Tradisi lisan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 25:
== Proses Penerusan Pesan ==
Kisah-kisah yang sering dituturkan dalam tradisi lisan dapat berbentuk berita maupun opini,{{Sfn|Vansina|1985|p=3|Ps="Nevertheless, among the messages that are repeated a historian will recognize two major groups: communication that presents "news" and communication which represents an "interpretation" of existing situations."}} yang menginformasikan peristiwa-peristiwa di masa lalu atau kejadian-kejadian tak terduga yang pernah dialami oleh para leluhur. Dalam peradaban manusia saat sebelum mengenal tulisan, untuk mendapatkan informasi yang akurat, penyampaian berita secara lisan menjadi perhatian khusus, tujuannya adalah untuk melestarikan dan menyebarkan tradisi mereka kepada generasi-generasi yang akan datang. Di setiap adat maupun negara memiliki ciri khas dan cara-cara yang berbeda dalam proses penuturannya.
Para leluhur ataupun tokoh adat melakukan tradisi lisan kepada anak-anak dengan memberikan pengajaran melalui sekolah-sekolah khusus dengan segala instrumen pembelajarannya mereka jadikan sangat sakral. Bukti adanya tradisi seperti ini ditemukan di [[Kepulauan Marquesas]], [[Polinesia]].{{Sfn|Vansina|1972|p=32|Ps="The outstanding feature of schools of this kind in Polynesia was that the instruction, and everything to do with it-down to the clothes worn by the pupils-was consecrated, and became taboo, because of the nature of what was taught."}} Di [[Rwanda]], para leluhur yang menguasai silsilah atau nasab kerajaan, penyair dan para penulis kronik memegang kendali terhadap penyebaran kisah-kisah kepada generasi penerusnya, yang mana setiap jabatan memiliki nama dan tugas yang berbeda seperti ''Abacurabwenge'' (ahli silsilah), bertugas mengingat daftar riwayat keturunan raja maupun ratu; ''Abateekerezi'' (ahli kronik), bertugas mengingat peristiwa terpenting dari berbagai pemerintahan; dan ''Abiru'', bertugas menjaga rahasia kerajaan. Mereka memberikan sanksi dan hukuman pada setiap penutur yang salah mengucapkan kata-kata ketika tradisi sedang berlangsung. Di [[Selandia Baru]] penyebab kesalahan tersebut akan diberikan sanksi berat hingga hukuman mati, dan bagi sebagian kalangan masyarakat akan menerima hukum sosial hingga bahan ejekan apabila tidak bisa bertutur tentang sejarah nenek moyang mereka.{{Sfn|Vansina|1972|p=34|Ps="Ridicule also comes into play. Someone who does not know the traditions of his group is often the laughing-stock of the other members. This is what happens among the Kuba if someone does not know the clan slogan."}}
|