Etnografi siber: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
GaTölu (bicara | kontrib)
Salah
Tag: menghilangkan bagian [ * ] Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
GaTölu (bicara | kontrib)
Membalikkan revisi 17458801 oleh GaTölu (bicara)
Tag: Pembatalan
Baris 10:
 
==
 
== Pandangan etika ==
Sejauh etnografi siber mirip dengan etnografi di ruang lokal, hal itu akan menimbulkan pertimbangan etis yang serupa. Namun, sifat ruang online memang memunculkan masalah etika baru, termasuk yang terkait dengan persetujuan subjek manusia, perlindungan privasi atau anonimitas subjek penelitian, dan apakah etnografi cyber mungkin merupakan bentuk "penyadapan elektronik."<ref>{{Cite journal|last=Wilson|first=Samuel M.|last2=Peterson|first2=Leighton C.|date=2002-10-01|title=The Anthropology of Online Communities|url=https://www.annualreviews.org/doi/10.1146/annurev.anthro.31.040402.085436|journal=Annual Review of Anthropology|volume=31|issue=1|pages=461|doi=10.1146/annurev.anthro.31.040402.085436|issn=0084-6570|quote=For some researchers, the statements made in publicly accessible discussion boards or other communication spaces are in the public domain and may thus be freely used by researchers. For others, this is a form of electronic eavesdropping that violates the speaker's expectation of privacy. For others, this is a form of electronic eavesdropping that violates the speaker's expectation of privacy.}}</ref>
 
Dengan demikian, ada masalah etika yang signifikan seputar penggunaan alat digital, pengumpulan data dari dunia maya, dan apakah ahli etnografi maya menghormati privasi di dunia maya. Bahwa sebuah situs web tidak dilindungi kata sandi dari seorang peneliti tidak selalu berarti bahwa itu adalah ruang terbuka tempat hak atas anonimitas dan privasi larut.<ref>{{Cite book|last=Hesse-Biber|first=Sharlene Nagy|date=2011-01-15|url=https://books.google.co.id/books?id=Q9HlpMF7GgkC&lpg=PP1&pg=PP1#v=onepage&q&f=false|title=The Handbook of Emergent Technologies in Social Research|location=|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-970625-9|pages=184|language=en|quote=In sum, if our identities in cyberspace are extensions of our off-line identities, they must be afforded the same ethical consideration as they would be given in the off-line world.|url-status=live}}</ref>
Etnografi Dunia Maya adalah adaptasi metode penelitian etnografi pada ranah maya. Kultur dan manusia merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Malinowski (1942) dalam karyanya yang berjudul Man's Culture And Man's Behavior secara jelas menyatakan bahwa “Culture is clearly the fullest context of all human activities” Setiap tindakan manusia pasti bermuatan kultural dan setiap kultural merupakan hasil tindakan manusia. Hal serupa ada dalam segala aktivitas manusia yang berkaitan dengan penggunaan internet. Sebaran budaya di ranah ini terbentang dari wilayah personal hingga publik. Mulai dari pembentukan identitas pribadi, pemaknaan kolektif terhadap segala aspek kehidupan dunia maya internet, hingga kepemilikan terhadap kultur yang dibangun bersama merupakan segala yang mungkin berkaitan kultur dan manusia di ranah maya internet (Bromseth & Sundén, 2011; Campbell, 2011).
 
Kultur di dunia maya internet merupakan hasil produksi dan reproduksi makna manusia terhadap aktivitasnya melalui jaringan internet global (Bell, 2006; Escobardkk., 1994; S. Jones, 1997; Lovink, 2002). Bersama para pengguna internet lain mempertukarkan gagasan dan ide yang kemudian menghasilkan karya, cipta, dan karsa di dunia maya internet maupun dunia. Melalui interaksi di ranah ini, manusia juga mempertukarkan dan membangun tata nilainya sendiri (Lalueza, Crespo, & Bria, 2008). Hal ini seiring dengan penggunaan dan perkembangan bahasa, tata nilai, teknologi, struktur masyarakat manusia yang menggunakan internet (Bell, 2006; Fuchs, 2007; Hine, 2000) .
 
Tidak heran dibutuhkan sebuah metode yang menyeluruh dan mendalam untuk memahami kultural di ranah ini (Kozinets, 1998, 1999, 2006, 2010). Bukan sekadar berupaya mendeskripsikan tentang hal yang terjadi, melainkan juga menghadirkan visi kultural dari para pemilik pemiliknya (Kozinets, 1998, 1999, 2006, 2010). Hanya mereka yang bergelut dengan kulturnya yang benar-benar memahami kultur tersebut secara utuh. Perlu ada sebuah metode yang mampu membantu pihak diluar pemilik kultural untuk dapat memahami hal tersebut. Pilihan untuk mengadopsi penelitian etnografi merupakan pilihan yang sesuai dengan tujuan ini (Kozinets, 1998, 2002, 2010). Metode yang berkembang dari upaya para penjelajah pada abad pertengahan untuk memahami kaum pribumi dapat dimanfaatkan untuk memahami kehidupan kultural di dunia maya internet (Angrosino, 2005; Denzin & Lincoln, 2005a).
 
Etnografi merupakan metode penelitian yang dikhususkan untuk memahami aspek kultural dalam masyarakat (Bryman, 2012; Neuman, 2013; Spradley, 1997). Memanfaatkan segala informasi dan data yang ada metode ini membantu peneliti atau pihak yang ingin melakukan kajian kultural memahami perilaku-perilaku manusia dalam dan konteks sosialnya. Perilaku manusia bukan sekadar hasrat individu, melainkan berkaitan dengan tata nilai yang ada dalam kelompoknya. Sesuatu yang dibangun dan direproduksi melalui segenap tindakan para anggotanya. Melalui hal ini mereka membangun identitas, makna, keyakinan, hingga visi kultural bersama.
 
Penggunaan ini relevan karena internet telah berkembang lebih dari sarana interaksi dan komunikasi melainkan dunia kultural. Pada ranah maya internet dapat ditemukan beragam kultur. Online game culture (T. L. Taylor, 2011; D. Williamsdkk., 2006), cyberactivism (Ayers, 2006; McCaughey & Ayers, 2013), hack culture, mobile culture (Goggin, 2012) merupakan beberapa kultur yang berkaitan interaksi manusia di dunia maya internet. Hack culture merupakan kultur yang dibangun oleh komunitas hacker dan programer komputer. Cyberactivism merujuk kepada penggunaan internet sebagai saran gerakan sosial atau kegiatan aktivisme (McCaughey & Ayers, 2013). Online game culture merupakan kultur yang tercipta dari interaksi antar pemain sebuah permainan atau antar permainan online (Shaw, 2010). Varian kultur ini beragam sesuai dengan permaian online yang dimainkan serta interaksi antar pemainan. Mobile culture merupakan kultur yang tercipta dari penggunaan telepon seluler (Goggin, 2012; Hjorth, 2008). Kompleksitas mobile culture bertambah kompleks seiring terintergrasinya jaringan internet global ke dalam perangkat telepon seluler.
 
Tentu etnografi tidak dapat diterapkan secara utuh seperti penerapannya pada ranah kehidupan nyata sosial. Perlu ada penyesuaian agar metode ini dapat diterapkan untuk riset di dunia maya internet (Hine, 2000). Tidak ada kehadiran fisik pada ranah maya internet merupakan penyebabnya. Semua terjadi melalui representasi teks, gambar, video, dan audio yang hadir di layar komputer. Tidak ada komunikasi tatap muka langsung di ranah maya ini. Semua termediasi melalui jaringan internet global. Hal ini tentu menjadi hambatan bagi peneliti etnografi konvensional yang ingin terlibat secara menyeluruh dalam seluruh aktivitas subyek penelitiannya (Hine, 2000; Murthy, 2008). Pembicaraan komunitas yang teliti hanya dapat diamati melalui ruang percakapan komunitas seperti chatroom, thread internet forum, grup Facebook. Komunikasi dua arah antar pengguna atau anggota komunitas juga kurang dapat diamati karena proses ini cenderung menggunakan sarana komunikasi yang bersifat privat seperti private chat atau private message. Jika ada komunikasi dua arah antar pengguna yang dapat diamati, maka hal tersebut cenderung terbatas karena tidak semua pengguna mau membuka isi komunikasi yang dilakukan.
 
Tantangan lain yang harus dihadapi oleh periset etnografi di ranah ini yakni mengenai pengumpulan data. Ketidakkehadiran fisik menuntut periset untuk melakukan wawancara, dan observasi yang termediasi (Bengry-Howell, Wiles, Nind, & Crow, 2011; Kozinets, 2010). Meski dalam kondisi-kondisi tertentu wawancara dapat dilakukan secara tatap muka, ada kencenderungan proses pengumpulan data ini dilakukan menggunakan korespondensi email atau aplikasi chatting (García-Álvarezdkk., 2015; Kozinets, 2002, 2006). Observasi juga hanya dapat dilakukan dengan mengamati percakapan yang tampak terjadi di ruang terbuka milik komunitas (García-Álvarezdkk., 2015; Kozinets, 2002, 2006). Minim gimik dan raut wajah yang mampu diamati dalam proses komunikasi. Cermatan dapat dilakukan pada penggunaan simbol dan tanda yang dari percakapan, interaksi, komunikasi, dan segenap kehidupan dalam komunitas..
 
Segenap tantangan ini bukan menjadi penghalang bagi periset etnografi di dunia maya internet. Hal justru harus dijawab dengan menghadirkan sebuah metode etnografi di dunia maya internet yang cemat (Garciadkk., 2009). Upaya ini penting dilakukan karena di masa yang akan datang, dunia maya internet bukan sebuah ranah yang terpisah dari kehidupan nyata sosial manusia. Ruang dan waktu ini berbaur dengan realitas kehidupan manusia (Lifton & Paradiso, 2010). Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah pengguna dan waktu penggunaan internet setiap tahunnya. Demikian juga dengan kultur para pengguna internet yang bergerak dinamis seiring dengan perkembangan teknologi dan dinamika sosial yang terjadi diantara pengguna (Garciadkk., 2009).
 
Beberapa riset telah menunjukan telah menunjukan perubahan perilaku dan kultural yang terjadi pada pengguna internet. Misal, para pembaca berita terutama di dunia maya internet cenderung menjadi pembaca cepat . Mereka bukan tergolong sebagai orang yang membaca secara mendalam, melainkan hanya membaca inti pemberitaan yang tersaji di judul dan halaman pertama Internet. Jurnalisme di dunia ini juga perlahan berubah. Tuntutan ini mendorong ada media massa yang lebih menekan kepada konsep what, when, dan where dibanding memenuhi konsep what, when, where, who, why, whom, dan how (Anggoro, 2012). Keadaan ini dipicu kemelimpahan informasi yang ada di dunia maya internet sehingga mendorong untuk dapat mengonsumsi informasi sebanyak mungkin.
 
== Mengenal Netnografi<ref name=":0">Pratama, B.I.P. (2016). ''Etnografi Dunia Maya Internet.'' Malang: UB Press</ref> ==