Filsafat Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wpranarini (bicara | kontrib)
Menyunting tanda baca dan ejaan
Baris 1:
{{refimprove}}
{{gaya penulisan}}'''Filsafat Indonesia''' adalah sebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang mendiami wilayah yang belakangan disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam pelbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' ''Bahasa Indonesia'', meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat, disamping tema-tema filosofisnya yang asli.
 
== Istilah dan Definisi ==
[[Berkas:Bukunasroen.jpg|pra=https://wiki-indonesia.club/wiki/Berkas:Bukunasroen.jpg|jmpl|Buku M. Nasroen berjudul ''Falsafah Indonesia'' (1967), yang darinya kajian filsafat Indonesia berasal mula.]]
 
Istilah ''Filsafat Indonesia'' berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh [[M. Nasroen]], seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di [[Universitas Indonesia]], yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti [[Sunoto]], [[R. Parmono]], [[Jakob Sumardjo]], dan [[Ferry Hidayat]]. Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas [[Filsafat]] di [[Universitas Gajah Mada]] (UGM) Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama ''Jurusan Filsafat Indonesia''. Sampai saat ini, Universitas Gajah Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.
 
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktik-praktik asli dari ''mupakat'', ''pantun-pantun'', ''Pancasila'', ''hukum adat'', ''gotong-royong'', dan ''kekeluargaan''<ref>{{Cite book|title=Falsafah Indoensia|last=Nasroen|first=M.|date=1967|publisher=Penerbit Bulan Bintang|isbn=|location=Jakarta|pages=14, 24, 25, 33, 38|url-status=live}}</ref>. Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai ''...kekayaan budaya bangsa kita sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri''<ref>{{Cite book|title=Menuju Filsafat Indonesia|last=|first=Sunoto|date=1987|publisher=Hanindita Offset|isbn=|location=Yogyakarta|pages=ii|url-status=live}}</ref>, sementara Parmono mendefinisikannya sebagai ''...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah''<ref>{{Cite book|title=Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia|last=|first=Parmono|date=1985|publisher=Andi Offset|isbn=|location=Yogyakarta|pages=iii|url-status=live}}</ref>. Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ''...pemikiran primordial...'' atau ''pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya...''<ref>{{Cite book|title=Mencari Sukma Indonesia|last=Sumardjo|first=Jakob|date=2003|publisher=AK Group|isbn=|location=Yogyakarta|pages=22-23, 25, 53, 58|url-status=live}}</ref>. Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan [[kajian-kajian budaya]] dan [[antropologi]]. Secara kebetulan, ''Bahasa Indonesia'' sejak awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari [[teologi]], [[seni]], dan [[sains]]. Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata generik, yakni, ''budaya'' atau ''kebudayaan'', yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna kata ''budaya'' tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan ''budayawan''<ref>{{Cite book|title=Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Ditinjau dari Jurusan Nilai-Nilai|last=Alisjahbana|first=S. Takdir|date=1977|publisher=Yayasan Idayu|isbn=|location=Jakarta|pages=6-7|url-status=live}}</ref>. Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan', yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan definisi penulis yang terakhir.
Baris 31:
=== Mazhab Tiongkok ===
 
Para filsuf etnik masih menganut filsafat-filsafat mereka yang asli hingga kedatangan migrantmigran-migran Tiongkok antara tahun 1122-222 SM. yang membawa-serta dan memperkenalkan [[Taoisme]] dan [[Konfusianisme]] kepada mereka<ref>{{Cite book|title=IPS Sejarah|last=Larope|first=J.|date=1986|publisher=Penerbit Palapa|isbn=|location=Surabaya|pages=4|url-status=live}}</ref>. Dua filsafat asing itu bersama filsafat-filsafat lokal saling bercampur dan berbaur; begitu tercampurnya, sehingga filsafat-filsafat itu tak dapat lagi dicerai-beraikan<ref>{{Cite book|title=Southeast Asia: Past & Present|last=SarDesai|first=D.R.|date=1989|publisher=Westview Press|isbn=|location=San Fransisco|pages=9-13|url-status=live}}</ref>. Salah satu dari sisa baurnya filsafat-filsafat tadi, yang hingga kini masih dipraktikkan oleh semua orang Indonesia, adalah ajaran ''hsiao'' dari [[Konghucu]] (bahasa Indonesia, ''menghormati orang tua''). Ajaran itu menegaskan bahwa seseorang harus menghormati orangtuanya melebihi apapun. Ia harus mengutamakan orangtuanya sebelum ia mengutamakan orang lain.
 
Mazhab Tiongkok kelihatan eklusif, karena semata banyak dikembangkan oleh sedikit anggota etnis Tiongkok di Indonesia. Meskipun demikian, filsafat yang disumbangkan oleh mazhab ini bagi tradisi kefilsafatan di Indonesia, sangat penting. [[Sun Yat-senisme]], [[Maoisme]], dan [[Neo-maoisme]] merupakan filsafat-filsafat penting yang menyebar-luas seantero Indonesia pada awal 1900-an, bersamaan dengan pertumbuhan Partai Komunis Indonesia (PKI)<ref>{{Cite book|title=Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien|last=Suryadinata|first=Leo|date=1990|publisher=LP3ES|isbn=|location=Jakarta|pages=15|url-status=live}}</ref>.
Baris 65:
Bersama-sama dengan pencarian [[kapitalis]] Barat akan koloni-koloni di Timur, ajaran [[Kristen]] mendatangi pedagang-pedagang Indonesia pada pertengahan abad 15<ref name=":1">{{Cite book|title=Indonesia: Land Under the Rainbow|last=Lubis|first=Mochtar|date=1990|publisher=Oxford University Press|isbn=|location=Singapore City|pages=78, 85, 99|url-status=live}}</ref>. Pertama-tama yang datang ialah pedagang-pedagang Portugis, lalu kapitalis-kapitalis [[Belanda]] yang berturut-turut menyebarkan ajaran [[Katolik]] dan ajaran [[Yohanes Calvin|Calvin]]. [[Fransiskus Xaverius]], pewarta Katolik pertama dari [[Spanyol]] yang menumpang kapal [[Portugis]], menerjemahkan ''Credo'', ''Confession Generalis'', ''Pater Noster'', ''Ave Maria'', ''Salve Regina'', dan ''Sepuluh Perintah Tuhan'' ke [[bahasa Melayu]] antara tahun [[1546]]-[[1547]], yang melaluinya ajaran Katolik dapat disebar-luaskan kepada penduduk Hindia Belanda<ref name=":1" />. Gereja-gereja Katolik pun didirikan dan penganut Katolik Indonesia berjejalan, namun tak lama kemudian para pastor Katolik diusir dan umatnya dipaksa untuk pindah ke Kalvinisme oleh penganut-penganut Kalvin Belanda yang datang ke Indonesia pada sekitar tahun [[1596]]. [[Gereja Reformasi Belanda]] (Nederlandse Hervormde Kerk) didirikan sebagai gantinya. [[Jan Pieterszoon Coen]], salah seorang [[Gubernur-Jenderal]] VOC tahun 1618, adalah contoh dari penganut Kalvinis yang saleh. Ia mendudukkan semua pewarta Kalvinis (yang dalam bahasa Belanda disebut ''Ziekentroosters'') di bawah kendalinya<ref name=":1" />.
 
Sekolah-sekolah Katolik bergaya Portugis-Hispanik dan lembaga-lembaga pendidikan Kalvinis bergaya Belanda terbuka untuk penduduk Hindia Belanda. Tidak hanya diajarkan [[teologi]] di dalamnya, tapi juga [[Filsafat Kristen]] (''Christian Philosophy''). Satu sekolah lalu menjadi beribu-ribu jumlahnya. Hingga kini masih ada (dan terus ada) universitas-universitas swasta Katolik dan [[Protestan]] yang mengajarkan Filsafat Kristen di dalamnya. Misioner-misioner dan pewarta-pewarta Injil dari Barat yang telah bertitel ''Master'' dalam bidang filsafat dari universitas Eropa, berdatangan untuk memberikan kuliah pada universitas Kristen Indonesia<ref>{{Cite book|title=Philosophers in Indonesia: Southeast Asian Monograph Series No.12|last=Hiorth|first=Finngeir|date=1983|publisher=James Cook University of North Queensland|isbn=0-86443-083-3|location=Townsville|pages=4|url-status=live}}</ref>. Dari universitas-universitas tersebut keluarlah banyak lulusan yang menguasai Filsafat Kristen, seperti [[Leo Kleden]], [[Nico Syukur Dister]], [[J.B. Banawiratma]], [[Franz Magnis-Suseno]], [[Paulus Budi Kleden]], [[Ignaz Kleden]], [[Kondrat Kebung]], [[Robert J. Hardawiryana]], [[Y.B. Mangunwijaya]], [[TH. Sumartana]], [[Martin Sinaga]], dan lain-lain. Di Sumatera Utara, Sekolah Katolik yang berpengaruh terhadap perkembangan filsafat adalah Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Adelbert Snijder adalah guru besar di sekolah tersebut, dan dikenal sebagai filsuf metafisika. Ungkapan yang terkenal dari dia adalah: "Seluas Segala Kenyataan'.
Di Sumatera Utara, Sekolah Katolik yang berpengaruh terhadap perkembangan filsafat adalah Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Adelbert Snijder adalah guru besar di sekolah tersebut, dan dikenal sebagai filsuf metafisika. Ungkapan yang terkenal dari dia adalah: "Seluas Segala Kenyataan'.
 
Di Indonesia timur, khususnya di Nusa Tenggara Timur, Filsafat sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan di wilayah tersebut. Di wilayah ini filsafat berkembang setelah masuknya misionaris eropa SVD di wilayah itu dan mendirikan salah satu sekolah Tinggi filsafat di Maumere flores, NTT. Sekolah Tinggi itu adalah [[Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero]] / STFK Ledalero. Di sekolah ini keilmuan dalam bidang filsafat dikembangkan dengan berbagai pendekatan sosial. Dari sekolah ini banyak terlahir pemikir dan pengajar serta relawan kemanusiaan yang tersebar di hampir 300 negara di dunia. Di sekolah ini terdapat berbagai grup diskusi filsafat yang kemudian memberikan warna tersendiri bagi khasanah filsafat sebagai ilmu. Beberapa nama yang menjadi pelopor perkembangan filsafat di Ledalero adalah Fritz Braun, Joseph Pianezek, Leo Kleden, [[Paulus Budi Kleden]], Kondrad Kebung dan Lain sebagainya.
 
=== Mazhab Paska-Pasca''Soeharto'' ===
 
Mazhab ini terutama mengedepan untuk mengritik kebijakan sosio-politik Soeharto selama masa kepresidenannya dari tahun 1966 hingga (akhirnya tumbang) pada 1998. Perhatian utama mereka ialah [[Filsafat Politik]], yang misi utamanya ialah mencari alternatif-alternatif bagi rezim yang korup itu. Mazhab inilah yang berani menantang Soeharto, setelah ia berhasil membisukan semua filsuf lewat cara kekerasan. Sebelum kemunculan mazhab ini, telah ada beberapa orang yang mencoba melawan Soeharto di era 1970-an, namun mereka dipukul keras dalam insiden-insiden yang disebut sejarah sebagai ''Peristiwa ITB Bandung 1973'' dan ''Peristiwa Malari 1974''. Sejak praktik kekerasan itu, filsafat hanya dapat dipraktikkan dalam [[utopia]]; [[praksis]] dan [[inteleksi]] dipisahkan dari filsafat. Praksis dilarang, dan hanya [[penalaran]] yang mungkin bisa bertahan. Era Soeharto, dalam kacamata filsafat, dapat disebut sebagai ‘era candu filsafat’, dimana segala jenis dan segala mazhab filsafat dapat hidup tapi tak dapat dipraktikkan dalam kenyataan. Filsafat hanya menjadi ‘latihan akademis’ dan ditundukkan. [[Pancasila]] menjadi satu-satunya ideologi dan filsafat di era itu (tentunya, Pancasila yang ditafsirkan menurut kepentingan Soeharto, bukan Pancasila BPUPKI 1945)<ref>{{Cite book|title=Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia|last=Hidayat|first=Ferry|date=1971|publisher=|isbn=|location=|pages=62-64|url-status=live}}</ref>.