Kesultanan Aceh: Perbedaan antara revisi
[revisi terperiksa] | [revisi terperiksa] |
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 70:
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
[[Berkas:Diplomat Aceh ke Penang.jpeg|kiri|jmpl|Diplomat Aceh di [[Penang]]. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan [[Sultan Iskandar Tsani]] hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Baris 98:
=== Restorasi ===
Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia) pada tahun 1907 maka menandakan berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah dibina berabad-abad lamanya. Di akhir tahun
Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar di masa pendudukan Belanda. Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka pengaruh posisi mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala daerah bisa ditanggalkan. Salah satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang adalah Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di kalangan ulama adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh. Beliau bukan tidak ingin kembalinya kesultanan, melainkan tidak menyukai orang yang akan menduduki tahta batee tabal, yaitu Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud. Tuanku Ibrahim dianggap memiliki akhlak yang kurang baik sedangkan Tuanku Mahmud meski cakap tapi terlalu dekat dengan Belanda.
|