Proyek Strategis Nasional: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 31:
== Latar belakang ==
Ketersediaan atau stok infrastruktur Indonesia sejak [[Krisis finansial Asia 1997|krisis ekonomi 1998]] tercatat anjlok karena tidak adanya pembangunan infrastruktur yang masif, terlihat dari anggaran infrastruktur yang anjlok dari posisi 9% terhadap Produk Domestik Bruto pada pertengahan tahun 1990-an menjadi 2% pada tahun 2001.<ref name=":19">{{Cite journal|last=Salim|first=Wilmar|last2=Negara|first2=Siwage Dharma|date=2018|title=Infrastructure Development under the Jokowi Administration: Progress, Challenges and Policies|url=http://www.jstor.org/stable/26545320|journal=Journal of Southeast Asian Economies|volume=35|issue=3|pages=386–401|issn=2339-5095}}</ref> Pada tahun 1998, ketersediaan infrastruktur Indonesia mencapai 49% terhadap [[Produk domestik bruto|Produk Domestik Bruto]], kemudian menyusut menjadi 32% pada 2012, lalu tahun 2015 menjadi 35% dan berhasil meningkat kembali menjadi 43% pada awal 2019. [[Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional|Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia]]/[[Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional]] periode 2016-2019, [[Bambang Brodjonegoro]] menilai, Indonesia perlu mengejar standar rata-rata ketersediaan infrastruktur negara maju yang mencapai 70%, seperti [[Republik Rakyat Tiongkok|Tiongkok]] dan [[India]] yang stok infrastrukturnya sudah mencapai 76% dan 57%, termasuk mengejar ketertinggalan dengan [[Afrika Selatan]] yang Produk Domestik Bruto-nya di bawah Indonesia, namun ketersediaan infrastrukturnya sudah mencapai 87%.<ref>{{Cite web|url=https://ekonomi.bisnis.com/read/20190314/45/899737/stok-infrastruktur-indonesia-naik-jadi-43-tahun-ini|title=Stok Infrastruktur Indonesia Naik Jadi 43% Tahun Ini {{!}} Ekonomi|website=Bisnis.com|access-date=2020-03-04}}</ref>
Menurut [[Badan Perencanaan Pembangunan Nasional]] (Bappenas), untuk mengejar ketertinggalan kapasitas infrastruktur, Indonesia membutuhkan investasi besar di sektor ini, yakni Rp 4,796,2 triliun selama periode 2015-2019.<ref name=":16" /> Sebesar 41,3% atau Rp 1.978,6 triliun disumbangkan oleh [[Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia|Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara]] (APBN) dan [[Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah]] (APBD), kemudian 22,2% atau senilai Rp 1.066,2 triliun berasal dari [[Badan usaha milik negara|Badan Usaha Milik Negara]] (BUMN), dan sisanya sebesar 36,5% atau Rp 1.751,5 triliun berasal dari pihak swasta.<ref name=":16">{{Cite web|url=http://fmb9.id/document/1524818011_Materi_Bappenas.pdf|title=Pembangunan Infrastruktur 2015-2019|last=|first=|date=|website=Forum Merdeka Barat|access-date=4 Maret 2020}}</ref> Kebutuhan dana investasi diproyeksikan kembali meningkat menjadi Rp 6.445 triliun untuk periode 2019-2024, dengan kontribusi paling banyak diharapkan berasal dari sektor swasta, yakni 42%, disusul Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 37%, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 21%.<ref>{{Cite web|url=http://nasional.kontan.co.id/news/kebutuhan-pendanaan-infrastruktur-hingga-tahun-2024-mencapai-rp-6445-triliun|title=Kebutuhan pendanaan infrastruktur hingga tahun 2024 mencapai Rp 6.445 triliun|last=|first=|date=2019-10-02|website=Kontan.co.id|language=id|access-date=2020-03-04}}</ref>
|