Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Hanamanteo (bicara | kontrib) + |
Hanamanteo (bicara | kontrib) + |
||
Baris 4:
Istilah [[Semenanjung Malaysia|Tanah Melayu]] menganggap kepemilikan negara bagian Melayu. Dalam metode ini, pemerintah kolonial memperkuat etnonasionalisme Melayu, etnis dan budaya Melayu, serta kedaulatan Melayu dalam negara-bangsa baru. Meskipun budaya lain akan terus berkembang, identitas komunitas politik yang muncul akan dibentuk oleh budaya politik "bersejarah" dari kelompok etnis Melayu yang dominan.<ref>{{Cite book|title=Nation Building: Five Southeast Asian Histories |page=99|author=Wang Gungwu|isbn=978-981-230-320-2|year=2005|publisher=Institute of Southeast Asian Studies}}</ref> Imigran [[Tionghoa Malaysia|Tionghoa]] dan [[India Malaysia|India]] yang merupakan minoritas signifikan di Malaysia dianggap berutang budi kepada orang Melayu karena memberi mereka kewarganegaraan dengan imbalan hak istimewa sebagaimana diatur dalam [[Pasal 153 Konstitusi Malaysia]]. Pengaturan ''[[quid pro quo]]'' ini biasanya disebut sebagai [[kontrak sosial (Malaysia)|kontrak sosial]]. Ketuanan Melayu biasa disebut oleh para politikus, khususnya yang tergabung dalam [[Organisasi Nasional Melayu Bersatu]] (UMNO).
Meskipun gagasannya sendiri sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Malaysia, istilah "ketuanan Melayu" baru mulai terkenal pada awal dasawarsa 2000-an. Dalam sejarah, oposisi politik yang paling lantang terhadap konsep tersebut berasal dari partai-partai beranggotakan bangsa minoritas seperti [[Partai Gerakan Rakyat Malaysia]] dan [[Partai Aksi Demokratik]] (DAP). Gagasan ketuanan Melayu mendapat perhatian pada dasawarsa 1940-an, ketika orang Melayu mengorganisasi diri untuk memprotes pendirian [[Persatuan Malaya]] dan kemudian berjuang demi kemerdekaan. Selama dasawarsa 1960-an, terdapat upaya substansial yang menantang ketuanan Melayu yang dipimpin oleh [[Partai Aksi Rakyat]] (PAP) asal Singapura [[Singapura di bawah pemerintahan Malaysia|yang merupakan negara bagian sejak 1963 hingga 1965]] dan DAP setelah pengeluaran paksa Singapura. Namun, pasal Konstitusi Malaysia yang terkait dengan ketuanan Melayu tetap "bercokol" setelah [[Peristiwa 13 Mei|kerusuhan rasial 13 Mei 1969]], menyusul kampanye [[pemilihan umum Malaysia 1969|pemilihan umum]] yang berfokus kepada masalah hak warga bukan Melayu dan ketuanan Melayu. Pada saat yang sama muncul "[[ultra (Malaysia)|ultra]]" yang mengokohkan pemerintahan satu partai yang dipimpin oleh UMNO, dan peningkatan penekanan pada orang Melayu sebagai orang-orang definitif Malaysia, yaitu hanya orang Melayu yang bisa menjadi orang Malaysia sejati. Pada milenium ketiga, sejumlah partai lain yang tergabung dalam [[Pakatan Harapan]] seperti [[Partai Keadilan Rakyat]] dan [[Partai Amanah Negara]] juga mengikuti jejak Partai Aksi Demokrasi yang menggugat ketuanan Melayu dan sebaliknya memajukan "ketuanan rakyat".
Kerusuhan ini menyebabkan perubahan besar dalam pendekatan pemerintah terhadap masalah rasial dan mengarah pada pengenalan kebijakan [[aksi afirmatif]] agresif yang sangat memihak orang Melayu, [[Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia|Kebijakan Ekonomi Baru]] (DEB). [[Kebijakan Kebudayaan Nasional]] yang juga diperkenalkan pada tahun 1970 menekankan kepada asimilasi orang bukan Melayu ke dalam kelompok etnis Melayu. Namun selama dasawarsa 1990-an, Perdana Menteri [[Mahathir bin Mohamad]] menolak pendekatan ini lewat kebijakannya ''[[Bangsa Malaysia]]'' yang menekankan identitas Malaysia alih-alih Melayu untuk negara bagian. Selama dasawarsa 2000-an, politisi mulai menekankan ketuanan Melayu lagi dan secara terbuka mengecam menteri pemerintah yang mempertanyakan kontrak sosial.
Baris 206:
Pada tahun 1990, DEB digantikan oleh [[Kebijakan Pembangunan Nasional]] (DPN) yang melanjutkan sebagian besar kebijakan zaman DEB. Meskipun secara substansial lebih besar, pangsa ekonomi Melayu tidak mendekati sasaran 30% berdasarkan angka pemerintah. Dalam tinjauannya terhadap DEB, pemerintah menemukan bahwa meskipun ketimpangan pendapatan telah berkurang, beberapa sasaran penting yang terkait dengan kepemilikan perusahaan Melayu secara keseluruhan belum terpenuhi. Baik Mahathir maupun Abdul Rahman telah menyatakan keprihatinan bahwa orang Melayu tetap terlalu bergantung pada orang Tionghoa secara ekonomi.<ref>Maidin, pp. 252–253.</ref><ref>Putra, pp. 97–99.</ref>
=== Bangsa Malaysia dan liberalisasi politik ===
Selama dasawarsa 1990-an, Mahathir dan UMNO menyampaikan gagasan tentang kebijakan budaya pemerintah dengan pembentukan rencana [[Wawasan 2020]] dan [[Bangsa Malaysia]]. Mahathir menyebut salah satu hambatan untuk membangun Malaysia sebagai negara maju pada tahun 2020 adalah tantangan membangun masyarakat yang dewasa, liberal, dan toleran ketika orang Malaysia tak mengira semua warna kulit dan keyakinan bebas untuk mempraktikkan dan menganut adat-istiadat, budaya, dan kepercayaan agama mereka, tetapi merasa bahwa mereka adalah milik satu bangsa. Mahathir mengusulkan pembentukan satu Bangsa Malaysia dengan kesetiaan politik dan dedikasi kepada bangsa. Setelah kemenangan pemilihan umum tahun 1995, Mahathir menguraikan: "Bangsa Malaysia berarti orang yang dapat mengidentifikasi diri mereka sendiri dengan negara, berbicara Bahasa Malaysia (bahasa Malaysia atau bahasa Melayu) dan menerima Konstitusi."<ref>Hwang, pp. 245–246.</ref>
Mahathir later explained that "The idea before was that people should become 100 per cent Malay in order to be Malaysian. We now accept that this is a multi-racial country. We should build bridges instead of trying to remove completely the barriers separating us." Such a dramatic change was perceived by the non-Malay communities as a "complete retraction" of earlier policies emphasising assimilation of non-Malays. The government took measures to stress this change, decreasing emphasis on Malay as the one and only national language by permitting local universities to use English as the medium of instruction for certain subjects. [[Diploma]]s from the MCA-sponsored and Chinese-majority [[Tunku Abdul Rahman College]] (TARC) were officially recognised by the government for employment in the civil service.<ref>Hwang, pp. 246–247, 248–249, 250.</ref> For the first time, religions other than [[Islam]] were given airtime on state [[radio]] and [[television]], although they were not allowed to proselytise.<ref>Milne & Mauzy, p. 96.</ref> [[Lion dance]]s — a traditional Chinese performance which had been banned for decades — were not only permitted but even attended by Mahathir and other top government officials.<ref name="hwang_249">Hwang, p. 249.</ref>
Although the early 1990s saw marked economic growth, commentators suggested that Mahathir's liberal policies had played the key role in his popularity and the Barisan Nasional's landslide 1995 election victory. One pundit wrote that "Most Malaysians could not remember a time of greater prosperity or lesser inter-ethnic recrimination. ... Economic indicators alone would not have captured the pride that Malaysians had discovered, perhaps for [the] first time, in being Malaysian."<ref>Hilley, p. 65.</ref>
Lim Kit Siang attributed the opposition's defeat to Mahathir's liberalism and the government's adoption of the DAP's stance on issues like "language, culture and education". Some, however, doubted Mahathir's sincerity. One UMNO Youth official suggested that "The Barisan government's flexible move ... only shows that we are enjoying the highest level of tolerance purely based on the level of confidence in terms of political and economic position of the Malays. We share the political power with the Chinese. When they need to increase their political support from their community it is very important for them to serve the main concerns of the Chinese. So, why shouldn't we allow that? We can ... achieve a win-win situation. This is a purely political move. ... Similarly we [[UMNO|UMNO Youth]] have to be often seen as a very racialist political group fighting for the Malay interests. ... However, those finished agendas that we have done, such as Islam, ''Bahasa Melayu'' [the Malay language] and the special status of the Malays, should not be questioned in any circumstance because these are very sensitive issues."<ref>Hwang, pp. 209, 258.</ref>
In the latter part of the 1990s, government policies were loosened to combat the [[Asian economic crisis]] by encouraging foreign investment. In 1999, a new opposition party supported by Mahathir's former deputy, [[Anwar Ibrahim]] (who had been jailed for [[sodomy]] after his controversial sacking) led to a revival of the "13 May" warnings. However, the government maintained its Parliamentary majority.<ref>
Kamarudin, Raja Petra. [http://www.freeanwar.net/news/tenth_general_elections.html "An Analysis of Malaysia's 1999 Tenth General Elections"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20060907073630/http://www.freeanwar.net/news/tenth_general_elections.html |date=7 September 2006 }} . Retrieved 11 August 2006.
</ref>
== Pemerintahan Najib ==
|