Hadisoebeno Sosrowerdojo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k →‎top: clean up using AWB
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 41:
}}
 
'''Hadisubeno Sosrowerdojo '''([[Kabupaten Pacitan|Pacitan]],11 Februari 1912<ref name=":0">{{Cite web|url=http://www.konstituante.net/id/profile/PNI_Hadisubeno_sosrowerdojo|title=R.M. Hadisubeno Sosrowerdojo - PNI (Partai Nasional Indonesia) - Profil Anggota - Konstituante.Net|website=Konstituante.Net|access-date=2018-10-06}}</ref>- [[Kota Semarang|Semarang]], 24 April 1971<ref name=":1">{{Cite news|url=http://soeharto.co/Hadisubeno-meninggal-dunia|title=Hadisubeno MENINGGAL DUNIA - Soeharto|date=2016-12-14|newspaper=Soeharto|language=id-ID|access-date=2018-10-06}}</ref>) adalah politikus [[Partai Nasional Indonesia|Partai Nasional Indonesia (PNI)]] yang pernah menjabat sebagai [[Daftar Wali Kota Semarang|Walikota Semarang]] pada 1951 hingga 1955 dan [[Daftar Gubernur Jawa Tengah|Gubernur Jawa Tengah]] pada tahun 1960. Ia juga pernah menduduki jabatan sebagai anggota [[Konstituante|Konstituante RI]] hasil [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955|Pemilihan Umum 1955]].<ref name=":0" /> Selain itu, ia merupakan mertua dari mantan Ketua Umum [[Partai Demokrasi Indonesia|PDI]] era [[Orde Baru]], [[Soerjadi (politisi)|Soerjadi]].
 
Ia dikenal dengan kalimat "Sepuluh [[Soeharto]], sepuluh [[Abdul Haris Nasution|Nasution]] dan segerobak Jenderal, tidak dapat menyamai satu [[Soekarno]]". <ref name=":2">{{Cite web|date=2019-09-28|title=PNI Pasca-Peristiwa 1965|url=https://historia.id/politik/articles/pni-pasca-peristiwa-1965-PG8lK|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2020-11-27}}</ref>
 
== Riwayat Hidup ==
Ia pernah menempuh pendidikan [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs|MULO]] di [[Kota Cirebon|Cirebon]], [[Algemeene Middelbare School|AMS]] di Semarang dan [[MOSVIA]] di [[Kota Magelang|Magelang]].<ref name=":1" />
 
== Karier Politik ==
Semasa menjadi wali kota Semarang, ia pernah dikenal berhasil membangun [[Tugu Muda|Monumen Tugu Muda]] yang terletak di Lapangan Wilhelmina yang berada di kawasan [[Lawang Sewu]] yang diresmikan pada tanggal 20 Mei 1953.<ref>{{Cite news|url=https://majalahkreatif.wordpress.com/suara-umum/semarang-sepanjang-sejarah-2/|title=Semarang Sepanjang Sejarah|date=2016-06-06|newspaper=majalah kreatif|language=id-ID|access-date=2018-10-07}}</ref>
 
Setelah tidak menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, ia tetap aktif di kepartaian.
Ia dikenal dengan kalimat "Sepuluh [[Soeharto]], sepuluh [[Abdul Haris Nasution|Nasution]] dan segerobak Jenderal, tidak dapat menyamai satu [[Soekarno]]". Ia pernah menempuh pendidikan [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs|MULO]] di [[Kota Cirebon|Cirebon]], [[Algemeene Middelbare School|AMS]] di Semarang dan MOSVIA di [[Kota Magelang|Magelang]].<ref name=":1" /> Selain itu, ia pernah dituduh menjadi calon [[Daftar Menteri Dalam Negeri Indonesia|Menteri Dalam Negeri]] dalam susunan kabinet [[Dewan Jenderal]] yang keluar sebelum [[Gerakan 30 September|Peristiwa 30 September]].
 
=== Peristiwa 30 September 1965 ===
IaKetika dikenalterjadi dengankericuhan kalimatterkait "SepuluhPeristiwa 30 [[Soeharto]]September, sepuluholeh [[Abdulbeberapa Hariskalangan Nasution|Nasution]]ia dantermasuk segerobakke Jenderal,dalam tidak"Marhaen dapatGadungan" menyamai(atau satuPNI [[Soekarno]]".non IaPNI pernahA-Su) menempuhbersama pendidikandengan [[MeerHardi Uitgebreid(ahli Lagerhukum Onderwijs|MULO]]dan dimantan [[KotaWakil Cirebon|Cirebon]],Perdana [[AlgemeeneMenteri Middelbare1957 School|AMS]]dan di1959) Semarangkarena dandianggap MOSVIAmenentang dikeputusan [[KotaPresiden Magelang|Magelang]]Soekarno pada saat itu.<ref name=":12" /> SelainMeskipun itudemikian, ia pernah dituduh menjadi calon [[Daftar Menteri Dalam Negeri Indonesia|Menteri Dalam Negeri]] dalam susunan kabinet [[Dewan Jenderal]] yang keluar sebelum [[Gerakan 30 September|Peristiwa 30 September]].
 
Meskipun dianggap berseberangan dengan PNI [[Ali Sastroamidjojo]]-Surachman, Ia menunjukkan kekagumannya pada Soekarno secara frontal. Hal ini bisa dilacak dalam pidatonya pada saat Apel Siaga PNI di [[Kridosono|Stadion Kridosono, Yogyakarta]] pada bulan Juni 1966. Hadisubeno mengatakan bahwa apapun yang terjadi, Presiden sukarno masih dicintai rakyatnya.<ref name=":2" />
 
=== Pasca 30 September 1965 (Ketua umum PNI) ===
Meskipun demikian, ia menjadi salah satu pihak yang terjebak oleh permainan politik Soeharto melalui [[Ali Moertopo]]. Dalam Kongres Persatuan, April 1966, [[Hardi (menteri)|Hardi]] dan Hadisubeno berhasil menguasai partai. Menurut [[Harold Crouch]] dalam ''Militer dan Politik di Indonesia'', Soeharto bermaksud untuk mempertahankan PNI supaya berada di bawah kepemimpinannya. Ia pun menunjuk [[Osa Maliki Wangsadinata|Osamaliki]] sebagai pemimpin PNI. Sayang, Osamaliki wafat pada tahun 1971 sehingga pemerintah saat itu mengawasi betul PNI dalam pemilihan pemimpin baru.<ref name=":2" />
 
Dua kandidat kuat dalam pemilihan ketua umum PNI adalah Hardi dan Hadisoebeno. Pihak pemerintah mencurigai Hardi akan bekerjasama dengan partai-partai lain untuk menentang tentara. Oleh karena itu, pemerintah menginginkan Hadisubeno menjadi ketua umum. Dalam kongres partai yang diadakan di Semarang pada April 1970, Ali Murtopo selaku asisten pribadi presiden menugaskan asisten pribadinya untuk memastikan kemenangan Hadisubeno. Asisten Ali itulah yang menyebarkan desas-desus kalau Hadisubeno tidak dimenangkan dalam kongres tersebut, siap-siap saja PNI akan dibubarkan. Pada akhirnya, Hadisubeno terpilih sebagai ketua umum PNI.<ref name=":2" /> Seorang pendukung Hardi kemudian menulis dalam harian partai, ''Suluh Marhaen,'' bahwa dalam kongres terdapat campur tangan pihak [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat|Angkatan Darat]]. Mereka menekan anggota kongres untuk menuruti keinginan pemerintah memenangkan Hadisubeno.
 
Dengan adanya dukungan dari pemerintah, PNI bermaksud untuk memberikan timbal balik dengan menunjukkan bahwa pendukung PNI masih banyak. Salah satu harapannya, setelah [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1971|Pemilihan Umum 1971]] Soeharto menunjuk seorang pemimpin dari PNI untuk menjadi wakil presiden. Namun demikian, kampanye yang dilakukan PNI menimbulkan ketegangan antara PNI dan pemerintah. Hadisubeno yang sebelumnya dianggap penurut, mengundang kewaspadaan penguasa ketika dengan bersemangat melancarkan kampanye anti-[[Partai Golongan Karya|Golkar]] dan menyatakan kedekatan hubungan antara PNI dengan Sukarno. Manuver Hadisubeno terbilang nekat karena kala itu terdapat larangan [[Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban|Kopkamtib]] tentang penyebaran ide-ide Sukarno. Hadisubeno menantang pemerintah untuk membubarkan PNI kalau larangan tersebut diberlakukan. Bahkan ia mengucapkan salah satu kalimat legendaris “Sepuluh Soeharto, sepuluh Nasution, dan segerobak penuh jenderal tidak akan dapat menyamai satu Sukarno,”
 
Usaha Hadisubeno untuk mendapatkan kembali suara rakyat terputus karena ia meninggal sebelum pemilu dilaksanakan. Harian ''[[Sinar Harapan]]'' edisi Sabtu, 24 April 1971 menyebutkan Hadisubeno meninggal pada Sabtu pukul 7 di [[Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi|RSUP dr. Kariadi, Semarang]] akibat komplikasi pascaoperasi.<ref name=":2" />
 
== Referensi ==