Kedokteran hewan di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
RianHS (bicara | kontrib)
RianHS (bicara | kontrib)
Baris 40:
Keberadaan rabies membuat Pemerintah Hindia Belanda membuat ordonansi (peraturan) tentang penyakit anjing gila sepanjang 1905–1915. ''Staatsblad'' Tahun 1906 Nomor 283, misalnya, mewajibkan pemilik anjing untuk melaporkan jumlah anjingnya dan memberi identitas berupa medali, serta membayar pajak anjing.<ref>{{Cite web|last=Hanggoro|first=Hendaru Tri|date=11 Oktober 2018|title=KTP dan Pajak Anjing|url=https://historia.id/urban/articles/ktp-dan-pajak-anjing-PM1rw|website=Historia|language=|access-date=23 April 2021}}</ref> Sementara itu, peraturan pertama yang khusus mengatur kesehatan hewan adalah ''Staatsblad'' Tahun 1912 Nomor 432 tentang Peninjauan Kembali Ketentuan-Ketentuan tentang Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan Polisi Kehewanan. Ordonansi ini mengatur [[otoritas veteriner]] di Nusantara dalam Pasal 34 Ayat 1 yang jika diterjemahkan, artinya, "Kewenangan Medis Veteriner atau ''Veeartsnijkundige'' berupa keahlian dan kewenangan dimiliki oleh dokter hewan secara melekat sesudah lulus dari fakultas kedokteran hewan di Indonesia maupun di Negeri Belanda".{{sfn|Sitepoe|2017|p=3}} Selain itu, ''Staatsblad'' Tahun 1915 nomor 732 yang mengesahkan [[Kitab Undang-Undang Hukum Pidana]] (KUHP) juga mengatur tentang kehewanan.{{efn|Ada 11 pasal dalam KUHP yang berkenaan dengan hewan, yaitu Pasal 101, 271, 302, 406, 407, 490, 494, 501, 540, 541, dan 549}}{{sfn|Sitepoe|2017|p=76}} Menurut KUHP, definisi ternak hanya mencakup [[hewan pemamah biak]], [[hewan berkuku ganjil|hewan berkuku satu]], dan [[babi]] sehingga dokter ternak hanya menangani hewan-hewan tersebut.{{sfn|Sitepoe|2017|p=6-7}}
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Veeartsenijschool te Buitenzorg TMnr 10013158.jpg|jmpl|kanan|upright=1.2|Sekolah kedokteran hewan di Bogor (foto diambil antara tahun 1900 hingga 1940).]]
Pada tahun 1907, atas usul Melchior Treub, Direktur Departemen Pertanian, Kerajinan, dan Perdagangan (''Landbouw, Nijverheid en Handel'') Belanda mendirikan Laboratorium Veteriner (Veeartsenijkundig Laboratorium; saat ini menjadi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor) untuk menangani wabah sampar sapi.{{sfn|Sigit|2003|p=2}} Di laboratorium ini juga dibuka pendidikan dokter hewan bumiputra selama empat tahun yang bernama ”Cursus tot Opleiding van Inlandsche Veearstsen”.{{sfn|Sigit|2003|p=2}}<ref name="prio">{{Cite journal|last=Priosoeryanto|first=Bambang Pontjo|last2=Arifiantini|first2=Iis|date=2014|title=The history of the veterinary profession and education in Indonesia|url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25029757|journal=Argos (Utrecht, Netherlands)|issue=50|pages=342–345|issn=0923-3970|pmid=25029757}}</ref> Siswa-siswanya berasal dari lulusan [[Hogereburgerschool|HBS]] atau [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs|MULO]] (setingkat [[Sekolah menengah pertama|SMP]]), dan sekolah-sekolah lain yang dianggap sederajat. Dua siswa pertamanya merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool atau MLS) yang setara dengan SMA sehingga mereka langsung diterima di tingkat III.{{sfn|Sigit|2003|p=2}}