Sengketa Irian Barat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Penambahan konten Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
→Latar Belakang Sejarah: Penambahan konten Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 5:
== Latar Belakang Sejarah ==
Sebelum kedatangan Belanda, dua kesultanan Indonesia yang dikenal sebagai [[Kesultanan Tidore]] dan [[Kesultanan Ternate]] diklaim telah menguasai Papua Barat. Berdasarkan perjanjian tahun 1660 antara Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate yang berada di bawah jajahan Belanda, orang Papua diakui sebagai subjek Kesultanan Tidore. Kemudian di bawah perjanjian 1872, Kesultanan Tidore mengakui kendali Belanda atas seluruh wilayahnya, yang digunakan oleh Kerajaan Belanda untuk menetapkan Papua Barat sebagai bagian jajahan resmi Hindia Belanda.
Kurang dari sepekan setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, Belanda kembali datang membawa sekutu dan memulai rentetan kontak senjata di berbagai tempat termasuk Jakarta sampai pada awal 1946, ibukota dipindahkan ke Yogyakarta.
Pada 25 Maret 1947, Belanda dan Indonesia berhasil menyepakati bersama Perundingan Linggarjati. Namun, pada 21 Juli 1947, Letnan Gubernur Jenderal Belanda Johannes van Mook menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati tidak berlaku lagi dan memulai operasi militer yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I yang berlangsung sampai 5 Agustus 1947. Belanda menamakan operasi militer ini sebagai Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri.
Dari tahun 1947-1948, Belanda menggunakan politik Devide et Impera atau politik pecah belah yang merupakan kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Politik peredaman ini dilakukan oleh Belanda dengan pendirian negara boneka di Sumatera Timur, Madura, Pasundan, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur pada tahun 1947-1948 untuk membina separatisme.
Pada 22 Desember 1948, para delegasi Indonesia membahas pelanggaran Perundingan Linggarjati, penggelaran operasi militer Belanda, dan penawanan para petinggi pemerintahan Indonesia di sidang PBB di Paris. Delegasi Belanda di PBB menolak klaim Indonesia dengan menyatakan bahwa keadaan di Indonesia telah kembali normal dan para pemimpin yang ditawan diperkenankan untuk bergerak dengan leluasa. Namun pada 15 Januari 1949, dua anggota Komisi Tiga Negara (KTN) dikirim ke tempat pengasingan dan tidak menemukan kebenaran dalam klaim Belanda.
Para delegasi Indonesia selanjutnya mengikuti Konferensi Inter-Asia di New Delhi pada 20 - 23 Januari 1949 yang dihadiri oleh perwakilan sejumlah negara dan menghasilkan kesepakatan forum yang meminta bantuan PBB untuk mengatasi persoalan antara Belanda dan Indonesia. Dalam mediasinya, PBB menerbitkan Resolusi 67 tertanggal 28 Januari 1949 yang menghimbau agar Belanda menghentikan aksi militernya di Indonesia dan agar Indonesia menghentikan perlawanan terhadap Belanda. Setelah itu agresi militer dihentikan, namun Belanda menolak sebagian besar isi resolusi dan melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Dalam usaha untuk mengakhiri konflik Belanda-Indonesia, perjanjian Den Haag atau Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) diratifikasi pada 2 November 1949. Perjanjian ini menyatakan Belanda setuju untuk mentransfer kedaulatan politik mereka atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda dengan Papua Barat menjadi satu-satunya bagian dari Hindia Belanda yang tidak dipindahkan ke Indonesia dan status Papua Barat akan dibahas setahun kemudian, yakni 1950. Untuk membantu mempertahankan koloni Papua dari infiltrasi pasukan Indonesia, pasukan Papoea Vrijwilligers Korps (PVK) yang beranggotakan pribumi Papua dibentuk oleh Belanda pada tahun 1961.
Belanda melanjutkan pembentukan sebuah komite pada tanggal 19 Oktober 1961 yang merancang Manifesto untuk Kemerdekaan dan Pemerintahan Mandiri, bendera nasional (Bendera Bintang Kejora), cap negara, memilih "Hai Tanahku Papua" sebagai lagu kebangsaan, dan meminta masyarakat untuk dikenal sebagai orang Papua. Belanda mengakui bendera dan lagu ini pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961.
Langkah-langkah yang dilakukan Belanda ini merupakan pelanggaran perjanjian KMB. Selanjutnya, Belanda melakukan penyerangan di Yogyakarta pada 19 Desember 1949 yang menandai awal Agresi Militer II Belanda. Hingga pada 19 Desember 1961, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan akan melaksanakan Operasi Trikora.
== Operasi Trikora ==
|