Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Hanamanteo (bicara | kontrib) + |
Hanamanteo (bicara | kontrib) + |
||
Baris 202:
Selama tahun 1980-an, perhatian tentang diskriminasi di pendidikan tinggi terus bertumbuh. Pada titik ini, Menteri Pendidikan mengatakan kepada parlemen tentang ketidakpuasan dan kekecewaan di antara orang non-Melayu tentang berkurangnya kesempatan bagi melanjutkan jenjang pendidikan tinggi.<ref name="trindade_lee_50"> Kemudian pada tahun 1997, Menteri Pendidikan Najib Razak mempertahankan kuota sebagaimana diperlukan dengan mengklaim bahwa hanya 5% dari semua sarjana lokal akan menjadi orang Melayu jika kuota dihapuskan.<ref>Musa, p. 182.</ref>
Kritik lain adalah bahwa DEB dan tindakan afirmatif lainnya telah benar-benar mengurangi kepercayaan diri orang Melayu, meskipun Mahathir berniat membangun kelas bisnis orang Melayu untuk menjadi panutan bagi orang Melayu yang miskin. Seorang wartawan Melayu berpendapat: "[Di bawah Kebijakan Ekonomi Baru ini, tidak ada bumiputra yang dapat yakin bahwa 'kemenangan' seperti yang dia terima pantas diterima sepenuhnya."<ref>Rashid, p. 99.</ref> DEB juga dikritik karena berusaha memperbaiki saham ekonomi orang Melayu secara keseluruhan, bahkan jika bagian ini dipegang oleh sejumlah kecil orang Melayu.<ref>Bennet, Abang (2005). [http://aliran.com/archives/monthly/2005b/7d.html "UMNO: A threat to national prosperity"]. Retrieved 11 November 2005.</ref> Beberapa kalangan menuduh DEB terlalu berat dalam pendekatannya terhadap tindakan afirmatif, sehingga mempertahankan DEB berarti telah menghilangkan kesempatan non-Melayu yang memenuhi syarat untuk pendidikan tinggi dan promosi pekerjaan serta memaksa banyak non-Melayu untuk berpindah sebagai gantinya.<ref>Abdullah & Pedersen, p. 56.</ref> Hal ini, dipadukan dengan kesan NEP sebagai korup dan terkait dengan ketuanan Melayu, menimbulkan "kebencian yang dalam", khususnya di antara orang Tionghoa.<ref>Branegan, Jay (20 August 1990). [http://www.time.com/time/asia/2003/mahathir/mahathir900820.html A Working Racial Bias]. ''[[TIME]]''.</ref>
Claims that the NEP had retarded economic growth were dismissed; it was posited that the NEP had managed to avert further racial rioting, which would have hurt economic growth more than the NEP. The NEP was also defended as having created a Malay [[middle class]] and improving [[standard of living|standards of living]] without compromising the non-Bumiputra share of the economy in absolute terms; statistics indicated that the Chinese and Indian middle classes also grew under the NEP, albeit not as much as the Malays'. The overall Malaysian poverty rate had shrunk from 50% at independence to 7%. It was also argued that [[ethnic stereotype]]s had been largely stamped out due to the NEP's success in creating a Malay upper class. Although many of the NEP's goals were restated by the NDP, the new policy appeared to be geared more towards wealth retention and creation, as opposed to simple redistribution.<ref name="pedersen_53"/><ref>Ye pp. 85, 92, 94, 156.</ref><ref>Milne & Mauzy, pp. 72–74.</ref> Nevertheless, many of the policies from the NEP era were retained under the NDP, which was set to expire in 2020.<ref>Musa, p. 113.</ref>
|