Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hanamanteo (bicara | kontrib)
+
Hanamanteo (bicara | kontrib)
+
Baris 4:
Istilah [[Semenanjung Malaysia|Tanah Melayu]] menganggap kepemilikan negara bagian Melayu. Dalam metode ini, pemerintah kolonial memperkuat etnonasionalisme Melayu, etnis dan budaya Melayu, serta kedaulatan Melayu dalam negara-bangsa baru. Meskipun budaya lain akan terus berkembang, identitas komunitas politik yang muncul akan dibentuk oleh budaya politik "bersejarah" dari kelompok etnis Melayu yang dominan.<ref>{{Cite book|title=Nation Building: Five Southeast Asian Histories |page=99|author=Wang Gungwu|isbn=978-981-230-320-2|year=2005|publisher=Institute of Southeast Asian Studies}}</ref> Imigran [[Tionghoa Malaysia|Tionghoa]] dan [[India Malaysia|India]] yang merupakan minoritas signifikan di Malaysia dianggap berutang budi kepada orang Melayu karena memberi mereka kewarganegaraan dengan imbalan hak istimewa sebagaimana diatur dalam [[Pasal 153 Konstitusi Malaysia]]. Pengaturan ''[[quid pro quo]]'' ini biasanya disebut sebagai [[kontrak sosial (Malaysia)|kontrak sosial]]. Ketuanan Melayu biasa disebut oleh para politikus, khususnya yang tergabung dalam [[Organisasi Nasional Melayu Bersatu]] (UMNO).
 
Meskipun gagasannya sendiri sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Malaysia, istilah "ketuanan Melayu" baru mulai terkenal pada awal dasawarsa 2000-an. Dalam sejarah, oposisi politik yang paling lantang terhadap konsep tersebut berasal dari partai-partai beranggotakan bangsa minoritas seperti [[Partai Gerakan Rakyat Malaysia]] dan [[Partai Aksi DemokratisDemokratik]] (DAP). Gagasan ketuanan Melayu mendapat perhatian pada dasawarsa 1940-an, ketika orang Melayu mengorganisasi diri untuk memprotes pendirian [[Persatuan Malaya]] dan kemudian berjuang demi kemerdekaan. Selama dasawarsa 1960-an, terdapat upaya substansial yang menantang ketuanan Melayu yang dipimpin oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) asal Singapura [[Singapura di bawah pemerintahan Malaysia|yang merupakan negara bagian sejak 1963 hingga 1965]] dan DAP setelah pengeluaran paksa Singapura. Namun, pasal Konstitusi Malaysia yang terkait dengan ketuanan Melayu tetap "bercokol" setelah [[Peristiwa 13 Mei|kerusuhan rasial 13 Mei 1969]], menyusul kampanye [[pemilihan umum Malaysia 1969|pemilihan umum]] yang berfokus kepada masalah hak warga bukan Melayu dan ketuanan Melayu. Pada saat yang sama muncul "[[ultra (Malaysia)|ultra]]" yang mengokohkan pemerintahan satu partai yang dipimpin oleh UMNO, dan peningkatan penekanan pada orang Melayu sebagai orang-orang definitif Malaysia, yaitu hanya orang Melayu yang bisa menjadi orang Malaysia sejati. Pada milenium ketiga, sejumlah partai lain yang tergabung dalam [[Pakatan Harapan]] seperti [[Partai Keadilan Rakyat]] dan [[Partai Amanah Negara]] juga mengikuti jejak Partai Aksi Demokrasi yang menggugat ketuanan Melayu dan sebaliknya memajukan "ketuanan rakyat".
 
Kerusuhan ini menyebabkan perubahan besar dalam pendekatan pemerintah terhadap masalah rasial dan mengarah pada pengenalan kebijakan [[aksi afirmatif]] agresif yang sangat memihak orang Melayu, [[Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia|Kebijakan Ekonomi Baru]] (DEB). [[Kebijakan Kebudayaan Nasional]] yang juga diperkenalkan pada tahun 1970 menekankan kepada asimilasi orang bukan Melayu ke dalam kelompok etnis Melayu. Namun selama dasawarsa 1990-an, Perdana Menteri [[Mahathir bin Mohamad]] menolak pendekatan ini lewat kebijakannya ''[[Bangsa Malaysia]]'' yang menekankan identitas Malaysia alih-alih Melayu untuk negara bagian. Selama dasawarsa 2000-an, politisi mulai menekankan ketuanan Melayu lagi dan secara terbuka mengecam menteri pemerintah yang mempertanyakan kontrak sosial.
Baris 10:
Kemenangan mengejutkan [[Pakatan Harapan]] dalam [[pemilihan umum Malaysia 2018|pemilihan umum]] pada 2018 sedikit banyak berpengaruh terhadap gagasan ketuanan Melayu.
 
== AsalLatar usul "Ketuanan Melayu"belakang ==
=== Melayu Malaysia ===
[[Berkas:Sultans at the first Malayan Durbar.jpg|ka|jmpl|Britania250px|The British mengakuirecognised raja-rajathe MelayuMalay sebagaiRulers penguasaas berdaulatsovereign atasover [[Malaya]].]]
{{utama|Suku Melayu|Ras Melayu|Melayu Malaysia|Pemelayuan|Pasal 160 Konstitusi Malaysia}}
[[Suku Melayu]] yang menjadi mayoritas [[demografi Malaysia|penduduk Malaysia]] sebesar 50,4% adalah kelompok etnis [[suku bangsa Austronesia]] yang sebagian besar mendiami [[Semenanjung Malaya]], meliputi wilayah [[Thailand Selatan|paling selatan Thailand]], pantai timur [[Sumatra]], pantai [[Kalimantan]], dan pulau-pulau kecil yang terletak di antara tempat-tempat ini. Asal usul etnis Melayu yang sebenarnya masih menjadi subjek kajian di kalangan sejarawan, antropolog, dan ahli bahasa. Sebuah teori populer menyatakan bahwa orang yang menggunakan [[rumpun bahasa Austronesia]] pertama kali tiba di [[Asia Tenggara Maritim]] antara 2500 SM dan 1500 SM sebagai bagian dari perluasan wilayah Austronesia dari [[Taiwan]] ke [[Asia Tenggara]].<ref>{{Cite book|title=A History of Malaysia and Singapore|pages=4 & 5|author=Neil Joseph Ryan|isbn=0-19-580302-7|year= 1976|publisher=Oxford University Press| location=London}}</ref> Namun, studi genetik yang dilakukan oleh HUGO ([[Organisasi Genom Manusia]]) yang melibatkan hampir 2 ribu orang di seluruh Asia menunjukkan teori lain tentang pola migrasi Asia. Temuan HUGO mendukung hipotesis bahwa Asia dihuni terutama melalui peristiwa migrasi tunggal dari selatan dan bahwa kawasan Asia Tenggara dihuni pertama kali yang mengandung paling banyak keanekaragaman, kemudian berlanjut perlahan ke Utara dengan keragamannya hilang.<ref>{{cite news| url=http://news.bbc.co.uk/2/hi/8406506.stm |work=BBC News | title=Genetic 'map' of Asia's diversity | date=11 December 2009}}</ref>
 
Pengaruh [[Hindu]] dan [[Buddha]] terjadi melalui kontak perdagangan dengan [[anak benua India]]. Negeri-negeri Melayu kono bangkit pada awal milenium pertama di wilayah pesisir Semenanjung Malaysia, terutama [[Chi Tu|Kerajaan Tanah Merah]] (abad ke-1), [[Gangga Negara]] (abad ke-2), [[Langkasuka]] (abad ke-2), [[Lembah Bujang|Kedah]] (abad ke-2), dan [[Kerajaan Pahang Tua|Pahang]] (abad ke-5). Antara abad ke-7 dan ke-13, banyak dari negara-negara perdagangan maritim semenanjung yang kecil dan seringkali makmur ini menjadi bagian dari [[Kerajaan Sriwijaya]],<ref>{{Cite web|url=http://www.sabrizain.org/malaya/early.htm |title=Early Malay kingdoms |publisher=Sabrizain.org |access-date=21 June 2010}}</ref> sebuah kerajaan Melayu yang berpusat di [[Palembang]] dan [[Kedah|Kadaram]].<ref>{{cite book |last=Munoz|first=Paul Michel|title=Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula|publisher=Editions Didier Millet|year=2006|location=Singapore|page=171|isbn= 981-4155-67-5}}</ref><ref>{{cite book |last=Muljana|first=Slamet|author-link=Slamet Muljana|title= Sriwijaya|editor= F.W. Stapel|publisher=PT. LKiS Pelangi Aksara|year=2006 |isbn=978-979-8451-62-1 }}</ref>
 
By the 15th century, the [[Malacca Sultanate]], whose hegemony reached over much of the western Malay archipelago, had become the centre of [[Islamization]] in the east. The Malaccan tradition was transmitted onwards and fostered a vigorous ethos of Malay identity.<ref name="T. N Harper page 15">{{Cite book|title=The End of Empire and the Making of Malaya|page=15|author=T. N. Harper |isbn=978-0-521-59040-2|year= 2001|publisher=Cambridge University Press|location=UK}}</ref><ref>{{Cite book|title=New terrains in Southeast Asian history|page=15|author=Abu Talib Ahmad, Liok Ee Tan |isbn=9971-69-269-4|year= 2003|publisher=Ohio University press|location=Singapore}}</ref> Since this era, the Islamic faith became closely identified with Malay society and played a significant role in defining the [[Malay Islamic identity|Malay identity]].<ref name="Barbara Watson Andaya, Leonard Y. Andaya page 55">{{Cite book|title=A History of Malaysia|page=55|author=Barbara Watson Andaya, Leonard Y. Andaya |isbn=0-333-27672-8|year= 1984|publisher=Palgrave Macmillan|location=Lonndon}}</ref><ref>{{Cite book|title=Contesting Malayness: Malay identity across boundaries|page=7|author=Timothy P. Barnar |isbn=9971-69-279-1|year= 2004|publisher=Singapore University press|location=Singapore}}</ref><ref>{{Cite book|title=Malaysia: Transformasi dan perubahan sosial|page=16|author=Mohd Fauzi Yaacob |isbn=978-967-3-23132-4|year= 2009|publisher=Arah Pendidikan Sdn Bhd|location=Malaysia}}</ref> The close identification of the Malays with Islam continued until the 20th century and was finally entrenched in the [[Article 160 of the Constitution of Malaysia]] as well as in the national philosophy of [[Brunei]] known as the [[Malay Islamic Monarchy]].
 
The present day Malaysian Malays are divided broadly into "Malays proper" or "Peninsular Malays" (''Melayu Anak Jati'' or ''Melayu Semenanjung'') and "foreign Malays" or "Islander Malay" (''Melayu Anak Dagang'' or "Melayu Kepulauan"). The Malays proper consist of those individuals who adhere to the Malay culture which has developed in the [[Malay peninsula]].<ref>{{Cite book|title=Scientific facilities and information services of the Federation of Malaya and State of Singapore|page=4|author=John O Sutter|asin=B0006D0GHI|year= 1961|publisher=National Science Foundation by the Pacific Scientific Information Center, B. P. Bishop Museum}}</ref> Among notable groups are [[Kedahan Malay]]s, [[Kelantanese Malay]]s and [[Terengganuan Malay]]s. The foreign Malays consist of descendants of immigrants from other part of [[Malay archipelago]] who became the citizens of the Malay sultanates and were absorbed and assimilated into Malay culture at different times, aided by similarity in lifestyle and common religion ([[Islam]]). Among notable groups are the [[Javanese people|Javanese]], [[Minangkabau people|Minangkabau]] and [[Bugis]] Malays.<ref name="Gulrose">{{Cite book|title= Information Malaysia 1990–91 Yearbook|page=74|author=Gulrose Karim| year=1990|publisher=Berita Publishing Sdn. Bhd|location=Kuala Lumpur}}</ref><ref name="Joseph& Najmabadi">{{Cite book|title= Economics, Education, Mobility And Space (Encyclopedia of women & Islamic cultures)|page=436|author=Suad Joseph, Afsaneh Najmabadi|isbn=978-90-04-12820-0|year=2006|publisher=Brill Academic Publishers }}</ref>
 
=== Perselisihan etnis antara Melayu dan bangsa lain ===
Menurut banyak sejarawan, akar utama perselisihan antar etnis dan ketuanan Melayu adalah kurangnya hubungan antara kaum Melayu dengan kaum non-Melayu. Karena banyak imigran yang didatangkan sebagai "pekerja pendatang" oleh Britania, para imigran ini merasa tidak perlu untuk berintegrasi dengan masyarakat Melayu dan bahkan tidak banyak yang mau belajar bahasa Melayu. Pengecualian terdapat pada kaum [[Tionghoa-Malaysia|Tionghoa]] Peranakan yang telah berasimilasi dengan baik selama 600 tahun. Menurut [[Ming Shi-lu]], nenek moyang Tionghoa Peranakan adalah "hadiah" yang diberikan kepada Sultan Melaka sebagai tanda pengakuan hubungan bilateral antara [[Dinasti Ming]] dengan [[Kesultanan Melaka]]. Pada saat pemerintahan Britania, kebanyakan Tionghoa Peranakan adalah saudagar-saudagar yang kaya dan dalam kesehariannya berbahasa Melayu, berbusana Melayu, dan berkuliner Melayu.<ref>Hwang, pp. 25–26.</ref>
 
Baris 17 ⟶ 29:
Faktor lain yang mencuatkan ketuanan Melayu adalah pendudukan Jepang di Malaya semasa Perang Dunia II. Perang Dunia ini "membangkitkan kesadaran politik di antara warga Malaya dengan mengintensifkan komunalisme dan kebencian rasial". Kebijakan Jepang atas "politisasi kaum petani Melayu" secara sengaja membakar nasionalisme Melayu. Dua sejarahwan Melayu menulis bahwa "Perlakuan tidak ramah yang diberikan Jepang kepada kaum Tionghoa dan perlakuan sebaliknya yang diberikan kepada kaum Melayu membantu kaum Tionghoa merasakan identitasnya yang terkucil secara lebih tajam..." Salah satu komentator asing juga menyatakan "Semasa periode pendudukan ... sentimen nasional Melayu telah menjadi kenyataan; sentimen ini sangatlah anti-Tionghoa dan dalam unjuk rasa diserukan 'Malaya untuk orang Melayu'..."<ref>Hwang, pp. 34–35.</ref>
 
== Pra-KemerdekaanPrakemerdekaan ==
=== Nasionalisme Awalawal Melayu ===
[[Berkas:Sultans at the first Malayan Durbar.jpg|jmpl|Britania mengakui raja-raja Melayu sebagai penguasa berdaulat atas [[Malaya]].]]
 
=== Nasionalisme Awal Melayu ===
Nasionalisme Melayu sebagai gerakan politik yang terorganisasikan dan bersatu tidaklah wujud sebelum [[Perang Dunia II]]. Konsep ketuanan Melayu juga tidak relevan dengan kondisi politik saat itu karena warga [[Tionghoa-Malaysia]] dan [[India Malaysia]] yang menduduki hampir setengah jumlah populasi Malaya tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai warga Malaya.<ref>Ye, Lin-Sheng (2003). ''The Chinese Dilemma'', pp. 26–27. East West Publishing. ISBN 0-9751646-1-9.</ref> Sebuah laporan dari ''British Permanent Under-Secretary of State for the Colonies'' pada awal tahun 1930-an menemukan bahwa jumlah warga non-Melayu yang menganggap Malaya sebagai tanah air mereka sangat kecil.<ref>Hwang, In-Won (2003). ''Personalized Politics: The Malaysian State under Mahathir'', p. 24. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 981-230-185-2.</ref>
 
Baris 108 ⟶ 118:
Pada akhirnya, Tunku Abdul Rahman, merasa muak dengan semua permainan politik dan diyakinkan bahwa percekcokan retorika lebih jauh lagi akan berakhir pada kekerasan, meminta Singapura untuk memisahkan diri dari Malaysia. Singapura menjadi negara merdeka pada tahun 1965 dengan Lee Kuan Yew sebagai [[Perdana Menteri]] pertamanya.<ref>Ooi, Jeff (2005). [http://www.jeffooi.com/archives/2005/11/i_went_into_act.php "Perils of the sitting duck"]{{Dead link|url=http://www.jeffooi.com/archives/2005/11/i_went_into_act.php|date=October 2008}}. Retrieved 11 November 2005.</ref>
 
== InsidenPeristiwa 13 Mei dan Kebijakan Ekonomi Baru ==
=== Permasalahan bahasa ===
Konstitusi secara spesifik menentukan bahwa penggantian bahasa nasional dari bahasa Inggris menjadi bahasa Melayu ditunda selama 10 tahun. Seiring dengan semakin dekatnya tenggat waktu 10 tahun itu pada tahun 1967, beberapa kaum Tionghoa mulai gelisah dan menuntut kebijakan bahasa yang lebih liberal dan mengizinkan penggunaan [[bahasa Mandarin]] dalam acara-acara publik tertentu. Ekstremis dari UMNO dan PAS bereaksi keras atas tuntutan itu, namun Perikatan memberikan kompromi dalam Undang-Undang Bahasa Nasional yang mengukuhkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, namun mengizinkan penggunaan Bahasa Inggris dalam kondisi tertentu dan penggunaan bahasa non-Melayu dalam kegiatan tak resmi. Tunku Abdul Rahman menyebutnya sebagai "arah yang menjamin kedamaian",<ref>Hwang, pp. 66–67.</ref> namun undang-undang tersebut dicemooh oleh banyak orang Melayu, yang membentuk Front Aksi Bahasa Nasional dengan harapan membalikkan ataupun mengamendemen undang-undang tersebut. Kepemimpinan Tunku juga secara terbuka dipertanyakan.<ref>Hwang, p. 71.</ref>
Baris 174 ⟶ 184:
== Pemerintahan Mahathir ==
=== Aksi afirmatif dan protes kaum Tionghoa ===
{{mainutama|Operasi Lalang}}
 
{{main|Operasi Lalang}}
Kebijakan-kebijakan afirmatif Kebijakan Ekonomi Baru dilanjutkan di bawah pemerintahan Mahathir. Para ahli politik menganggap pemerintahannya sebagai kelanjutan "kontrol hegemoni" politik Malaysia oleh kaum Melayu dan UMNO secara khususnya.<ref name="hwang_10"/> Pada masa ini, Mahathir berfokus pada konsolidasi kekuasaanya dalam UMNO dan pemerintahan.<ref>Hwang, hal. 134–135.</ref> Akibatnya, hanya ada sedikit konfrontasi langsung antara kaum Melayu dengan non-Melayu mengenai Ketuanan Melayu.
 
Pada tahun 1981, MCA melakukan evaluasi terhadap Kebijakan Ekonomi Baru dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya melalui sudut pandang kaum Tionghoa. Hasil evaluasi ini menunjukkan beberapa masalah, yaitu kecurigaan bahwa status kewarganegaraan kaum Tionghoa Malaysia tidak dihargai, dan mengklaim bahwa tujuan Kebijakan Ekonomi Baru untuk menghapuskan identifikasi ras berdasarkan fungsi ekonomi telah dihapuskan.<ref>Tan, Koon Swan (1982). Introduction. In Federal Territory MCA Liaison Committee (Ed.), ''Malaysian Chinese'', pp. vii–xi. Eastern Universities Press. No ISBN available.</ref> Selain itu, diargumenkan bahwa kaum non-Melayu tidak diwakili secara proporsional dalam Parlemen dan kabinet karena manipulasi wilayah distrik pemilihan umum (''[[gerrymandering]]''). Kebanyakan wilayah pemilihan pedesaan yang didominasi Melayu melebihi wilayah pemilihan perkotaan yang heterogen, walaupun jumlah populasi wilayah pemilihan perkotaan melebihi populasi wilayah pemilihan pedesaan.<ref>Yeoh, Michael Oon Kheng (1982). The Politics of Under-Representation. In Federal Territory MCA Liaison Committee (Ed.), ''Malaysian Chinese'', pp. 61–71. Eastern Universities Press. No ISBN available.</ref> Walaupun MCA mengeluarkan laporan ini, UMNO menghindari kontroversi langsung dengan MCA mengenai masalah ini.
 
Ketegangan mulai muncul setelah Pemilihan Umum Malaysia tahun 1986, ketika UMNO berhasil mendapatkan mayoritas kursi Parlemen, mengizinkan UMNO membentuk pemerintahan sendiri tanpa berkoalisi dengan partai-partai lain. Beberapa pemimpin UMNO dengan serius mendiskusikan kemungkinan pemerintahan tanpa koalisi ini. Salah satu pemimpin tersebut, [[Abdullah Ahmad Badawi]], secara publik mendukung supremasi Melayu secara permanen dan menurunkan status kaum non-Melayu sebagai warga negara kelas dua. Seruan ini pada akhirnya tidak dihiraukan dan pemerintahan koalisi Barisan Nasional tetap berlanjut. Walau demikian, beberapa pejabat UMNO memperingati partai-partai non-Melayu untuk tidak "bermain api" dengan mempertanyakan isu-isu seperti hak khusus orang Melayu (''Hak Keistimewaan Orang Melayu''). Dalam Majelis Umum UMNO tahun itu, Mahathir menyatakan: "Kita tidak berharap mencuri hak-hak orang lain. Namun janganlah biarkan orang lain mencuri hak-hak kita." Ketika parlemen bersidang, DAP mulai menyerukan keberatannya mengenai pembagian warga Malaysia menjadi "warga negara kelas satu dan kelas dua". Sebagai balasannya, beberapa anggota parlemen UMNO mulai menyebut-nyebut kaum non-Melayu sebagai pendatang asing dalam parlemen. Ketika DAP mencoba untuk melakukan penelusuran distribusi ekonomi antar kaum untuk mengevaluasi progres Kebijakan Ekonomi Baru, peraturan parlemen (''Peraturan-peraturan Majlis Mesyuarat'') diamendemen sehingganya melarang penelusuran tersebut.<!-- Hal ini membuat DAP menuduh bahwa sasaran Kebijakan Ekonomi Baru telah tercapai agar dapat dibuat kadaluwarsa pada tahun 1990.<ref>Means, hal. 187–189.</ref>
 
Beberapa orang, seperti [[Richard Yeoh]], meyakini bahwa Abdullah Ahmad, pembantu Mahathir, adalah orang pertama yang menggunakan istilah "''Ketuanan Melayu''". Yeoh mendeskripsikan konteks yang digunakan Ahmad sebagai "pidato yang cukup ramah dan sebagian besar dari kita tidak bermasalah akan itu, tetapi, but it has been taken to mean Malay supremacy by some Umno leaders who don't necessarily know what it means."<ref name="flay">{{Cite news| first=Aidila | last=Razak | coauthors= |authorlink= | title=Forum speakers flay 'Ketuanan Melayu' | date=12 December 2009 | publisher= | url =http://malaysiakini.com/news/119722 | work =Malaysiakini | pages = | accessdate = 10 February 2010 | language = }}</ref>-->
 
== Pemerintahan Najib ==
 
== Pemerintahan Mahathir kedua ==
Beberapa orang, seperti [[Richard Yeoh]], meyakini bahwa Abdullah Ahmad, pembantu Mahathir, adalah orang pertama yang menggunakan istilah "''Ketuanan Melayu''". Yeoh mendeskripsikan konteks yang digunakan Ahmad sebagai "pidato yang cukup ramah dan sebagian besar dari kita tidak bermasalah akan itu, tetapi, but it has been taken to mean Malay supremacy by some Umno leaders who don't necessarily know what it means."<ref name="flay">{{Cite news| first=Aidila | last=Razak | coauthors= |authorlink= | title=Forum speakers flay 'Ketuanan Melayu' | date=12 December 2009 | publisher= | url =http://malaysiakini.com/news/119722 | work =Malaysiakini | pages = | accessdate = 10 February 2010 | language = }}</ref>-->
[[Berkas:Pakatan Harapan Logo.svg|ka|jmpl|200px|Logo Pakatan Harapan]]
Walau Mahathir kembali menjadi perdana menteri untuk kedua kalinya, tetapi kali ini ia berasal dari [[Pakatan Harapan]] yang sempat menjadi koalisi oposisi. Pengamat sosial politik Mohd. Ayop Abd. Razid yang menulis untuk ''[[Berita Harian]]'' menyebut ketuanan Melayu tidak hilang di bawah pemerintah Pakatan Harapan, tidak seperti yang dikhawatirkan banyak orang.<ref>{{cite newspaper|last=Abd. Razid|first=Mohd. Ayop|url=https://www.pressreader.com/malaysia/berita-harian-malaysia/20181119/281616716406840|title=Kuasa Melayu Terus Kekal di Bawah PH|newspaper=Berita Harian|date=19 November 2018|via=Pressreader}}</ref>
 
== Lihat pula ==