Gereja Kristen Jawa Salib Putih: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 26:
}} yang dipimpin oleh Adolph dan Alice ini sebenarnya mengajak para pengungsi untuk pindah ke Semarang (pusat awal [[Bala Keselamatan Indonesia]]).''{{sfnp|Rahardjo, dkk|2013|p=72|ps=}}'' Namun, menurut arsip YSKSP, atas dasar pertimbangan kemanusiaan, jarak, dan fasilitas di Semarang yang tidak memungkinkan, mereka disarankan untuk menempati kawasan yang sekarang bernama Salib Putih.''{{sfnp|Mulyati|2020|p=304|ps=|}}'' Komite tersebut lantas mendirikan barak-barak penampungan untuk tempat tinggal dan perawatan di lahan seluas <u>+</u> 40 hektar secara swadaya, sedangkan para pengungsi ditampung dan dirawat sementara di rumah keluarga Emmerick, yang sekarang menjadi [[SMK Kristen Salatiga]].''{{sfnp|Ismael|1954|p=42|ps=}}'' Mereka mulai menempati kawasan Salib Putih pada [[14 Mei]] [[1902]].''{{sfnp|Rahardjo, dkk|2013|p=72|ps=}}''<ref name=":22">{{Cite web|url=https://www.sinodegkj.or.id/2020/01/29/doa-untuk-salib-putih/|title=Doa untuk Salib Putih|last=Sinode Gereja Kristen Jawa|first=|date=29 Januari 2020|website=Sinode Gereja Kristen Jawa|access-date=22 Mei 2020}}</ref>
 
Selain mendapatkan bantuan dari komite sosial, para pengungsi juga dilatih dengan berbagai keterampilan untuk menggarap kawasan ini, yaitu bertani, beternak, dan membuka areal perkebunan ([[kopi]], [[vanili]], [[karet]], [[lengkeng]], dan [[Rumput gajah|rumput gajah)]]. Selanjutnya, bagi para pengungsi yang telah sembuh diberi kesempatan untuk bertransmigrasi ke [[Sumatra]] maupun [[Sulawesi]], sedangkan bagi yang tidak bersedia diberi tanah dan tempat tinggal hampir seluas 12 hektar di wilayah tersebut.''{{sfnp|Rahardjo, dkk|2013|p=72-73|ps=: "Bagi orang rawatan yang telah sembuh diberi kesempatan untuk bertransmigrasi ke Sumatra maupun Sulawesi, sedangkan bagi yang tidak bersedia dan mampu berdiri sendiri diberi tanah garapan maupun tempat tinggal hampir seluas 12 hekar di wilayah tersebut (...)"}}'' Dalam perkembangannya, areal ini bertambah luas karena mendapatkan hibah dari wedana serta tambahan hasil pembelian tanah yang dilakukan oleh keluarga Emmerick.''{{sfnp|Platzdasch|2014|p=72|ps=: "''In the late nineteenth century, White Cross was used by the Salvation Army and a huge part of the land is currently used by the Javanese Christian Church (GKJ)'' (...)"}}''
 
Berhubung sebagian besar pengungsi yang tidak ingin bertransmigrasi bersedia memeluk agama Kristen, dibangunlah sebuah gereja di wilayah itu pada 1902. Bangunan gereja ini terbuat dari kayu jati dengan menara di puncaknya sebagai tempat lonceng gereja. Lonceng itu merupakan hadiah dari pemerintah Belanda yang berangka tahun [[1682]].''{{sfnp|Rahardjo, dkk|2013|p=74|ps=}}'' Pada tahun itu pula komite yang didirikan oleh keluarga Emmerick berganti nama menjadi ''Witte Kruis Kolonie''. Nama ini dalam [[bahasa Indonesia]] berarti "Perkumpulan Salib Putih". Yayasan tersebut belum berbadan hukum, tetapi mempunyai hak otonomi sendiri.''{{sfnp|Rohman|2020|p=125|ps=: "(...) bahkan ada satu komunitas pimpinan A. Van Emmerick yang memiliki jemaat mencapai <u>+</u> 700 orang. Komunitas ini dinamakan dengan Witte Kruis atau Salib Putih".}}''