Perang Saudara Islam II: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
perbaikan tata bahasa
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 17:
{{Campaignbox Islamic Civil Wars}}
 
'''Perang Saudara Islam II''', (atau disebut juga '''Fitnah Kedua'''){{efn|1=Kata ''fitnah'' ({{lang-ar|فتنة}}, "ujian" atau "cobaan") dalam konteks ini berasal dari Al-Qur'an dalam arti ujian Allah terhadap iman umat Muslim maupun sebagai hukuman Allah terhadap dosa-dosa mereka. Dalam sejarah Islam, kata ini digunakan untuk menyebut perang saudara ataupun pemberontakan yang mengakibatkan pecahnya kesatuan umat dan menguji keimanan.{{sfn|Gardet|1965|p=930}}}} adalah sebuah periode kekacauan politik dan militer yang melanda umat Islam pada masa-masa awal [[kekhalifahan Umayyah]]. Perpecahan ini terjadi setelah meninggalnya khalifah pertama Umayyah, yaitu [[Mu'awiyah bin Abu Sufyan|Muawiyah]] pada 680 dan belangsung selama sekitar dua belas tahun. Dalam perang ini, Dinasti Umayyah berhasil mengalahkan dua kelompok penentangnya: pendukung keluarga Ali yang awalnya dipimpin [[Husain bin Ali]] dan dilanjutkan [[Sulaiman bin Surad]] serta [[Mukhtar ats-Tsaqafi]] di Irak, maupun kekhalifahan tandingan yang didirikan [[Abdullah bin az-Zubair]] di Mekkah.
 
Perang ini berakar dari [[Perang Saudara Islam I]] (Fitnah Pertama). Setelah terbunuhnya khalifah ketiga [[Utsman bin Affan]], umat Islam mengalami perang saudara untuk memperebutkan kepemimpinan, yang utamanya melibatkan [[Ali bin Abi Thalib]] dan [[Mu'awiyah bin Abu Sufyan|Muawiyah bin Abi Sofyan]]. Setelah [[pembunuhan Ali]] pada 661 dan mundurnya penerusnya [[Hasan bin Ali]] pada tahun yang sama, Muawiyah menjadi penguasa tunggal umat Islam. Sebelum Muawiyah meninggal, ia menunjuk putranya [[Yazid bin Muawiyah|Yazid]] sebagai pewaris takhta. Tindakan ini banyak ditentang karena penunjukan penerus melalui garis keturunan belum pernah dilakukan dalam sejarah Islam. Hal ini memicu ketegangan sepeninggal Muawiyah dan setelah berpindahnya tampuk kekhalifahan ke tangan Yazid. Husain bin Ali diajak oleh pendukung keluarganya di Kufah untuk melengserkan Dinasti Umayyah, tetapi ia terbunuh dalam perjalanan ke Kufah dalam [[Pertempuran Karbala]] pada Oktober 680. Abdullah bin az-Zubair melancarkan perlawanan terhadap Yazid yang berpusat di Mekkah dan meluas hingga Madinah serta seluruh Hijaz berada di bawah pengaruhnya. Yazid mengirim pasukannya untuk [[Pertempuran al-Harrah|menyerang Madinah]] [[Pengepungan Mekkah (683)|dan Mekkah]], tetapi ia meninggal pada November 683. Sepeninggal Yazid, seluruh kekhalifahan (kecuali [[Syam]]) melepaskan diri dari kekuasaan Umayyah dan hampir seluruhnya tunduk kepada Ibnu az-Zubair. Di Irak, muncul pemberontakan pendukung keturunan Ali. Menyesali kematian Husain, 4.000 warga Kufah yang dipimpin Sulaiman bin Surad berniat melawan Bani Umayyah hingga mati. Mereka terbunuh dalam [[Pertempuran Ain al-Wardah]] pada Januari 685. Mukhtar ats-Tsaqafi mengambil alih Kufah pada Oktober dan pasukannya mengalahkan pasukan Umayyah dalam [[Pertempuran Khazir]] pada Agustus 686. Mukhtar sendiri lalu menghadapi pendukung Ibnu az-Zubair dalam serangkaian pertempuran, dan terbunuh di Kufah pada April 687. Kekalahan Mukhtar menyisakan kubu Umayyah dan kubu Ibnu az-Zubair dalam perang ini. Selanjutnya, [[Abdul Malik bin Marwan]] menyusun kembali kekuatan Umayyah dan berhasil mengalahkan tentara Ibnu az-Zubair di Irak ([[Pertempuran Maskin]]) dan Hijaz ([[Pengepungan Mekkah (692)|Pengepungan Mekkah]]) pada tahun 692.
Baris 89:
 
=== Perpecahan Sunni-Syiah dan konsep Mahdi ===
[[Berkas:Ashura 2016 mourning in Imam Hossein Square, Tehran 02.jpg|jmpl|upright=1.1|kiri|Peringatan [[Hari Asyura]] di Teheran, Iran|alt=Kelompok besar pria berpakaian hitam]]
Terbunuhnya Husain bin Ali mendapat kecaman luas dan menjadi salah satu faktor terbentuknya gerakan anti-Umayyah yang didasarkan dengan kecintaan terhadap keluarga Ali bin Abi Thalib.{{sfn|Lewis|2002|p=68}} Peristiwa Karbala sering dianggap sebagai dimulainya perpecahan Islam Sunni dan Syiah secara nyata. Hingga saat ini, peristiwa tersebut diperingati Muslim Syiah dalam [[Hari Asyura]].{{sfn|Hawting|2000|p=50}} Peristiwa ini juga berperan memberi dimensi agama terhadap identitas golongan Syiah yang sebelumnya didominasi dimensi politik.{{sfn|Halm|1997|p=16}}{{sfn|Kennedy|2016|p=77}} Masa ini juga ditandai dengan meluasnya pengikut Syiah ke bangsa non-Arab akibat pemberontakan Mukhtar ats-Tsaqafi.{{sfn|Daftary|1992|pp=51–52}} Ia berhasil menggerakan golongan Muslim non-Arab dengan memperhatikan keluhan-keluhan mereka yang merasa terpinggirkan.{{sfn|Daftary|1992|pp=55–56}} Inilah pertama kalinya Muslim non-Arab memegang peran politik aktif dalam sejarah kekhalifahan.{{sfn|Wellhausen|1901|pp=79–80}}{{sfn|Hawting|2000|pp=51–52}} Walaupun pemberontakannya gagal, gagasan Mukhtar dilanjutkan oleh kelompok [[Kaisaniyyah]], sebuah sekte Syiah radikal, yang mengembangkan gagasan akidah dan tentang akhir zaman yang banyak mempengaruhi pemikiran Syiah selanjutnya.{{sfn|Daftary|1992|pp=59–60}} Kelompok [[Kekhalifahan Abbasiyah|Abbasiyah]] kelak akan memanfaatkan jaringan propaganda rahasia kalangan Kaisaniyyah semasa pergolakannya melawan Umayyah, dan pendukung Abbasiyah pun banyak berasal dari kaum Syiah maupun non-Arab.{{sfn|Daftary|1992|p=62}}{{sfn|Wellhausen|1927|pp=504–506}}