Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 3:
== Keadaan bangunan ==
Rumah ini diperkirakan dibangun pada 1919 dan pemilik awalnya adalah Frederik Bousche, seorang indo Belanda kelahiran [[Delanggu, Klaten]].{{sfnp|Prakosa|2017|p=64|ps=: "Cerita lain terkait hubungan golongan Eropa dengan masyarakat bumiputra datang dari keluarga dr. Frederik Bousche. Keluarga indo Belanda yang pernah bertempat tinggal di ''Julianalaan'' (saat ini di depan Kantor Pos Salatiga) dan dimiliki oleh keluarga dr. R. Hasmo Sugijarto) itu dikenal dermawan (...)"}}{{sfnp|Supangkat|2019|p=8|ps=: "Adalah Frederik Bousche, warga Belanda kelahiran Delanggu yang membeli dua kavling tanah di ''Julianalaan'' pada tahun 1919 dan mendirikan rumah di atasnya dengan gaya ''art deco'' (...)"}} Lokasinya berada di kawasan strategis, yaitu Jalan Moh. Yamin (dahulu bernama ''Julianalaan'').<ref>{{Cite web|url=https://www.solopos.com/wisata-salatiga-ini-11-benda-cagar-budaya-714261|title=Wisata Salatiga: Ini 11 Benda Cagar Budaya|last=Saputra|first=Imam Yuda|date=27 April 2016|website=Solopos|access-date=12 Maret 2020}}</ref>{{sfnp|Supangkat|2012|p=21|ps=: "Beberapa nama jalan lain yang "berbau" Belanda misalnya: ''Koffiestraat'' yang kemudian diganti ''Prins Hendriklaan'' (sekarang Jalan Yos Soedarso), ''Emmalaan'' (sekarang Jalan Adisutjipto), ''Prinsenlaan'' (sekarang Jalan Tentara Pelajar), ''Julianalaan'' (sekarang Jalan Moh. Yamin) (...)"}}''{{sfnp|Harnoko, dkk|2008|p=42|ps=: "Jalan Moh. Yamin ada bangunan-bangunan kolonial, yang kini digunakan untuk rumah tinggal, kantor pos, dan kantor pegadaian (...)"}}'' Pada masa pemerintahan ''gemeente'' (kotapraja), kawasan tersebut berkembang menjadi pusat kota yang dikenal dengan nama ''Europeesche Wijk.{{sfnp|Anwar|2019|p=147|ps=: "Untuk wilayah yang saat ini bernama Jalan Diponegoro, Jalan Yos Sudarso, Jalan Patimura, Jalan Moh. Yamin, pada masa kolonial adalah zona ''Europeesche Wijk'' dihuni oleh orang Eropa yang kaya-raya (...)"}}{{sfnp|Rohman|2020|p=124|ps=: "Pada masa pemerintahan ''gemeente'', kawasan di sekitar rumah dinas asisten Salatiga memang berkembang menjadi pusat kota. Perkembangan ini turut mendorong orang-orang kulit putih untuk menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan elit (...)"}}'' Menurut Prakosa dan Supangkat, kawasan ini hanya boleh ditempati oleh orang-orang Eropa, Timur Asing, dan masyarakat pribumi yang memiliki penghasilan setara dengan pegawai Eropa, yaitu kategori golongan gaji A (gaji tertinggi).{{sfnp|Prakosa|2017|p=27|ps=: "Selain diskriminasi dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, dan hukum, pemerintah kolonial juga membedakan penduduk dalam pola permukiman. Mereka dikelompokkan dalam lokasi tertentu berdasarkan golongan etnis. Golongan Eropa, misalnya, bermukim di sekitar ''Toentangscheweg'' (...)"}} Namun, Supangkat menegarai bahwa ruas ''Julianalaan'' menjadi lokasi alternatif pendirian rumah tinggal itu karena lahan di sekitar Jalan Diponegoro (dahulu bernama ''Toentangscheweg'') mulai padat.{{sfnp|Supangkat|2012|p=35|ps=: "(...) Itulah sebabnya mereka seakan berlomba membangun rumah-rumah dan bangunan dengan arsitektur Eropa yang berhalaman luas di kanan-kiri ''Toentangscheweg'', sampai akhirnya daerah tersebut benar-benar menjadi kawasan permukiman orang Eropa (''Europeesche Wijk'')".}}{{sfnp|Supangkat|2019|p=7-8|ps=: "(...) Dengan adanya ketetapan tersebut
▲Lokasinya berada di kawasan strategis, yaitu Jalan Moh. Yamin (dahulu bernama ''Julianalaan'').<ref>{{Cite web|url=https://www.solopos.com/wisata-salatiga-ini-11-benda-cagar-budaya-714261|title=Wisata Salatiga: Ini 11 Benda Cagar Budaya|last=Saputra|first=Imam Yuda|date=27 April 2016|website=Solopos|access-date=12 Maret 2020}}</ref>{{sfnp|Supangkat|2012|p=21|ps=: "Beberapa nama jalan lain yang "berbau" Belanda misalnya: ''Koffiestraat'' yang kemudian diganti ''Prins Hendriklaan'' (sekarang Jalan Yos Soedarso), ''Emmalaan'' (sekarang Jalan Adisutjipto), ''Prinsenlaan'' (sekarang Jalan Tentara Pelajar), ''Julianalaan'' (sekarang Jalan Moh. Yamin) (...)"}}''{{sfnp|Harnoko, dkk|2008|p=42|ps=: "Jalan Moh. Yamin ada bangunan-bangunan kolonial, yang kini digunakan untuk rumah tinggal, kantor pos, dan kantor pegadaian (...)"}}'' Pada masa pemerintahan ''gemeente'' (kotapraja), kawasan tersebut berkembang menjadi pusat kota yang dikenal dengan nama ''Europeesche Wijk.{{sfnp|Anwar|2019|p=147|ps=: "Untuk wilayah yang saat ini bernama Jalan Diponegoro, Jalan Yos Sudarso, Jalan Patimura, Jalan Moh. Yamin, pada masa kolonial adalah zona ''Europeesche Wijk'' dihuni oleh orang Eropa yang kaya-raya (...)"}}{{sfnp|Rohman|2020|p=124|ps=: "Pada masa pemerintahan ''gemeente'', kawasan di sekitar rumah dinas asisten Salatiga memang berkembang menjadi pusat kota. Perkembangan ini turut mendorong orang-orang kulit putih untuk menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan elit (...)"}}'' Menurut Prakosa dan Supangkat, kawasan ini hanya boleh ditempati oleh orang-orang Eropa, Timur Asing, dan masyarakat pribumi yang memiliki penghasilan setara dengan pegawai Eropa, yaitu kategori golongan gaji A (gaji tertinggi).{{sfnp|Prakosa|2017|p=27|ps=: "Selain diskriminasi dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, dan hukum, pemerintah kolonial juga membedakan penduduk dalam pola permukiman. Mereka dikelompokkan dalam lokasi tertentu berdasarkan golongan etnis. Golongan Eropa, misalnya, bermukim di sekitar ''Toentangscheweg'' (...)"}} Namun, Supangkat menegarai bahwa ruas ''Julianalaan'' menjadi lokasi alternatif pendirian rumah tinggal itu karena lahan di sekitar Jalan Diponegoro (dahulu bernama ''Toentangscheweg'') mulai padat.{{sfnp|Supangkat|2012|p=35|ps=: "(...) Itulah sebabnya mereka seakan berlomba membangun rumah-rumah dan bangunan dengan arsitektur Eropa yang berhalaman luas di kanan-kiri ''Toentangscheweg'', sampai akhirnya daerah tersebut benar-benar menjadi kawasan permukiman orang Eropa (''Europeesche Wijk'')".}}{{sfnp|Supangkat|2019|p=8|ps=: "(...) Dengan adanya ketetapan tersebut maka banyak orang Belanda membangun gedung-gedung berarsitektur Eropa di sepanjang ruas jalan itu. Ketika sudah tidak ada lahanlagi di sana, ruas ''Julianalaan'' menjadi alternatif yang banyak diburu".}}
Bangunan rumah ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial di Kota Salatiga. Hingga tahun [[2020]], kondisi fisik bangunannya terawat dengan baik. Selain itu, bentuk bangunannya masih asli dengan estetika gaya ''art deco'' Indo-Eropa dan belum pernah mengalami perubahan desain maupun renovasi.<ref name=":0">{{Cite web|url=http://salatigakota.go.id/PariwisataBcb.php|title=Bangunan Cagar Budaya|last=Pemerintah Kota Salatiga|first=|date=tanpa tanggal|website=Pemerintah Kota Salatiga|access-date=12 Maret 2020}}</ref> Bangunan rumah tersebut terdiri atas bangunan induk, paviliun di sisi kiri, serta ruang keluarga yang menunjukkan bahwa penghuninya banyak.{{sfnp|Supangkat|2019|p=7-8|ps=: "Rumah tinggal bergaya ''art deco'' ini bisa disebut sebagai kompleks bangunan, karena selain rumah dan paviliun di sisi kirinya, di belakang masih ada bangunan lagi yang merupakan kesatuan dari rumah tersebut (...)"}} Fondasi yang dipakai adalah batu kali besar dan tinggi untuk menghindari resapan air yang dapat merusak tembok, sedangkan atapnya berbentuk perisai ganda tiga dengan pendopo berbentuk gazebo di sudut bangunan. Bangunan rumah serta pekarangan yang luasnya hingga Jalan Margosari ini mulai ditempati oleh keluarga Hasmo Sugijarto sejak tahun [[1950]]. Sugijarto sendiri memiliki istri yang berprofesi sebagai bidan dan delapan orang anak yang semuanya perempuan.''{{sfnp|Rahardjo, dkk|2013|p=245-246|ps=: "Bangunan rumah tinggal bergaya Indo-Eropa yang mulai dikembangkan di Hindia Belanda pada awal abad ke 20 ini masih kokoh dan asli. Belum ada perubahan desain maupun renovasi bentuk (...)"}}''
|