Perang Dayak Desa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
blog |
|||
Baris 29:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Ontvangst bij de sultan van Pontianak West-Borneo TMnr 10001596.jpg|jmpl|ka|250px|Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan undangan (sekitar tahun 1930). Sultan Syarif pada akhirnya dibunuh juga oleh Jepang pada tahun 1943.]]
{{main|pendudukan Jepang di Kalimantan Barat}}
Pada masa [[Kolonial Belanda]], ada sebuah perang yang bernama Perang Majang Desa. Perang ini dipimpin oleh [[Pang Suma]], dan dalam catatan penulis Belanda, diketahui benteng Belanda yang letaknya di [[Kabupaten Sintang|Sintang]] dan [[Kabupaten Sanggau|Sanggau]] selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga Belanda terpaksa meninggalkan benteng tersebut dan bertahan di Pontianak.{{sfn|Surya Kelana, Filosofi Perang Dayak}}{{Butuh sumber yang lebih baik}}
Pada awal [[pendudukan Jepang di Kalimantan Barat]], dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan.{{sfn|Usman & Din|2009|p=83}} Akibat [[romusa]] yang diterapkan oleh Jepang, banyak penduduk yang meninggal karena bekerja paksa pada perusahaan perkayuan ini. Jepang mempekerjakan orang-orang secara paksa untuk menebang pohon dan merakit kayu, lalu dihilirkan entah ke mana.{{sfn|Usman & Din|2009|p=83}} Begitu juga pada bidang pertambangan. Sekitar 10.000 orang bekerja di lokasi pertambangan dan sekitar 70.000 orang lagi di daerah sekitarnya, yaitu wilayah Batu Tungau, yang terbanyak adalah Orang Dayak.{{sfn|Usman & Din|2009|p=83}}
Baris 50:
Dua peristiwa pembunuhan ini tersebar ke [[Pontianak]]. Tidak ingin perlawanan ini tersebar ke wilayah lain, Pemerintah Jepang segera mengirimkan ekspedisi ke [[Meliau, Sanggau|Meliau]]. Pada saat yang bersamaan pula, suku Dayak bermufakat khawatir akan diserang Jepang.{{sfn|Ahok|Ismail|Tjitrodarjono|1992|p=28}} Ekspedisi Jepang dipimpin oleh seorang perwira senior, Letnan Takeo Nagatani.{{sfn|Ahok|Ismail|Tjitrodarjono|1992|p=29}}{{sfn|Usman|Din|2009|p=87}} Setelahnya, para pemuka adat segera mengirimkan mangkok merah sebagai pertanda melawan Jepang. Para pekerja perusahaan kayu [[Nitinan]] segera diperintahkan untuk meninggalkan perusahaan tersebut.{{sfn|Usman|Din|2009|p=87}}
Di Tayan, Nagatani menghubungi dan meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan ke Meliau, ia menelusuri Sungai Embuan menuju [[Tanjak Mulung]]. Perjalanan ekspedisinya ini ke Sungai Embuan bertujuan untuk menumpas gerakan rakyat.{{sfn|Usman|Din|2009|pp=87-88}} Sementara itu, rakyat sudah mengatur strategi pertahanan kekuatan di Suak Tiga Belas. Sesampainya ekspedisi Jepang di [[Umbuan Kunyil]], mereka mendapat serangan dari rakyat dipimpin oleh Pang Suma, Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan Nagatani tewas dibunuh oleh Pang Suma.{{sfn|Ahok|Ismail|Tjitrodarjono|1992|p=29}}{{sfn|Surya Kelana, Filosofi Perang Dayak}}{{Butuh sumber yang lebih baik}} Nagatani terbunuh pada saat dia melakukan ekspedisi ke [[hulu]] [[Sungai Kapuas]]. Terbunuhnya Nagatani tidak diduga oleh pejabat militer Jepang karena Nagatani dikenal sebagai perwira yang cakap dan tangguh, tetapi tidak mampu melawan serangan senjata tradisional orang-orang Dayak pedalaman yang dipimpin oleh Pang Suma.{{sfn|Aju|Isman|2013|p=42}}
Meskipun demikian, anak buah Nagatani sempat menembakkan peluru ke arah Pang Suma, yang bersama dengan Djampi, menghabisi rombongan ekspedisi Nagatani yang tersisa. Pada 24 Juni 1945, Pang Suma memasuki Meliau. Wilayah ini berhasil direbut pada 30 Juni 1945. Bersama dengan [[Agustinus Timbang]] dan sejumlah panglima adat lainnya, Pang Suma bertahan di Meliau.{{sfn|Usman|Din|2009|p=88}}
|