Chen Fu Zhen Ren: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Harris Est 13 (bicara | kontrib)
k sedikit perubahan terhadap gaya bahasa artikel
Baris 2:
[[Berkas:Kirab Tanhucinjin 10 Mar 2013 Rogojampi.jpg|jmpl|240px|Acara [[Xun Jing|kirab]] membawa efigi Chen Fu Zhen Ren, [[Banyuwangi, Banyuwangi|Banyuwangi]] tahun 2013]]
 
'''Chen Fu Zhen Ren''' ([[Hanzi]]= 陈府真人; [[Hokkien]]= ''Tan Hu Cin Jin'') adalah salah satu leluhur etnis Tionghoa (Tionghoa) yang dipermuliakandipuja di wilayah [[Banyuwangi]] dan sekitarnya. Selain dipuja oleh [[peranakan]] Tionghoa yang menetap di Indonesia, Yang Mulia [[Gongzu]] Chen Fu Zhen Ren juga dipuja oleh sebagian etnis [[Suku Bali|Bali]] dan [[Jawa]] terutama yang memeluk kepercayaan [[Kejawen]].
 
Klenteng-klenteng yang memuja Chen Fu Zhen Ren sebagai panutan utama mereka tersebar di wilayah [[Pulau Jawa]], [[Pulau Bali|Bali]], hingga [[Pulau Lombok]]. Namun, kebesaran Yang Mulia Kongco Chen Fu Zhen Ren juga dikenal hingga ke [[Jawa Barat]] dan [[Mancanegara]]. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa warga [[Tionghoa]] dari [[Banyuwangi]] dan sekitarnya yang menetap di [[Jawa Barat]] serta masih memiliki sanak keluarga di daerah asal mereka. Selain itu, umat [[Klenteng]] Chen Fu Zhen Ren juga secara periodik melakukan [[Xun Jing|kirab]] ke berbagai daerah, misalnya mengunjungi TITD Hwie Ing Kiong di [[Kota Madiun|Madiun]], dengan membawa rupang sang [[Dewa]] dalam sebuah arak-arakan. Jalur perdagangan serta penelitian akademis juga berperan besar membawa nama Chen Fu Zhen Ren hingga ke [[Singapura]], [[RRT]], [[Belanda]], dan sebagainya.
 
== Etimologi ==
Baris 20:
 
== Sejarah tertulis ==
Hanya ada dua sumber tertulis yang mengisahkan kehidupan Chen Fu Zhen Ren, sementara sumber-sumber lain tidak ditulis melainkan diturunkan secara orallisan. Sumber pertama adalah biografi singkat yang tertuang dalam prasasti pendirian Klenteng Liong Coan Bio di Probolinggo. Sumber kedua berasal dari dokumen Melayu yang disimpan di KITLV, [[Leiden]], Belanda. Dokumen tersebut berhasil disalin oleh seorang cucu dari pengurus Klenteng [[Hoo Tong Bio]] [[Banyuwangi, Banyuwangi|Banyuwangi]] (nama penyalin tidak berhasil diidentifikasikan) pada tahun 1880 saat ia berada di [[Kota Buleleng|Buleleng]], [[Bali]].<ref name=salmon>Salmon, Claudine dan Sidharta, Myra. 24 Juni 2000. Kebudayaan Asia-Dari Kapten Hingga Nenek Moyang yang Didewakan: Pemujaan Terhadap Kongco di Jawa Timur dan Bali (Abad ke-18 dan 20).</ref>
 
Prasasti di Probolinggo menuliskan asal usul dia sebagai berikut:
Baris 47:
Pria itu kemudian melompat ke laut dan berjalan dengan hati-hati di atas ombak, sementara kapten kapal mengikuti dengan sampan. Setelah si Ksatria sampai di puncak Gunung Sembulungan, ia menjadi sadar dan menemukan tiga patung: satu besar dan dua kecil. Keduanya kemudian membawa tiga patung tersebut ke Pelabuhan Banyualit.
 
Di Banyualit, Kapten kapal mengumpulkan warga Tionghoa di sana, dan si Ksatria kembali mengalami trancekesurupan. Ia berbicara dalam bahasa Tionghoa tentang kisah hidupnya di Macanputih dan Mengwi, bagaimana kedua pembunuhnya kini menjadi dua ajudannya untuk selamanya. ''Kalian para orang Tionghoa di Blambangan, biarlah hal tersebut diketahui'' ...(kata tidak dapat diidentifikasikan) ''ada tiga orang lelaki bersaudara, yang di tengah hidup di Batudodol, yang termuda menjadi seekor harimau, dan hidup di dalam hutan Blambangan dan Bali. Aku tidak berniat untuk pindah dari sini, sehingga aku tahu apa yang akan terjadi di wilayah Blambangan dan Mengwi; aku ingin memuaskan hatiku dan menikmati hasil dari Blambangan dan Bali''.
 
Warga Tionghoa menyambut Chen Fu Zhen Ren dengan gembira dan membangun sebuah [[Klenteng]] di [[Lateng, Banyuwangi, Banyuwangi|Lateng]]. Namun, setelah Blambangan diserang Belanda pada Tahun 1765, pusat kerajaan dipindahkan di Kota [[Banyuwangi, Banyuwangi|Banyuwangi]] sekarang (sebelumnya berada di sekitar [[Muncar, Banyuwangi|Muncar]]). Warga Tionghoa ikut bermigrasi dan memindahkan lokasi Klenteng Chen Fu Zhen Ren ke Klenteng [[Hoo Tong Bio|Hu Tang Miao]] yang sekarang.
 
Penulis ''Aku'' menambahkan bahwa pada Tahun 1880 hanya terdapat tiga Klenteng Chen Fu Zhen Ren di Jawa, yaitu di Banyuwangi, [[Besuki, Situbondo|Besuki]], dan [[Kota Probolinggo|Probolinggo]]. Sementara di Bali terdapat dua [[Klenteng]], yaitu di [[Kota Buleleng|Buleleng]] dan [[Kabupaten Badung|Badung]]. Selain itu, tiap-tiap rumah orang Tionghoa di [[Kabupaten Tabanan|Tabanan]], [[Mengwi, Badung|Mengwi]], [[Kabupaten Bangli|Bangli]], [[Kabupaten Gianyar|Gianyar]], [[Klungkung, Klungkung|Klungkung]], [[Kabupaten Karang Asem|Karang Asem]], dan Sasak juga memiliki altar pribadi untuk Chen Fu Zhen Ren. Tiap tahunnya, penjaga Klenteng Banyuwangi berkeliling di Bali untuk mengadakan Festival ''Sembahyang Rebutan''. Penulis ''Aku'' menyatakan:
Baris 55:
Keterangan: kata ''...wangi'' yang tidak terbaca, kini secara umum dianggap ''di Banyuwangi''.
 
== Sejarah orallisan dan legenda ==
Berikut ini merupakan berbagai sejarah dan kisah Chen Fu Zhen Ren yang diturunkan dari mulut ke mulut oleh masyarakat [[Jawa]] dan [[Pulau Bali|Bali]].
 
Baris 61:
Lokasi Banjar Jawa berada di daerah utara Desa [[Mengwi]], [[Bali]]. Penduduk banjar tersebut mengaku berasal dari Jawa dan dibawa ke Bali untuk membangun sebuah istana (puri) dibawah paduan seorang arsitek Tionghoa.
 
Pada awal tahun 1980an1980-an, seorang berkebangsaan Belanda bernama [[Henk Schulte Nordholt]] mendengar kisah dari I Gusti Agung Gede Rai (dari Puri Kleran) dan Ida Bagus Ketut Sindu (dari Mengwi) bahwa Raja Mengwi pernah mengadakan suatu kontes membuat rancangan terbaik untuk istana Mengwi yang baru. Seorang [[pandita]] dari Sibang mencobanya, tetapi seorang arsitek Tionghoa dari [[Blambangan]] berhasil memenangkannya. Arsitek tersebut membawa orang-orang Jawa untuk membantunya dalam proses pembangunan puri, tetapi hingga 3 hari sebelum batas waktu pembangunan, hanya tembok luar puri yang selesai dibangun. Ajaibnya, puri tersebut berhasil diselesaikan tepat pada waktunya. Penduduk Mengwi pada masa itu merasa takut dan meminta Raja Mengwi untuk membunuh sang arsitek. Namun, sang arsitek berhasil melarikan diri ke Jawa dan menghilang di [[Watu Dodol]] dengan ditemani dua orang pengiring yang konon bernama I Gusti Ngurah Subuh dan Ida Bagus Den Kayu.<ref>{{cite news|url=http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/2/2/ars1.html|authors=I Nyoman Gde Suardana|title=Kong Tjo di Vihara Dharmayana, Kuta|first=|last=|year=|location=|issn=|isbn=|publisher=Bali Post|date=2 Februari 2003|accessdate=25 Oktober 2015}}</ref>
 
C. Salmon dan M. Sidharta (1999) juga berhasil memperoleh informasi dari Anak Agung Gede Ajeng Tisna Mangun (dari Puri Gede Mengwi) bahwa Raja Mengwi saat itu bukan meminta sang arsitek untuk menggambar rancangan puri, melainkan rancangan [[Pura Taman Ayun]]. Sang arsitek membuat kerangka taman dengan menggali parit pembatas taman kemudian menggambar rancangan serta memberi instruksi tentang tanaman serta pepohonan yang akan ditanam. Arsitek itu kemudian pergi menuju pesisir pantai bersama dua orang yang ditugasi untuk menemaninya dan tidak pernah kembali lagi. Kisah ini diilustrasikan pada bagian depan Klenteng Gong Zu Miao di Tabanan, Bali. Kerancuan timbul karena berdasarkan sejarah, [[Pura Taman Ayun]] selesai dibangun pada Tahun 1634, tidak sesuai dengan perkiraan hidup Chen Fu Zhen Ren berdasarkan tulisan Melayu.
Baris 78:
Chen Fu Zhen Ren adalah seorang arsitek yang memenuhi sayembara Raja Mengwi untuk membangun sebuah taman kerajaan dalam kurun waktu tertentu. Namun, hingga tiga hari dari batas waktu yang ditentukan, arsitek tersebut belum membangun apa-apa. Selama ini Raja Mengwi terus memberinya peringatan, tetapi sang arsitek terlihat acuh. Pada malam pada hari ketiga sebelum batas waktu berakhir, tiba-tiba saja taman istana yang sangat indah muncul begitu saja.<ref name=dewa>''Dewa-Dewi Kelenteng'', Penerbit: Kelenteng Sam Po Kong, Semarang.</ref>
 
Raja Mengwi memerintahkan untuk menangkap sang arsitek karena takut akan kesaktiannya. Pada malam harinya, dua orang prajurit yang ditugaskan menjaga sang arsitek membawanya kabur ke [[Kerajaan Blambangan|Blambangan]] karena mereka menganggap sang arsitek sebenarnya tidak bersalah. Tidak seberapa jauh, pelarian mereka diketahui dan mereka dikejar hingga menyeberangi [[Selat Bali]]. Kedua prajurit tersebut bertempur mati-matian melindungi sang arsitek dan akhirnya tewas, sementara sang arsitek yang terkepung berubah menjadi batu berukuran besar dengan bentuk aneh, yaitu bagian atasnya lebih besar dari bawahnya. Penduduk setempat memakamkan kedua prajurit di puncak bukit di dekat [[Watubatu Dodol]]besar (makamnya masih sering dikunjungi hingga sekarang oleh berbagai kalangan kepercayaan dan agama)tersebut, sementarayang batukemudian besar itu disebutdinamakan [[Watu Dodol]] <nowiki/>dan masih dikeramatkan hingga sekarang.<ref name=dewa/>
 
Pada saat dilakukan pelebaran jalan, pemerintah berusaha untuk memindahkan [[Watu Dodol]] tetapi tidak berhasil. Itulah sebabnya kini Watu Dodol berada di tengah-tengah dua ruas jalan raya di sebelah utara Banyuwangi.<ref name=dewa/>
 
=== Kisah Pedagang Hainan ===
Baris 88:
{{lihat pula|Tik Liong Tian}}
[[Berkas:Watu dodol.jpg|jmpl|[[Watu Dodol]]]]
Menurut tradisi orallisan, seorang pedagang bernama Lin Jing Feng (1915) bermimpi bahwa Chen Fu Zhen Ren berada di Watu Dodol. Penduduk setempat biasa menyembah dua nisan [[Muslim]] yang berbentuk seperti Watu Dodol. Di sana, Lin Jing Feng menemukan sebuah arca batu yang dipercaya merupakan gambaran dari Chen Fu Zhen Ren. Arca batu tersebut kini berada di [[Tik Liong Tian|Klenteng Rogojampi]].
 
=== Pengalaman kaum spiritualis ===
Baris 114:
 
== Kultus ==
Yang Mulia [[Kongco]] Chen Fu Zhen Ren dikenal bagi para pemujanya sebagai ''Kakek Leluhur'' yang ramah dan murah hati, memiliki tutur kata lembut dan santun. Beberapa orang yang memiliki kekuatan supranatutral (baik dari umat Klenteng Chen Fu Zhen Ren maupun agama atau kepercayaan lain)Ia menggambarkannyadigambarkan sebagai seorang tua yang memiliki tubuh sehat, berpakaian putih, berambut putih, dan berjanggut panjang berwarna putih. Banyak umat yang menanyakan masalah kehidupan maupun pengobatan kepada Chen Fu Zhen Ren, yang bagi umat Konghucu keakuratannya dipercaya setara dengan [[Kongco]] dari Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban. Beberapa umat yang mengalami kebaikan Chen Fu Zhen Ren meninggalkan kenang-kenangan berupa tulisan (papan nama atau sepasang papan sajak '''Dui Lian''') atau cenderamata pada Klenteng yang memuja dia.<ref name=salmon/>
 
=== Prasasti dari Klenteng Hu Tang Miao, Banyuwangi ===