Drumblek: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Keteraturan |
|||
Baris 3:
== Asal-usul ==
Menurut Supangkat, drumblek memang bisa dikatakan sebagai salah satu jenis kesenian baru, tetapi cikal bakal dari kesenian drumblek sebenarnya adalah ''klothekan'' yang sudah tergolong sebagai budaya lokal dan sudah lama ada dalam masyarakat [[Jawa]].{{sfnp|Supangkat|2014|p=20|ps=}} Drumblek dapat digolongkan sebagai seni budaya asli yang berasal dari Kota Salatiga apabila kehadirannya dikatakan sebagai “penyempurnaan” dari budaya ''klothekan'' yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi.{{sfnp|Humas Sekretariat DPRD Kota Salatiga|2015|p=31|ps=}}{{sfnp|Humas Sekretariat DPRD Kota Salatiga|2017|p=21|ps=}}
<!--[[Berkas:Drumblek Generasi Muda Pancuran.jpg|al=|jmpl|280x280px|Gempar (Generasi Muda Pancuran) merupakan perkumpulan drumblek pertama di Kota Salatiga ({{harvnb|Rohman|2019||p=14}}).]]-->
Baris 24:
Rohman mengemukakan pendapat lain terkait perkembangan kesenian drumblek. Menurutnya, terdapat tiga proses drumblek dapat menyebar dengan cepat, yaitu adanya pemain drumblek dari Desa Pancuran yang pindah domisili ke kampung lain dan di tempat tinggalnya yang baru itulah orang tersebut melatih serta mengembangkan drumblek sendiri, sehingga kampung barunya memiliki kelompok drumblek; adanya warga Desa Pancuran yang diminta menjadi pelatih di tempat lain; serta pada masa awal kampus UKSW mengenal drumblek, pihak kampus mendatangkan pelatih drumblek dari Desa Pancuran.{{sfnp|Rohman|2019|p=15|ps=}} Selain ketiga faktor tersebut, Supangkat menambahkan bahwa faktor lain drumblek dapat menyebar dengan cepat adalah adanya beberapa orang mahasiswa yang ikut berlatih di Desa Pancuran. Hal inilah yang membuat proses alih keterampilan dapat berjalan dengan lancar.{{sfnp|Supangkat|2014|p=20|ps=}}<ref name=":3">{{Cite web|url=https://budaya-indonesia.org/drumblek|title=Drumblek|last=Rohman|first=Fandy Aprianto|date=16 Mei 2020|website=Perpustakaan Digital Budaya Indonesia|access-date=16 Mei 2020}}</ref>
Seiring menjamurnya grup-grup drumblek yang ada di Kota Salatiga dan sekitarnya, dibentuklah PDS (Paguyuban Drumblek Salatiga) tanggal [[25 Februari]] [[2016]] yang diketuai oleh Muhammad Edi Kurniawan.{{sfnp|Rohman|2019|p=15–16|ps=}} Pada awal pembentukannya, baru setengah dari keseluruhan grup drumblek yang mendaftar secara resmi di PDS, tetapi dengan adanya acara Deklarasi Paguyuban Drumblek tanggal [[30 Oktober]] [[2016]] di Lapangan Noborejo, jumlah grup drumblek yang ikut bergabung meningkat menjadi <u>+</u> 120 grup. Hal ini menunjukkan bahwa grup-grup drumblek di Kota Salatiga ingin menunjukkan eksistensinya.{{sfnp|Susanto|2016|p=77|ps=}}
Perlu diketahui, terbentuknya PDS dikarenakan adanya berbagai problematika yang berasal dari berbagai grup drumblek yang ada di Kota Salatiga, terutama dari Drumblek Gempar. Salah satu permasalahan tersebut adalah banyaknya festival atau lomba musik drumblek dengan sistem penilaian yang kurang efektif. PDS hadir sebagai penengah, sekaligus memberikan solusi kepada penyelenggara terkait perlombaan dan sistem penilaian yang baik.{{sfnp|Rohman|2019|p=16|ps=}} Susanto memperjelas bahwa PDS dibentuk sebagai wadah yang menaungi grup-grup drumblek serta tempat berdiskusi untuk memberikan suatu informasi terkait dengan agenda-agenda dan kegiatan drumblek. Selain itu, PDS juga diharapkan dapat mengembangkan musikalitas setiap grup-grup atau kelompok-kelompok drumblek dan mempersatukannya sebagai ikon Kota Salatiga. Dalam wadah PDS sendiri, pengurusnya memiliki slogan, yaitu “dari Salatiga untuk dunia”. Mereka berharap suatu saat nanti drumblek dapat dikenal oleh negara lain.{{sfnp|Susanto|2016|p=76–77|ps=}}
== Bentuk penyajian ==
Supangkat mengemukakan bahwa drumblek di Kota Salatiga terpengaruh oleh drumben [[Belanda]]. Pada saat status Kota Salatiga masih menjadi ''gemeente'',{{efn|Salatiga ditetapkan menjadi sebuah ''gemeente'' yang dikenal dengan nama ''de Gemeente Salatiga'' (Kotapraja Salatiga) dan dipimpin seorang ''burgermeester'' oleh Pemerintah Hindia Belanda tanggal 25 Juni 1917, melalui Staatsblad No. 266 tahun 1917 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johan Paul van Limburg Stirum ({{harvnb|Prakosa|2017|pp=19}}). Sumber daya administrasi pemerintahan ''gemeente'' diperoleh dari pajak tanah, pajak tontonan, pajak reklame, izin mendirikan tempat tinggal, dan izin kegiatan usaha ekonomi ({{harvnb|Rohman|2020|pp=116}}).}} tiap tahun masyarakat Eropa (khususnya Belanda) yang tinggal di wilayah Kota Salatiga selalu mengadakan festival. Biasanya, pawai tersebut dimulai di Lapangan Tamansari sebelum mengelilingi kota. Setelah Pemerintah Hindia Belanda hengkang dari Kota Salatiga, alih-alih punah ''drumben'' ''ala'' ''londo'' menjadi tren di Kota Salatiga, hanya saja wujudnya yang berbeda. Drumblek merupakan bentuk “imitasi” dari drumben, hanya saja alatnya yang “lebih merakyat”.<ref name=":2" />{{sfnp|Supangkat|2007|p=20–22|ps=}}
Drumblek menjadi salah satu inovasi pada tataran hiburan rakyat, terkhusus bagi masyarakat Kota Salatiga hingga saat ini. Jenis musik ini memang tidak dikategorikan dalam alat musik yang umum karena berasal dari barang-barang bekas.{{sfnp|Rohman|2019|p=17|ps=}} Namun, melalui inovasi, kreasi, dan kreativitas, barang-barang tersebut dijadikan alat musik yang unik layaknya alat musik konvensional. Selain itu, kesenian drumblek lebih difokuskan sebagai musik untuk ruang terbuka, baik tanah lapang ataupun musik yang dimainkan dengan cara berjalan seperti drumben.{{sfnp|Wiratama|2018|p=219|ps=}}
|