah airnya dari ancaman musuh.
Catatan-catatan dalam Perang Kemerdekaan juga tidak menunjukkan pengaruh signifikan pelatihan Jibakutai dalam menghadapi Sekutu. Bahkan serangan-serangan berani mati, atau bunuh diri, yang dilancarkan oleh beberapa pejuang Indonesia tidak banyak dikaitkan dengan keanggotaan mereka dalam barisan Jibakutai atau pelatihan mereka dalam barisan tersebut. Misalnya, Mohammad Toha, sosok pelaku serangan bunuh diri paling terkenal dalam Perang Kemerdekan, adalah seorang bekas anggota
== Kedudukan ==
|