Candi Jago: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
Dhea Salsabila (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Tempel Jago Malang Oost-Java TMnr 10016221.jpg|jmpl|300px|Candi Jago]]
Menurut kitab [[Kakawin Nagarakretagama|Negarakertagama]] pupuh 41:4 dan [[Pararaton]], nama '''Candi Jago''' sebenarnya berasal dari kata "Jajaghu", yang didirikan pada masa [[Kerajaan Singhasari]] pada abad ke-13. Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci. Candi ini berlokasi di Dusun Jago, Desa Tumpang, [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]], Jawa Timur atau sekitar 22 km dari [[Kota Malang]], pada koordinat {{Coord|8|0|20.81|S|112|45|50.82|E}}.
 
Candi jagoJago berlatar agama [[Buddha Tantrayana|Buddha Tatrayana]]. Salah satu ciri dari agaama Buddha Tatrayana adalah arcanya yang berbentuk amoghapasa, bentuk Tatris dari awaloketeswara disertai pengiring-pengiring nya. Arca tersebut merupakan arca dari perwujudan dari raja keempat singasari yang bernama Raja Wisnuwarddhana, yang meninggal tahun 1190 Saka (1280 Masehi)
 
Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Relief-relief [[Kunjarakarna]] dan [[Pancatantra]] dapat ditemui di candi ini. Secara keseluruhan bangunan Candicandi ini tersusun atas bahan batu [[andesit]].
 
Pada candi inilah [[Adityawarman]] kemudian menempatkan Arca Manjusri seperti yang disebut pada [[Prasasti Manjusri]]. Sekarang Arca ini tersimpan di [[Museum Nasional Indonesia|Museum Nasional]] dengan nomor inventaris D. 214.
 
== Struktur Candi Jago ==
Baris 13:
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita ''Khresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma'', serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (''pradaksiana'').
 
Pada sudut kiri (barat laut) Candi Jago terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat [[fabel]], yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
 
Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan ''Yaksa Kunjarakarna''. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang [[Wairocana]] untuk mempelajari ajaran Buddha. Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita ''[[Kuñjarakarna|Kunjarakarna]]''. Cerita ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Baris 24:
Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago atas perintah Raja [[Kertanagara]] ini berlangsung sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi ayahandanya Raja Singasari ke-4, Sri Jaya Wisnuwardhana, yang mangkat pada tahun 1268. Walaupun dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari, disebutkan dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari.
 
Candi jago pertama kali dipublikasikan oleh [[Thomas Stamford Raffles|Stamford Raffles]] dalam sebuah buku yang diterbitkan nya yang berjudul History of Java (1917), namun siapa yang menemukan nya pertama kali masih belum diketahui.Sebelum-nya Sebelumnya candi ini juga pernah diteliti oleh R.H.T Friederich (1854), J.F.G Brumund (1855), Fergusson (1876), dan Veth (1878). J.L.A Brandes kemudian melakukan penelitian dan menerbitkan buku yang berjudul Jago Monografi (1904)<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/886882212|title=Candi Indonesia|last=Sedyawati, Edi, 1938-|others=Latief, Feri,, Indonesia. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman,|isbn=9786021766934|edition=Cetakan pertama|location=[Jakarta]|oclc=886882212}}</ref>
 
Yang perlu dicermati dalam sejarah Candi Jago adalah adanya kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar(memperbaiki) candi-candi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya. Candi Jago juga telah mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk<ref>http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_jago. Diakses tanggal 3 Mei 2017</ref>.