Puisi esai: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
OrophinBot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-\bDi tahun\b +Pada tahun, -\bdi tahun\b +pada tahun)
Baris 2:
 
== Latar Belakang ==
Pada tahun 2006, pemimpin [[Foundation of Poetry]] yaitu [[John Barr (penyair)|John Barr]] menulis sebuah buku berjudul "''[[American Poetry in New Century (buku)|American Poetry in New Century]]''". Buku ini diterbitkan oleh tim [[Redaksi majalah|redaksi]] [[Majalah Poetry|Poetry]]. Di dalam buku tersebut, John Barr menulis [[kritik]] terhadap perkembangan puisi di [[Amerika Serikat]]. Selain itu, kritik tersebut juga ditujukan bagi dunia perpuisian masa kini di [[Indonesia]]. John Barr mengemukakan bahwa puisi belum memahami perubahan yang berarti selama berabad-abad dan semakin sulit dipahami oleh publik.{{Sfn|Denny J.A., et al.|(2017)|p=vii.|ps="Menurut John Barr, puisi semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Para penyair asyik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespons penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespons persoalan yang dirasakan khalayak luas."}} Menanggapi hal tersebut, pada tahun 2011, [[Denny Januar Ali]] melakukan riset terbatas tentang perkembangan puisi di Indonesia. Riset ini dilakukan sepenuhnya oleh [[Lembaga Survei Indonesia]] yang didirikan olehnya.{{Sfn|Denny J.A., et al.|(2017)|p=viii.|ps="Saya sendiri pernah melakukan riset terbatas mengenai puisi yang berkembang di Indonesia dipada tahun 2011. Saya mendirikan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), yang melakukan riset ratusan kali."}} Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan yang berpendidikan tinggi, sangat sulit memahami makna puisi-puisi masa kini. Sebaliknya makna puisi-puisi lama seperti puisi karya [[Chairil Anwar]] dan [[W.S. Rendra]] dapat dipahami dengan mudah walaupun diberi pemaknaan yang beragam.{{Sfn|Denny J.A., et al.|(2017)|p=viii-ix.|ps="Cukup mengagetkan, bahkan mereka yang tamat pendidikan tinggi sekalipun tidak mengerti dan tidak memahami apa isi puisi tahun 2011 yang dijadikan sampel itu. Mereka yang pendidikannya menengah dan bawah lebih sulit lagi memahaminya. Mereka menilai bahasa dalam puisi ini terlalu menjelimet. Jika bahasanya saja tidak dimengerti, mereka juga sulit untuk tahu apa yang ingin disampaikan puisi itu. Responden yang diteliti masih bisa memahami dan menebak pesan puisi Chairil Anwar atau Rendra."}}
 
Sebelum John Barr mengemukakan pendapatnya tersebut, [[Joseph Epstein]] telah lebih dahulu mengemukakan bahwa karya-karya [[penyair]] kontemporer hanya mampu dipahami oleh kalangan mereka sendiri dan tidak dikenal oleh para [[Peserta didik|pelajar]] karena kurangnya [[adaptasi]] [[bahasa]]. Hal ini diungkapkannya dalam [[esai]]<nowiki/>nya yang berjudul "''[[Who Killed Poetry]]''?". Hal yang sama turut dikemukakan oleh [[Delmore Schwartz]] dalam esainya yang berjudul "''[[The Isolation of Modern Poetry]]''". Schwartz mengungkapkan bahwa alasan [[puisi modern]] kekurangan peminat adalah karena kerumitan bahasa yang digunakan dalam puisi modern itu sendiri.{{Sfn|Gaus, Ahmad|(2018)|p=3-4.|ps="Sebelum John Barr, telah ada pula pandangan-pandangan yang kurang lebih senada. Misalnya, suara yang cukup pedas dari seorang kritikus paling fenomenal, Joseph Epstein. Dalam sebuah esainya yang menjadi bahan perdebatan panjang di dunia Barat yang berjudul “Who Killed Poetry?”, ia mengatakan bahwa karya-karya para penyair kontemporer hanya dibaca oleh ratusan orang saja. Para penyair tidak dikenal oleh sebagian besar kalangan terpelajar. Pasalnya, mereka tinggal di dunia yang sudah berubah, sementara mereka sendiri tidak mau menyesuaikan diri. Pandangan lainnya datang dari Delmore Schwartz dalam esainya yang berjudul “The Isolation of Modern Poetry”, ia menulis, “It is not a simple matter of the poet lacking an audience, for that is an effect, rather than a cause, of the character of modern poetry.” (Bukan masalah sederhana bahwa penyair kekurangan audiens, karena ini adalah efek, bukan penyebab, dari karakter puisi modern). Karakter puisi modern dalam pandangan Schwartz tidak lain ialah tingkat kesulitannya (its difficulty). Bahasa puisi telah membuat jarak antara penyair dengan masyarakat."}}
Baris 9:
 
== Penggagas ==
[[Gagasan]] mengenai puisi esai pertama kali dikemukakan oleh Denny Januar Ali dan secara [[Daya cipta|kreatif]] diwujudkannya pada tahun 2012 melalui [[buku]] berjudul "Atas Nama Cinta".{{Sfn|Narudin|(2017)|p=xiii|ps="Dia memperkenalkan apa yang disebutnya puisi esai, yang secara konseptual dirumuskannya sedemikian rupa dan secara kreatif dijalankannya sendiri lewat buku kumpulan puisi esainya, Atas Nama Cinta (2012)."}} Denny adalah seorang [[Cendekiawan|intelektual]] sekaligus [[Wirausahawan|pengusaha]] yang dilahirkan di [[Kota Palembang|Palembang]] pada 4 Januari 1963. Telah banyak [[kontribusi]] yang diberikan oleh Denny bagi dunia [[akademi]]k, [[politik]], [[media sosial]], [[sastra]] serta [[budaya]], khususnya di [[Indonesia]]. Berbagai penghargaan telah diberikan kepada Denny atas kontribusi yang diberikannnya kepada berbagai bidang tersebut. Pada tahun 2014, ''[[Tweet]]'' dinobatkan oleh [[Twitter|Twitter Inc]]. sebagai ''[[Golden Tweet 2014]]''. DiPada tahun yang sama, [[Museum Rekor Dunia Indonesia|Museum Rekor Indonesia]] menganugerahi Denny sebagai [[konsultan]] politik pertama di [[dunia]] yang turut memenangkan [[Pemilihan umum|Pemilihan Umum]] [[Presiden]] selama tiga kali berturut-turut yaitu dalam [[Pemilihan Presiden Republik Indonesia]] pada tahun 2004, 2009, dan 2014. Selain itu, Tim 8 juga memilih Denny sebagai salah satu dari 33 tokoh sastra yang paling berpengaruh di Indonesia.{{Sfn|Narudin|(2017)|p=4.|ps="Tahun 2014, Denny JA meraih penghargaan dari Twitter Inc. Tweet-nya dinobatkan sebagai Golden Tweet 2014 (...). Pada tahun itu pula, ia dianugerahi rekor MURI sebagai konsultan politik pertama di dunia yang turut memenangkan tiga kali Pemilu Presiden berturut-turut dalam pilpres 2004, 2009, dan 2014. Pada tahun 2014, Denny JA ikut dipilih sebagai satu dari 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia oleh Tim 8."}}. Denny juga menerima penghargaan dari [[Time|Majalah Time]] sebagai salah satu dari 30 orang paling berpengaruh di [[internet]] pada tahun 2015.{{Sfn|Narudin|(2017)|p=3.|ps="Tahun 2015, Denny JA dinobatkan TIME Magazine sebagai salah satu dari 30 orang paling berpengaruh di internet."}}
 
== Ciri Khas ==