Husein bin Abu Bakar Al-Habsyi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 22:
|influenced =
}}
'''Husein bin Abu Bakar Al-Habsyi''' (lahir di Surabaya, 21 April 1921, wafat 14 Januari 1994), biasa disebut Ustadz Husein Al-Habsyi, adalah ulama dan pendakwah asal [[Surabaya, Jawa Timur]]. Dia lebih dikenal sebagai pendiri YAPI (Yayasan Pesantren Islam) yang mengelola dua pesantren putra dan putri. Keduanya berlokasi di [[Bangil, Pasuruan, Jawa Timur]], sekitar 40 kilometer dari pusat kota Surabaya.<ref>{{Cite journal|last=Attamimy|first=H.M|date=2009|title=HABIB HUSEIN AL-HABSYI DAN PERANNYA DALAM PERKEMBANGAN SYl'AH DI BANGIL,|url=|journal=Disertasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2019|volume=|issue=|pages=|doi=}}</ref>
== Kehidupan awal ==
=== Latar Belakang ===
Husein merupakan keturunan dari Imam Ali Al-Uraidhi, ulama dan ahli hadis terpandang di Madinah yang merupakan putra dari Imam Ja’far Al-Shodiq, guru para imam mazhab sekaligus generasi keenam dari keturunan Nabi Muhammad. Ayahnya, Abu Bakar Al-Habsyi, merupakan kemenakan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, ulama besar [[Hadhramaut]], Yaman, dan penggubah syair-syair maulid Nabi yang populer, Simthu Al-Durar. Tapi, sang ayah tak mendampinginya lama. Abu Bakar Al-Habsyi wafat di [[Garut, Jawa Barat]], saat Husein belum genap setahun. Sejak itu, ia diasuh oleh paman dari garis ibu, Muhammad bin Salim Baraja, seorang guru di Surabaya.
=== Pendidikan ===
Baris 52:
Hubungan Husein dan Natsir melampaui soal-soal kepartaian. Keduanya bersahabat cukup dekat. Hingga Husein menamai anak keempatnya dengan “Muhammad Nasir”.
Namun, keduanya harus berpisah jalan perjuangan ketika Natsir menentang pemerintahan Presiden Sukarno dengan terlibat dalam [[Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia]] ([[PRRI]]) pada akhir 1950-an. Menurut Husein, langkah Natsir mengancam persatuan bangsa dan bahkan bisa mengobarkan perang di antara umat Islam. Husein akhirnya memutuskan keluar dari Partai Masyumi, yang dia nilai mulai lebih mengutamakan kepentingan politik ketimbang bangsa dan umat. Partai Masyumi kemudian dibubarkan Presiden [[Sukarno]] pada 1960 karena sejumlah tokohnya turut terlibat dalam PRRI.
Meskipun demikian, Husein tetap menjaga persabatannya dengan Natsir. Ketika Natsir dijebloskan ke dalam penjara di Malang oleh rezim Presiden Sukarno, Husein tetap menjenguk sahabatnya itu meskipun harus menyelinap. Natsir di kemudian hari juga membantu Husein dengan menuliskan surat rekomendasi untuk berkomunikasi dan beraudiensi dengan tokoh-tokoh Islam internasional.
Pada akhir 1950-an hingga Orde Baru, Husein memusatkan perhatiannya di bidang penerbitan dan pendidikan. Selain karena saran sejumlah ulama, seperti Al-Habib [[Ali Al-Habsyi Kwitang]] dan Al-Habib [[Ali bin Husain Al-Aththas]] Bungur, Husein juga merasa politik praktiks terlalu kental dengan semangat kepentingan kelompok daripada kepentingan bangsa dan umat.
Husein kemudian mendirikan Yayasan Penerbitan Islam bersama sejumlah aktivis muda seperti [[Omar Hashim]]. Di yayasan ini, Husein menerjemahkan Injil Barnabas (injil non-kanonik yang dianggap sesuai dengan ajaran Islam tentang Yesus) ke dalam bahasa Indonesia bersama Abu Bakar Basymeleh dan menerbitkan karya-karya ilmiah keislaman serta Kristologi. Melalui yayasan ini, Husein juga menerbitkan sejumlah karya kritis yang membedah pemikiran Ahmad Hassan, ulama sekaligus guru Mohammad Natsir.
Dalam periode ini, Husein berhubungan dengan tokoh-tokoh internasional dengan saling bersurat dan kemudian bertemu. Salah satunya adalah juara dunia dan petinju legendaris [[Amerika Serikat]], [[Muhammad Ali]]. Ketika Ali ditahan, dicabut seluruh gelar tinjunya, dan dilarang bertanding karena menolak dikirim ke [[Vietnam]] untuk berperang pada 1967, Husein menyuratinya dan memberinya dukungan. Saat kemudian berkunjung ke Indonesia pada 1973, Ali secara khusus menyambangi Husein. Selain Ali, Husein juga berkorespondensi dengan [[Yusuf Qardhawi]] dan Ayatullah [[Khomeini]].
|