Hilifarono, Onolalu, Nias Selatan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Arsenrex (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
Arsenrex (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 46:
Selanjutnya '''Lawajihönö''' memiliki 3 orang putera bernama '''Baju'a''', '''Badugö''', dan '''Fanaetu'''. Baju'a kemudian memperanakkan '''Gasa Januwö''', Gasa Januwö memperanakkan '''Buageho,''' Buageho memperanakkan '''Maera Januwö''' dan '''Saitö Lela'''.
 
Maera Januwö/Zihönö kemudian merebut kekuasaan '''Saitö Lela''' adik perempuannya sendiri. Akibat konflik tersebut Banua Hilifalagö terbagi menjadi dua wilayah kekuasaan ''(Fa'asi'ulu),'' yaitu Hilifalagö dan Bawönidada (sekarang Desa Hilifalagö Raya).
Mereka membuat sebuah perjanjian yang berbunyi:
 
{{Quote|text=Apabila ternak (babi) hilifalagö memasuki bawönidada, Maka tidak ada larangan kepada bawönidada untuk memakan ternak tersebut tanpa dibayar atau dikenakan sanksi dari pihak pemilik ternak. dan begitu juga sebaliknya.|sign=''wawancara oleh Arsen Sarumaha''|source=''narasumber Sarowamati Bago, 2016''}}
 
Maera Januwö/Zihönö sebagai yang tertua mengalah dan memindahkan Desa Bawönidada ke Bukit Gabölata ''(Hiligabölata)'' dengan nama Hilifarono yang kemudian tempat itu hingga sekarang dikenal sebagai Banua Satua. Sistem pemerintahan masih keras sehingga terjadi sebuah peristiwa bencana mengerikan dimana halaman desa terbelah dua, sambil keluar asap tebal dan mengatakan: '''''"Fabua dumba ba Fabua Gafore"''''' artinya Ganti Dumba (takaran beras) dan Afore (pengukur ternak babi). karena dulu masih menggunakan Lauru sebagai takaran (1 Lauru = 6 Dumba; 1 Dumba = 8 Teko, standar kaleng susu kental) yang dapat merugikan masyarakat biasa saat melakukan pembayaran pajak kepada pihak bangsawan{{efn|name=laturadano}}. Secara harafiah, Kata ''Afore'' (artinya Aturan) bukan hanya dimaksud sebagai takaran, namun juga merujuk pada tuntutan agar hukum dan aturan adat diubah.
 
Setelah kejadian itu, Desa ini pindah lagi ke bagian bawah Hiligabölata dengan nama Hilifarono. Beberapa tahun kemudian terjadi Longsor besar dimana sebagian desa runtuh ke bawah dan memakan ratusan korban dan pada tahun yang sama terjadi wabah penyakit diare dimana penduduk setempat menyebutnya ''Talu Soyo''. Dengan kejadian tersebut kemudian turunan Maera Januwö memindahkan lagi Desa Hilifarono ke Bawözohahau. Pada awal Pemerintahan RI, untuk mengenang asal usul masyarakat desa serta peristiwa pilu yang telah dialami oleh para leluhur, maka nama Bawözohahau diubah lagi menjadi Desa Hilifarono sampai sekarang{{efn|name=asal}}.