Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Hanamanteo (bicara | kontrib) + |
Hanamanteo (bicara | kontrib) + |
||
Baris 198:
Sebelum berakhirnya DEB pada tahun 1990, terdapat banyak perdebatan mengenai kepastian kebijakan tersebut harus diperbarui, diganti, atau dibatalkan sama sekali. Pemerintah mengadakan tinjauan resmi terhadap NEP pada tahun-tahun menjelang berakhirnya DEB. DEB telah dihadapkan pada sejumlah kritik sepanjang hidup kebijakan itu, kebanyakan di antaranya terkait dengan [[korupsi politik]] dan ketakefisienan lainnya. Salah satu poin perselisihan adalah perhitungan ekuitas Melayu. Meskipun secara resmi orang Melayu menguasai 18% dari pangsa ekonomi pada tahun 1992, beberapa orang menganggap angka ini menyesatkan. Dikatakan bahwa dalam kenyataannya, sebagian besar dari jumlah ini merupakan ekuitas yang dipegang oleh badan-badan pemerintah, oleh karena itu menjadi milik Malaysia secara keseluruhan.<ref>Musa, pp. 217–218.</ref> Praktik pemberian kontrak pekerjaan umum terutama kepada Bumiputra dianggap menghambat kompetensi Melayu dengan memberikan sedikit insentif untuk meningkatkan. Banyak kontraktor Bumiputra yang kemudian mensubkontrakkan pekerjaan mereka kepada orang lain, yang dalam beberapa kasus adalah orang Tionghoa; Perjanjian "[[Ali Baba (Malaysia)|Ali Baba]]" dengan "orang Melayu [Ali] menggunakan hak istimewanya untuk memperoleh lisensi dan izin ditolak orang non-Melayu, kemudian menerima bayaran untuk menjadi pemimpin sementara [Baba] non-Melayu menjalankan bisnis," adalah lazim. Beberapa orang berpendapat bahwa NEP "mungkin berhasil, jika orang Melayu benar-benar ingin mempelajari seluk-beluknya. Tetapi lebih sering daripada tidak, dia hanya ingin menjadi kaya."<ref>Rashid, pp. 134–135.</ref>
During the 1980s, concern continued to grow about discrimination in higher education. At this point, the Education Minister told Parliament of "dissatisfaction" and "disappointment" among non-Malays concerning "lessening opportunities" for higher education.<ref name="trindade_lee_50">Trinidade & Lee, p. 50.</ref> Later in 1997, then Education Minister [[Najib Tun Razak]] defended the quotas as necessary, claiming that only 5% of all local undergraduates would be Malays if quotas were abolished.<ref>Musa, p. 182.</ref>
|