Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hanamanteo (bicara | kontrib)
+
Hanamanteo (bicara | kontrib)
+
Baris 248:
Setahun sebelumnya, Abdullah menyebut aspek paling signifikan dari kontrak sosial adalah kesepakatan masyarakat adat untuk memberikan kewarganegaraan kepada imigran Tionghoa dan India. Meskipun Abdullah melanjutkan dengan menyatakan jati diri bangsa berubah menjadi salah satu yang warga Tionghoa dan India juga bisa sebut sebagai milik mereka,<ref>{{cite web|author=Badawi, Abdullah Ahmad|year=2004|url=http://domino.kln.gov.my/kln/statemen.nsf/0/eee39330c19514e648256e7c0009f6ee?OpenDocument|title=The Challenges of Multireligious, Multiethnic and Multicultural Societies|access-date=12 November 2005|archive-url=https://web.archive.org/web/20060225004256/http://domino.kln.gov.my/kln/statemen.nsf/0/eee39330c19514e648256e7c0009f6ee?OpenDocument|archive-date=2006-02-25|url-status=dead}}</ref> pidato tersebut sebagian besar tidak diketahui ramai orang. Akhirnya, Keng Yaik menyatakan bahwa pers Melayu telah membesar-besarkan komentarnya dan salah mengutipnya. Masalah diakhiri dengan Ketua Pemuda UMNO Hishammuddin Hussein memperingatkan masyarakat untuk tidak "mengungkit masalah lagi seperti yang telah disepakati, dihargai, dipahami dan disahkan oleh Konstitusi."<ref>[http://www.bernama.com/bernama/v3/news.php?id=150404 "Don't Raise Social Contract Issue, Umno Youth Chief Warns"]. (15 August 2005). ''[[BERNAMA]]''.</ref>
 
Pada Januari 2006, pemerintah mengumumkan kampanye kesadaran [[Rukun Negara]]. Kantor berita pemerintah Bernama mengutip pernyataan Abdul Rahman pada tahun 1986 bahwa "Orang Melayu bukan hanya penduduk asli tetapi juga penguasa negeri ini dan tidak ada yang dapat membantah fakta ini". Pasal-pasal konstitusi yang menyinggung agama resmi [[Islam]], monarki, status bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, dan hak-hak khusus Melayu digambarkan sebagai "dengan jelas mengeja pengakuan dan pengakuan bahwa orang Melayu adalah penduduk asli ' pribumi '[pribumi] dari negeri ini. " Kemudian dinyatakan bahwa penekanan baru pada Rukunegara adalah untuk mencegah pertanyaan lebih lanjut tentang kontrak sosial, yang "menentukan polaritas politik dan kedudukan sosial ekonomi orang Malaysia".<ref>Ramly, Rosliwaty (25 January 2006). [http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news.php?id=177338 Appreciating The Rukun Negara] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070324110139/http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news.php?id=177338 |date=24 March 2007 }} . ''[[BERNAMA]]''.</ref>
In January 2006, the government announced a [[Rukunegara]] awareness campaign. The government press agency, ''[[BERNAMA]]'', quoted the Tunku as saying in 1986 that "The Malays are not only the natives but also the lords of this country and nobody can dispute this fact". The articles of the Constitution touching on the official religion of [[Islam]], the monarchy, the status of Malay as the national language, and Malay special rights were described as "clearly spell[ing] out the acknowledgment and recognition that the Malays are the indigenous 'pribumi' [natives] of this land." It was then stated that the new emphasis on the Rukunegara was to prevent further questioning of the social contract, which "decides on the political polarity and socio-economic standing of Malaysians".<ref>
Ramly, Rosliwaty (25 January 2006). [http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news.php?id=177338 Appreciating The Rukun Negara] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070324110139/http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news.php?id=177338 |date=24 March 2007 }} . ''[[BERNAMA]]''.
</ref>
 
Later, a survey of Malaysians found that 55% of respondents agreed politicians should be "blamed for segregating the people by playing racial politics". [[Mukhriz Mahathir]] — Mahathir's son and an UMNO Youth leader — defended UMNO's actions because of economic disparities, insisting that "As long as that remains, there will always be people to champion each race to equalise things." [[Shahrir Abdul Samad]], the chairman of the BN Backbenchers' Club, argued that politicians were simply responding to "a country ... divided into different races," asking, "if you talk about Malay issues to the Malay community, is that playing racial politics?" [[M. Kayveas]], the President of the PPP, disagreed: "Every 12 months, the parties go back to one race championing their own causes and, at the end of the day, when the general election comes, we talk about 'Bangsa Malaysia'."<ref>"Racial politics. And so, who's to blame?", p. 12. (21 March 2006). ''[[New Straits Times]]''.</ref>