Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k regexp replacement(s), replaced: ada kalanya → adakalanya
Usersyn (bicara | kontrib)
k typo, replaced: nasehat → nasihat (14) using AWB
Baris 7:
Halangan dan rintangan banyak yang harus diatasi oleh manusia pelaut, tetapi justru semua halangan ini pulalah yang akan dapat membentuk dan menciptakan sifat-sifat ketabahan, kelincahan, penuh aktivitas dan dinamika, posift aktif dan semangat tidak mudah menyerah (nrimo) kepada keadaan, suatu gambaran jiwa ambivalent atau sifat ambiguous yang senantiasa akan melekat pada setiap orang yang berjiwa pelaut dan berkecimpung dalam dunia bahari. Lautan akan membentuk jiwa seseorang menjadi lincah dan bergolak senantiasa, seperti keadaan lautan itu sendiri yang tidak pernah diam bahkan dikatakan orang akan kembali kepada arus asal setelah berkeliling beberapa waktu lamanya.
 
Lautan akan senantiasa mengajar seseorang berlaku tabah dan secara berlanjut berusaha meneruskan hidupnya antara pergolakan dan ketenangan atau secara nyata antara kemungkinan hidup dan ancaman maut. Ketabahan seorang pelaut adalah sikap dan ketenangan jiwa dalam menghadapi cobaan dan ancaman maut. Ketabahan seorang pelaut adalah sikap dan ketenangan jiwa dalam menghadapi cobaan can ancaman maut di lautan luas dan buas dengan hasil yang belum dapat ditentukan. Pada waktu yang bersamaan dia juga tidak akan merasa cepat tunduk kepada situasi dan kondisi dikarenakan perjuangan mempertahankan hidup baik secara aktif maupun pasif, lebhi-lebih kalau sudah berada di tengah lautan dan mempertahankan haluan dan keselamatan kapal dan awaknya di waktu saat genting mengancam. Oleh karena itulah semangat dan jiwa pelalut sedikit banyak memang mengandung unsur-unsur spekulatif dan petualangan dan dapat dikatakan sifat adu untung. Seorang pelaut di tengah laut tidak akan dapat meminta nasehatnasihat pada orang lain, dia adalah berdiri sendiri dan dia harus daspat melaksanakan suatu keputusan yang telah dipertimbangkan masak-masak dalam waktu singkat, karena aksi yang terlambat akan berarti jiwa dan beda sebagai penggantinya. Bagi orang yang berjiwa pelaut akan selalu mengambil pedoman hidup "better a wrong decision than no decision at all" atau " lebih baik mengambil keputusan yang salah daripada tidak ada keputusan sama sekali".
 
Lebih jauh lagi karena faktor-faktor tersebut di atas dia menjadi cinta sekali kepada kapalnya sehingga apabila ia dalam keadaan gawat di tengah laut selalu mempunyai pedoman bahwa ia akan tenggelam bersama kapalnya. Ini yang merupakan ciri khas dari jiwa pelaut, sehingga sering diungkapkan dalam syair atau pantun yang menggambarkan betapa melekatnya jiwa pelaut bagi seseorang yang selalu berkecimpung di laut, bahkan dengan perahu layar dan alat-alat yang sangat sederhana mereka mengarungi lautan luas dan penuh bahaya dalam perantauannya ke berbagai pulau. Mereka menjadi pelaut yang berani dan pedagang yang ulet. Aspek kelautan telah begitu mempengaruhi insan di sekitarnya untuk menggerakkannya dan mempergunakannya sebagai salah satu kehidupan dan penghidupannya, sehingga tidak jarang hal ini tercermin dalam syair, pepatah atau pantun. Di samping ketangkasan mereka menguasai lautan, mereka juga mengembangkan hukum pelayaran dan ilmu pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan laut itu sendiri.
Baris 251:
Walaupun Jepang mendapat kemenangan tetapi ia tidak dapat melanjutkan strateginya karena kekalahan dalam pertempuran selanjutnya seperti pertempuran Santa Cruz (Oktober 1942), Pertempuran laut Tassafaronga (November 1942), sehingga dalam pertempuran-pertempuran di Kepulauan Solomon secara keseluruhan Jepang menderita kekalahan. Dengan demikian pertempuran laut Pulau Savo yang merupakan kemenangan gilang gemilang dari Jepang di antara pertempuran-pertempuran yang berlangsung di Kepulauan Solomon tiak dapat mengubah keseimbangan kekuatan di Samudera Pasifik yang sekarang ada di pihak Amerika Serikat, meskipun dalam pertempuran itu bagi Amerika Serikat, merupakah kekalahan yang paling parah yang pernah dialami oleh armadanya, sehingga akibat kelalahan ini Amerika Serikat menarik semua kapal perang da kapal transportnya ke New Hebrides. Jadi kemenangan Jepang di Savo tak dapat mengubah Jepang dari sifat defensif ke ofensif kembali, seperti pada bulan-bulan pertama sejak pecahnya Perang Pasifik.
 
Kejadian-kejadian di atas menimbulkan keinsyafan bagi Jepang, bahwa ia memerlukan kerjasama dengan penduduk-penduduk di daerah-daerah yang ditaklukkan untuk mewujudkan terciptanya "Lingkungan Kesemakmuran Bersama Asia Timur Raya". Keinsyafan tersebut merupakan titik peralihan yang penting pada sikap Jepang terhadap bangsa-bangsa yang ditaklukkan. Untuk menarik simpati bangsa-bangsa yang diduduki maka pemerintah Jepang memberi beberapa konsesi kepada daerah-daerah yang diduduki, antara lain dengan dibentuknnya badan pemerintahan (badan penasehatpenasihat) yang seolah-olah merupakan tahap pertama realisasi dari janji-janji Jepang. Tindakan-tindakan Jepang tersebut sebetulnya mempunyai latar belakang strategi yaitu daerah Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara umumnya yang semula dijadikan sebagai home front, dengan terdesaknya kedudukan Jepang di front Pasifik maka daerah-daerah tersebut akan dijadikan perbentengan yang kuat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan bantuan dari rakyat-rakyat di daerah tersebut sepenuhnya. Jadi jelas bahwa konsesi-konsesi yang diberikan oleh Jepang kepada Bangsa Indonesia bersumber kepada kepentingan Jepang pada Perang Pasifik.
 
== Terdesaknya Jepang dan Pembentukan Organisasi Militer. ==
Baris 258:
Para konferensi kerajaan pertama yang diadakan pada bulan Mei 1943 antara lain dibahas masa depan Indonesia dan timbullah perbedaan pendapat antara Tokyo dan Tentara ke 16 di satu pihak tentara ke 25 di pihak lain. Tentara ke-16 berpendapat bahwa perlu segera memberi kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia, sebaliknya tentara ke-25 menentang semua pemberian kemerdekaan dalam bentuk apapun. Menurut perwira-perwira tentara ke 25 penduduk dianggap belum cukup berkembang secara sosial dan kebudayaan, untuk mengambil tanggung jawab pemerintahan sendiri. Sebagai kompromi dari dua pendapat yang berbeda itu disetujui bahwa tidak satupun dari bagian Indonesia yang diberi kemerdekaan tetapi partisipasi politik dapat dibenarkan secara segera untuk Jawa dan daerah-daerah lain sesuai kesiapan masing-masing.<ref name=":3">{{Cite book|title=Modern Indonesia Project|last=Cornel|first=Cornel|date=1971|publisher=Ithaca|isbn=|location=New York|pages=28|url-status=live}}</ref>
 
Sesuai dengan keputusan konferensi tersebut maka Tentara ke 16 melalui Gunseikanbu membentuk Dewan PenasehatPenasihat Pusat (Tyuo Sangi In) yang diketuai oleh Sukarno. Dewan PenasehatPenasihat tersebut juga dibentuk di tingkat Propinsi dan karesidenan (Syu Sangi Kai). Di samping Dewan PenasehatPenasihat di Jawa sebelum tahun 1943 telah terbentuk berbagai gerakan massa seperti PUTERA akan berubah menjadi Jawa Hokokai dan MIAI menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia)
 
Memburuknya kedudukan militer Jepang sejak 1944 memaksa suatu perubahan politik pada bulan Mei 1943. P.M Koisho pada tanggal 7 September 1944 secara umum menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di kelak kemudian hari. Mengani batas-batas teritorial adri negara yang akan dibentuk belum dapat ditentukan sebab adanya penolakan dari Angkatan Laut dan juga dari Tentara ke 25, hanya untuk Sumatera dan jawa akan segera diizinkan untuk menggunakan bendera nasional Indonesia dan lagu kebangsaan Indonesia yang telah populer sebelum perang.
Baris 268:
Antara sidang pertama dan sidang kedua, yaitu pada tanggal 22 Juni 1945 lahirlah apa yang dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter", yang ditandatangani oleh 9 tokoh pergerakan nasional.<ref>9 tokoh itu tergabung dalam panitia kecil yang merupakan penyusunan dari Pagam Jakarta. Panitia kecil yang beranggotakan 9 orang itu semuanya adalah anggota-anggota Dokuritsu Djumi Tjosakai, yaitu : Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Yamin, Mr. A. Suhardjo, Mr. A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakkir, Wachid Hasim, H. Agoes Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso.</ref> Jakarta Charter lahir sebagai reaksi terhadap siasat Jepang melalui Badan Persiapan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan tentang janji kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari. Demikianlah piagam tersebut memperlihatkan corak dan warna dari ketetapan hati pejuang cita-cita kemerdekaan Indonesia dengan tidak dikaburi janji dan ucapan yang muluk-muluk dengan apa yang dinamakan kemerdekaan hadiah. Di samping naskah Proklamasi, Jakarta Charter merupakan dokumen historis yang sangat penting artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia, sebab perumusan UUD 45 yang meliputi pembukannya, mempergunakan Piagam Jakarta sebagai dasar perumusannya. Dan UUD 45 yang kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI), Pembukaannya adalah Piagam Jakarta yang telah mengalami beberapa perubahan. Karena Piagam Jakarta mengandung azas-azas yang kemudian terkenal dengan Pancasila, maka Pembukaan 45 pun mengandung azas tersebut. Sehingga secara yuridis peranan Piagam Jakarta tampak jelas dalam UUD 45, khususnya pada Pembukaannya, juga karena Pancasila akhirnya menjadi filsafat negara, maka secara filosofis Piagam Jakarta pun mempunyai arti yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Piagam Jakarta menunjukkan bahwa dokumen tersebut tidak dapat diabaikan oleh Bangsa Indonesia. Hal ini tampak jelas disebut dalam konsiderans Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45. Demikianlah pentingnya piagam itu sehingga sampai pada sidang-sidang Umum MPRS hal itu tetap m erupakan soal hangat. Pada sidang kedua Dokuritsu Djumbi Tjosakai piagam tersebut telah disahkan di samping menerima rancangan Hukum Dasar. Setelah tugas Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan dianggap selesai maka pada bulan Juli 1945 Badan tersebut diubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Djumbi Inkai dengan ketuanya Ir. Sukarno dan wakilnya Drs. Moh Hatta.
 
Tentara ke 25 yang menguasai Sumatera dengan alasan yang dicari-cari berusaha untuk menghambat instruksi Tokyo yang berhubungan dengan pemberian kelonggaran-kelonggaran terhadap bangsa Indonesia dan menindas segala gerakan kemerdekaan dengan mengadakan isolasi yang ketat terhadap karesidenan-karesidenan. Di Sumatera Tentara ke 25 dengan enggan menyetujui pembentukan badan-badan penasehatpenasihat tingkat karesidenen (Syu Sangi Kai) yang keseluruhannya berjumlah sepuluh. Walaupun Syu Sangi Kai telah dibentuk pada bulan November 1943 tetapi badan tersebut tidak mempunyai kebebasan bergerak seperti badan sejenis di Jawa. Syu Sangi Kai sidang dua kali dalam satu tahun dan hanya untuk memberi beberapa pertimbangan erhadap beberapa masalah politik yang tidak begitu penting yang dikemukakan oleh residen Jepang (Syu Chokan). Berbeda dengan di Jawa yang mempunyai organisasi pusat maka di Sumatera Badan PenasehatPenasihat Pusat tidak dibentuk, yang ada hanya tingkat karesidenan. Keanggotaan Syu Sangi Kai mewakili kekuatan-kekuatan : politik dalam masyarakat (kaum pergerakan) dan wakil dari pemerintahan (pamong praja dan raja) yang susunannya diatur sedemikain rupa sehingga tidak menimbulkan pertentangan-pertentangan politik.
 
Pada waktu yang bersamaan dengan berdirinya Dewan PenasehatPenasihat tadi, organisasi-organisasi Propaganda<ref>Di Sumatera Timur didirikan pada tanggal 28 Nopember 1943 dikenal sebagai BOMA (Badan Oentoek Membantoe Pertahanan Asia), di Aceh MAIBKATRA (Majelis Agama Islam Untuk Bantuan Kemakmuran Asia Timur Raya di Aceh) didirikan untuk memimpin Muslim pada bulan Maret 1943, di Tapanuli mempunyai BAPEN (Badan Pertahanan Negeri); Sumbar-Gyugun Koen-Kai. Kecurigaan dari kaum politik di Palembang yang kemudian diikuti dengan penahanan massal pada bulan September 1943 secara mencolok telah mencegah pembentukan badan itu.</ref> mulai tumbuh di beberapa karesidenan di Sumatera dengan maksud untuk mengawasi ahli-ahli politik dan kaum pembaru muslim dari pergerakan dan mempergunakan mereka sebagai lawan yang berat terhadap kekuasaan administrasi kerajaan. Di Palembang, Lampung, Sumatera Barat, Tapanuli dan Aceh organisasi-organisasi seksi ini dilebur ke dalam Hokokai yang lebih besar atau disebut Badan Kebaktian Rakyat pada permulaan tahun 1945. Organisasi-organisasi yang terakhir ini mencontoh Jawa Hokokai dengan dua tujuan yang sama yaitu melunakkan pergerakan dan kedua menimbulkan/memperbesar front yang lebih luas terhadap mendaratnya Sekutu. Tetapi Badan Kebaktian Rakyat di Sumatera berbeda dengan Jawa Hokokai, karena Badan Kebaktian rakyat di Sumatera seperti semua organisasi dengan tegas membatasi diri pada tingkatan karesidenan.
 
Pernyataan Koisho mempunyai pengaruh penting di Sumatera sebagai tanda kontras dari konsesi Jepang sebelumnya. Sesuai dengan pernyataan PM Koisho maka pemimpin-pemimpin Jepang di Sumatera memberi banyak kesempatan kepada Bangsa Indonesia untuk mengambil peranan penting dalam berbagai bidang, walaupun hal tersebut dilakukan secara tidak ikhlas karena bertentangan dengan pendirian mereka. Hal tersebut lebih jelas terlihat pada usul-usul yang diajukan oleh perwira-perwira Tentara ke-25 yang pada prinsipnya menghendaki agar dalam mepersiapkan kemerdekaan Bangsa Indonesia daerah Sumatera dipisahkan dari Jawa. Dalam suasana yang belum ada persesuaian pandapat antara pemimpin-pemimpin Jepang di Jawa dan Sumatera maka terjadilah usaha-usaha penundaan selama mungkin setiap penyerahan hak kepada bangsa Indonesia.
Baris 280:
Rapat-rapat ini memberikan sumbangan sedikit pada pertumbuhan kepimimpinan yang luas bagi kaum pergerakan di Sumatera karena pengawasan politik sangat mencekik yang dilakukan oleh Jepang di Sumatera. Sebagai contoh, orang Aceh Teuku Moh. Hasan dari Glumpang Pajong ditunjuk sebagai pemimpin dari delegasi Sumatera ke Jepang pada pertengahan kedua dari tahun 1943 telah ditahan dan dibunuh beberapa bulan setelah ia kembali di Indonesia.<ref name=":3" />
 
Konsesi pertama terhadap persetujuan perkembangan dari pemimpin-pemimpin politik di tingkat Sumatera diumumkan pada tanggal 24 Maret 1945 bahwa Tjuo Sangi In Sumatera (Sumatran Central Advisery Council) akhirnya didirikan hampir dua tahun sesudah badan serupa berdiri di Jawa. Lima belas anggotanya dipilih dari 10 daerah yang ada dan pada tanggal 17 Mei 1945 Jepang yang berada di Bukittingi menunjuk tambahan 25 anggota. Sebagai biasanya perbandingan yang seimbang dijaga antara anggota-anggota dari kelompok oposisi di wilayah-wilayah yang penting. Pada akhir Mei Gunseikanbu di Bukittinggi mengumumkan penunjukannya. Mohammad Syafei pendiri Indische Nationale School (INS) untuk guru di Kayu Taman (Sumatera Barat), telah ditunjuk sebagai ketua dari Dewan PenasehatPenasihat Pusat yang akan datang bersama dengan T. Njak Arif dari Aceh dan mr. Abdul Abbas dari Lampung sebagai wakilnya. Sebuah badan sekretariat tetap dewan tersebut didirikan dan dipimpin oleh wartawan Sumatera terkenal Djamaluddin Adinegoro, yang telah pindah dari Medan ke Bukittingi dan mendaftarkan kembali kursi pemilihannya dalam lembaga. Keempat orang ini yakni : Moh. Sjafei, T. Njak Arif, Mr. Abdul Abbas dan D. Adinegoro oleh pers Jepang disebut-sebut selama bulan Juni-Juli sebagai "Empat Serangkai dari Sumatera" dan dapat dibandingkan dengan team Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, KH Mas Mansur di Jawa.<ref name=":3" />
 
Pada tanggal 27 Juni - 2 Juli 1945 Dewan PenasehatPenasihat Pusat menyerahkan serangkaian resolusi yang memerlukan pendirian lebih lanjut di seluruh tingkatan Sumatera antara lain:
 
a. Suatu panitia yang disiapkan untuk kemerdekaan.
Baris 298:
Semangat kesatuan dari para pejuang di Sumatera adalah teguh/kuat. Sebaliknya semangat memecah belah Sumatera dari Kesatuan Indonesia sudah jelas ditentang.
 
Jepang tampaknya telah menunjukkan kesiapan mereka untuk melksanakan semua resolusi dewan. Mereka mengumumkan juga formasi dari sebagian panitia Sumatera untuk Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan dengan perbandingan lebih menitikberatkan kepada para cerdik pandai dari kaum pergerakan dan kerajaan. Mereka juga membuat suatu permulaan yang hati-hati terhadap pembentukan suatu gerakan persatuan Islam dengan memperluan Majelsi Islam Tinggi Sumatera Barat ke daerah lain dan menunjuk Sjech Mohammad Djamil Djambek penasehatpenasihat pada masalah Islam untuk seluruh Sumatera. Tetapi segala gerakan yang hati-hati itu secara cepat disusul oleh kejadian-kejadian dalam bulan Agustus.
 
Menit-menit terakhir usaha untuk membentuk kepemimpinan Sumatera adalah sangat penting. Sjafei dan Adinegoro mengepalai suatu emrio birokrasi Sumatera dengan mengadakan hubungan ke seluruh pula dan surat kabarpun telah membuat nama-nama mereka dikenal di tiap daerah. Pada tanggal 25 Juli 1945 mereka juga ditunjuk sebagai ketua dan sekretaris dari Panitia pada PPPKI da nselanjutnya mereka mulai mengadakan "pidato" keliling Sumatera. pada bulan-bulan terakhir penduduk Jepang juga harus diperhatikan tokoh Dr. A.K. Gani sebagai politikus nasional yang berasal dari Sumatera yang telah banyak dikenal sebelum perang.
 
Pada pengiriman delegasi Sumatera ke PPPKI pada permulaan bulan Agustus 1945 sedianya Sumatera dalam panitia itu akan diwakili oleh M. Sjafei sebagai Ketua Sumatera Tjuo Sangi In tetapi dalam kenyataannya yang dikirim adalah Mr. Abdul Abbas dan dua orang lainnya yakni Dr. Moh. Amir dan Mr. T.M. Hassan, walaupun kedua orang yang disebut belakangan ini belum menjadi dewan PenasehatPenasihat Pusat Sumatera (Tjuo Sangi In Sumatera). Hal ini tidak dapat diterangkan, mengapa pengiriman delegasi Sumatera sampai demikian seperti tersebut di atas, padahal dapat ditunjuk Dr. A. K. Gani yang merupakan tokoh nasional yang telah dikenal di Sumatera. Kemungkinan hal ini disebabkan pimpinan tertinggi Jepang di Singapura dan Jakarta tidak mempercayai kebijakan pimpinan tertinggi Jepang di Sumatera.
 
Tiga orang delegasi Sumatera tiba di Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1945 bersamaan dengan pesawat pembom Jepang yang mengangkut Sukarno dan Hatta dari Saigon. Di Jakarta delegasi tersebut telah menjadi saksi proklamasi kemerdekaan yang dramatis yang diikuti dengan menyerahnya Jepang dan mereka telah ikut berperan dalam menyusun Undang-Undang dan pemerintahan.
Baris 374:
Suatu lembaga pendidikan yang masih termasuk aspek kelautan ialah pendidikan Penerbangan Angkatan Laut (Kaigun Kukosyo). Untuk memenuhi kebutuhan satuan Udara Angkatan Laut Jepang di Indnesia akan tenaga-tenaga skill bangsa Indonesia, maka oleh pemerintah Jepang dibuka tempat-tempat latihan bagi calon-calon penerbangan bangsa Indonesia yakni Kaigun Kukosyo pada tahun 1944 di Surabaya. Untuk angkatan pertama kurang lebih 60 orang pemuda Indonesia yang telah lulus dari test kesehatan dan memiliki ijazah SLP. Lama pendidikan 1 tahun terdiri atas bagian penerbangan mesin dan markonis, tetapi Kaigun Kukosyo Surabaya yang langsung dibina oleh Kaigun belum berhasil menamatkan pelajar penerbangannya.
 
Dengan makin terdesaknya Jepang dari medan pertempuran maka Jepang memberikan konsesi-konsesi politik yang tampaknya lebih maju dengan apa yang pernah diberikan oleh Belanda selama masa penjajahannya di Indonesia. Dalam bidang perwakilan rakyat, telah dibentuk badan penasehatpenasihat baik bertingkat karesidenan (SyuSangi Kai) dan tingkat pusat (Tyo Sangi In). Namun pembentukan badan inipun masih mempertimbangkan hal-hal lain seperti kemajuan/kesiapan daerah dan lain-lain, karna ternyata hanya di Jawa dan Sumatera saja badan-badan itu dibentuk. Sejalan dengan pembentukan badan-badan itu, Jepang memberikan jabatan-jabatan (kedudukan) yang tinggi kepada bangsa Indonesia seperti kedudukan Residen, Gubernur, Kepala Departemen dan lain-lain.<ref>Ir. Sukarno, Mr. R. Supomo dan Mr. Muh. Yamin berturut-turut adalah orang-orang yang duduk dalam Departemen Urusam Umum, Departemen Kehakiman, Departemen Penerangan & Propaganda. Sedang Sutardjo Kartohadikusumo, S. Budhiarto dan Singgih masing-masing sebagai Gubernur dari Jakarta, Madiun dan Malang.</ref> Kedudukan-kedudukan tersebut tidak pernah dijabat oleh Bangsa Indonesia pada waktu pemerintah kolonial Belanda, sehingga hal ini akan mempunyai arti yang penting, karena sejak proklamasi kemerdekaan dicetuskan, pengalaman mereka sangat berguna dalam rangka menyusun aparatur dan menggerakkan roda Pemerintahan RI.
 
Konsesi-konsesi tersebut di atas pada hakekatnya bukan keluar dari hati nurani yang bermaksud memajukan bangsa Indonesia, tetapi atas dasar pertimbangan Perang Asia Timur Rayanya semata-mata, dan atas dasar pertahanannya, karena sekarang Jepang bukan lagi pada pihak penyerang (ofensi) tetapi pihak yang kalah dan kemudian bertahan (defensif). Jepang sadar bahwa bahwa tanpa konsesi-konsesi politik itu tak mungkin dapat menarik (mengikutsertakan) rakyat setempat untuk turut aktif dalam perang sucinya yang kian lama terpaks harus menggunakan bantuan sebesar-besarnya baik material dan tenaga manusia dari daerah -daerah yang dijajah. Dengan kata lain konsesi politik yang diberikan kepada bangsa-bangsa yang dijajah termasuk Indonesia, tujuan utamanya untuk memperlancar tujuan akhir Jepang yaitu Kemenangan Perang Asia Timur Raya.
Baris 574:
Sekembalinya dari Pegangsaan Timur 56 barisan pemuda pelaut tidak kembali ke asrama Kali Besar tetapi kemudian membentuk Markas di gedung Wakaba yang sekarang digunakan untuk SKKP/SKKA di jalan Dr. Sutomo. Pada minggu pertama setelah proklamasi kemerdekaan pemuda pelaut mengadakan kegiatan bersama dengan pemuda Menteng Raya 31 menjaga di tempat-tempat yang strategis dan mengadakan aksi-aksi yang terkenal dengan "siap". Pada akhir bulan Agustus lahirlah badan-badan perjuangan bersenjata di kota Jakarta dan pemuda-pemuda di Asrama Menteng 31 kemudian membentuk barisan Banteng.
 
Untuk meningkatkan gerak juangnya perlu disusun suatu badan perjuangan dan karena selama ini banyak berafiliasi dengan pemuda asrama Menteng Raya 31 yang telah menjelama menjadi Barisan Banteng maka pemuda pelaut kemudian menjadi Barisan Banteng Laut. Markas Barisan Banteng Laut tetap berada di Gedung Wakaba dan dipimpin oleh seorang bekas guru SPT yakni Abdul Latif dan sebagai wakil ditunjuk S. Bagio siswa SPT tertua, sedangkan Oentoro Koesmardjo sebagai penasehatpenasihat. Barisan Banteng Laut di samping bertugas di daerah Jakarta pusat juga menadakan pos-pos penjagaan di daerah Penjaringan Pasar Ikan. Dilihat dair kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Barisan Banteng Laut yaitu menjaga keamanan di kampung maka mirip dengan fungsi Hansip sekarang ini, hanya organisasinya tidak serupa Hansip.
 
Di samping mengadakan kegiatan-kegiatan di darat bersama-sama kelompok pemuda lainnya, pemuda pelaut di Jakart juga mengadakan kegiatan-kegiatan di laut untuk membantu Pemerintah Pusat. Pada akhir bulan Agustus 1945 pemuda-pemuda pelaut berhasil menguasai beberapa kapal yaitu Jawa Unko Kaisya di Pasar Ikan yang kemudian dipergunakan untuk membawa anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan pemimpin-pemimpin lainnya kembali ke Sumatera dalam rangka penyiaran Proklamasi dan pembentukan Pemerintah. Di antara pemuda pemuda pelaut yang membawa kapal tersebut ialah Kusnaedi Bagdja dan Sutedjo Ismail yang berlayar ke daerah Sumatera Timur.